Pembahasan:
Penafsiran Ayat Riba (Q.S Al-Baqarah; 275)
Kata riba dalam al-Qur’an terulang sebanyak delapan kali,
terdapat dalam empat surat yaitu al-Baqarah, Ali Imron, al-Nisa’ dan al-Rum. Tiga surat pertama adalah termasuk kelompok surat Madaniyah
(turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedangkan surat al-Rum adalah Makkiyah
(turun sebelum beliau hijrah).
Al-Suyuthi mengutip riwayat Bukhari, Ibn Majah, Ibn Marwadaih, dan al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang turun kepada Rasulullah saw adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 271-278.[1] Penulis akan fokus membahas al-Baqarah 275 sebagai ayat yang terakhir turun membahas tentang riba.
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
A. Kajian Tafsir
1. Tafsir Jalalain
Pada surat al-Baqarah ayat 275 diatas, الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا “orang yang memakan riba” maksudnya mengambil riba,
yaitu kelebihan yang terdapat di dalam praktik muamalah dengan
menggunakan uang dan bahan makanan, baik dalam kadarnya maupun jatuh
temponya, لاَ
يَقُومُونَ “tidak dapat
berdiri” dari kuburnya إِلاَّ "melainkan" berdiri كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ “seperti berdirinya orang yang kemasukan” kerasukan الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ “setan
lantaran penyakit gila”, yakni kegilaan yang menimpa mereka, berhubungan dengan
kata يَقُومُون.
ذٰلِكَ “hal itu” yakni yang menimpa
mereka itu بِأَنَّهُمْ
"disebabkan" karena قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا “mereka
berkata jual beli itu sama dengan riba.” Maksudnya sama-sama boleh. Ini
termasuk pembalikan tasybih (penyerupaan) dalam rangka mubalaghah (mendramatisir
keadaan). وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Maka orang-orang yang telah datang kepadanya”
sampai kepadanya. مَوْعِظَةٌ
"peringatan" nasihat (tentang larangan memakan riba) مِّن رَّبِّهِ
فَانتَهٰى “dari Tuhannya, lalu berhenti” dari
memakan riba”, فَلَهُ
مَا سَلَفَ “ia berhak memiliki apa yang dia ambil
dahulu” sebelum adanya larangan , maksudnya riba itu tidak ditarik kembali
darinya وَأَمْرُهُ “dan
urusannya” dalam hal memaafkannya إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ
“terserah kepada Allah. Dan barangsiapa yang kembali” memakan riba dan
menyamakannya dengan jual beli dalam hal kehalalannya فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ “mereka adalah penghuni-penghuni neraka.
Mereka kekal di dalamnya”.[2]
Abu Ja’far berkata:
“Allah Ta’ala berfirman: Orang-orang yang memakan riba yang kami jelaskan
sifatnya di dunia, pada hari akhir tidak akan bangkit dari
kubur kecuali seperti bangkitnya orang yang kesurupan. Maksudnya: Dia dijadikan
gila oleh syaithan di dunia, dan dialah yang mencekik dan membantingnya, yakni
dari kegilaan.[3]
Ahli tafsir lain yang sependapat, diantaranya:
a.
Al Mutsanna menceritakan kepadaku,
ia berkata: Al Hajjaj bin Al Minhal menceritakan kami, ia berkata: Rabi’ah bin
Kultsum menceritakan kepada kami, ia berkata: ayahku menceritakan kepadaku dari
Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Artinya: orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ia
berkata: “itu saat dibangkitkan dari kuburnya”.[4]
b.
Ibnu Humaid menceritakan
kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada kami, dari Asy’ats dari
Ja’far dari Sa’id bin Jubair: الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Pada hari
kiamat, pemakan riba akan dibangkitkan dalam bentuk orang gila yang dicekik”
c.
Bisyr menceritakan kepadaku, ia berkata:
Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami,
dari Qatadah tentang firman Allah: الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri. Itu adalah tanda bagi
pemakan riba pada hari kiamat, mereka dibangkitkan dalam keadaan kesurupan.
d.
Al Hasan bin Yahya menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abdurrazzaq memberitahukan kepada kami, dari Qatadah
tentang firman Allah: لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Yaitu kegilaan yang datang dari
syetan (kesurupan)”.
e.
Diceritakan kepadaku, dari Ammar,
ia berkata: Ibnu Abi Ja’far menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari
Ar-Rabi’ tentang firman Allah: الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. “ Pada hari
kiamat mereka dibangkitkan dalam keadaan kesurupan syetan”. Pada beberapa
qiraat dibaca يَوْمَ الْقِيَامَة لاَ يَقُومُون.
f.
Al Mutsanna menceritakan kepada
kami, ia berkata: Abu Zuhair menceritakan kepada kami, dari Juwaibir dari
Adh-Dhahhak tentang firman Allah: الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Siapa
yang mati dalam keadaan memakan riba, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat
dalam keadaan seperti orang yang kesurupan syetan.
g.
Musa menceritakan kepadaku, ia
berkata: Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada
kami, dari As-Suddi tentang firman Allah: الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Yaitu, sejenis gila.
h.
Yunus menceritakan kepadaku, ia
berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata
tentang firman Allah: الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Inilah perumpamaan mereka pada hari
kiamat. Mereka tidak dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang lain kecuali
seperti orang tercekik seakan-akan dia gila.[5]
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا,
Abu Ja’far berkata: “Maksud Allah Ta’ala: Allah Ta’ala menghalalkan laba dalam
perniagaan dan jual beli serta mengharamkan riba yaitu tambahan yang
ditambahkan pemilik uang dengan sebab menambah waktu pada orang yang berhutang
padanya dan menunda pembayaran hutangnya. Allah Ta’ala berfirman: Dua tambahan
yang salah satunya karena jual beli dan yang lain karena menunda pembayaran dan
tambahan waktu, dan Aku halalkan yang lain yaitu tambahan pada modal di mana penjual
menjual barang dagangannya lalu mengambil untung Maka Allah Ta’ala berfirman:
Tambahan karena jual beli tidak sama dengan tambahan karena riba. Perintah ini
adalah perintah-Ku, dan semua makhuk adalah makhluk-Ku. Aku putuskan kepada
mereka apa yang Aku inginkan dan Aku menuntut mereka dengan apa yang Aku mau.
Tidak boleh seorangpun yang menentang hukum-Ku dan melanggar perintah-Ku,
bahkan mereka harus taat dan menerima hukum-Ku.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman فَمَن جَاءهُ
مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهٰى orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Yang dimaksud dengan مَوْعِظَةٌ
adalah peringatan dan ancaman yang mengingatkan dan mengancam mereka dalam ayat
Al-Qur’an serta mengancam orang yang memakan riba dengan. Allah Ta’ala
berfirman: Siapa yang telah datang peringatan padanya, maka dia harus berhenti
memakan riba dan dilarang melakukannya, فَلَهُ
مَا سَلَفَ “maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan)” yaitu apa yang dia makan dan ambil sebelum datangnya
peringatan dan pengharaman dari Tuhannya. وَأَمْرُهُ
إِلَى اللّهِ “Dan urusannya terserah kepada Allah” yaitu Allah Ta’ala
memerintahkan pemakan riba setelah datangnya peringatan dan pengharaman dari
Tuhannya dan setelah selesai dia memakan riba untuk kembali pada Allah Ta’ala
dalam pemeliharaan dan taufiq-Nya. Jika Allah Ta’ala mau, Dia akan
memeliharanya dari memakan riba dan memantapkannya untuk berhenti dari
melakukannya, dan jika Allah Ta’ala mau Dia akan membiarkannya melakukan
riba. وَمَنْ عَادَ “orang yang kembali
(mengambil riba)” Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang kembali memakan riba
setelah diharamkan dan mengatakan apa yang pernah dia katakan sebelum datangnya
peringatan dari Allah dan pengharaman kata-kata: “Jual beli itu seperti riba” فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
yaitu: orang yang melakukan dan mengatakan demikian adalah penghuni neraka,
yaitu neraka Jahannam di mana mereka kekal di dalamny selama-lamanya, tidak
mati dan tidak dikeluarkan dari sana.[6]
Mengapa sampai
demikian dia? Sampai sebagai orang dirasuk syaithan? Sehingga wajahnyapun
kelihatan bengis, matanya melotot penuh benci? Tetapi mulutnya manis
membujuk-bujuk orang supaya suka berhutang kepadanya? Sebelum orang itu
jatuh ke dalam perangkapnya yang payah melepaskan diri? Menjadi demikian
karena sesungguhnya mereka berkata: Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti
riba juga. “Artinya karena dia hendak membela pendiriannya menternakan
uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itupun serupa juga
dengan pekerjaannnya makan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau
sama-sama cari makan, keadaannya jauh berbeda. Berdagang, ialah saudagar
menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli
ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah.
Yang menjual mendapat untung yang membelinya mendapat untung pula. Karena yang
diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu
sebabnya dia dihalalkan Tuhan. Bagaimana dia akan cari keuntungan secara riba?
Padahal dengan riba yang berhutang dianiaya, dihisap kekayaannya, dan yang
berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?
“Lantaran itu maka
barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti,”
dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka baginya apa yang
telah berlalu.” Artinya yang sudah-sudah itu sudahlah! Kalau dia selama ini
menangguk keuntungan dari riba tidaklah perlu dikembalikannya lagi kepada
orang-orang yang telah dianiayanya itu, sama saja dengan dosa menyembah berhala
di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada tuntutan lagi kalau telah Islam. “Dan
perkaranya terserahlah kepada Allah”, sehinggga manusia tidak berhak buat
membongkar-bongkar kembali, sebab yang demikian memang salah satu dari
rangkaian kehidupan jahiliyah, yang tidak senonoh itu. “Akan tetapi
barangsiapa yang kembali (lagi), “padahal keterangan yang jelas ini sudah
diterimanya, “maka mereka itu menjadi ahli neraka, mereka akan kekal di
dalamnya.” (ujung ayat 275).[7]
2. The Message Of The Quran
Muhammad Asad, seorang mufassir dari Eropa, menafsirkan ayat ini hampir
sama ketika menafsirkan Q.S al-Rum (30:29)[8]
dengan begitu detail. Menurutnya, riba dalam pengertian umum dan linguistiknya
menunjukan makna “tambahan’ atau “kenaikan’ sesuatu melebihi dan di atas ukuran
atau jumlah aslinya. Dalam terminologi al-Qur’an, istilah ini berarti suatu
tambahan yang haram atas sejumlah uang atau barang yang dipinjamkan oleh
seseorang atau sekumpulan orang kepada orang lain, melalui pembungaan.
Para Fuqaha awal melihat problem ini dengan menggunakan sudut pandang
mereka, sehingga kebanyakan di antara mereka mendefinisikan “tambahan haram’
ini sebagai laba yang diperoleh melalui pinjaman apa pun yang menghasilakn
bunga, terlepas dari tinggi-rendahnya suku bunga dan motif ekonomi yang
melandasinya. Maka, seperti ditunjukan oleh begitu melimpahnya literatur hukum
tentang pokok bahasan ini, ulama atau para sarjana Muslim belum dapat mencapai
suatu kesepakatan yang mutlak tentang definisi riba. Yakni semua definisi yang
mencakup semua situasi legal yang mungkin, dan secara positif merespon semua
urgensi lingkungan ekonomi yang berubah-ubah.
Menurut Ibnu Katsir, bahasan tentang riba merupakan salah satu bahasan yang
paling pelik bagi banyak cendikiawan (ahl-’ilm). Hendaknya diingat bahwa
ayat yang mengutuk dan melarang riba yang dirumuskan dalam istilah-istilah
hukum Q.S al-baqarah 275-281 merupakan wahyu terakhir yang diterima Nabi yang
wafat beberapa tahun kemudian. Oleh sebab itu, para sahabat tidak sempat mempertanyakan
masalah ini kepada Nabi tentang implikasi-implikasi syariat dari
ketentuan-ketentuan itu sehingga Umar bin Khattab pun berdasarkan riwayat yang
dapat dipercaya dikabarkan pernah berkata “Yang terakhir diwahyukan (dari
al-Qur’an) adalah bahasan ayat tentang riba, dan perhatikanlah Rasulullah
meninggal tanpa menjelaskan maknanya kepada kita’ (Ibn Hanbal yang diriwayatkan
oleh Sa’id ibn al-Musayyab). Namun, kerasnya al-Qur’an mengutuk riba dan
orang-orang yang mempraktikannya memberikan suatu indikasi nyata yang cukup
akan hakikat dan implikasi-implikasi moral dan sosialnya. Khususnya ketika kita
mencermati latar belakang pengalaman ekonomi umat manusia selama berabad-abad.
Dalam garis besarnya, riba (dalam pengertian yang digunakan dalam al-Qur’an
dalam banyak sabda Nabi) dipandang keji karena keuntungan riba diperoleh
melalui pinjaman berbunga yang melibatkan suatu eksploitasi terhadap
orang yang secara ekonomi lemah oleh orang yang kuat dan memiliki suatu sumber
daya. Suatu eksploitasi yang dicirikan dengan fakta bahwa si pemberi pinjaman,
yang tetap menguasai kepemilikan penuh atas modal yang dipinjamkan dan tidak
memedulikan aspek legal dari tujuan dan cara penggunaan modal itu, berdasarkan
perjanjian dijamin untuk tetap mendapat keuntungan, terlepas apakah si peminjam
mendapatkan kerugian akibat transaksi ini. Dengan mencamkan definisi ini, kita
menyadari bahwa persoalan mengenai jenis transaksi-transaksi finansial apa saja
yang termasuk dalam kategori riba atau tidak pada akhirnya merupakan persoalan
moral yang sangat terkait dengan motif sosio-ekonomi yang mendasari hubungan
timbal-balik antara si peminjam dan si pemberi pinjaman. Dan apabila
diungkapkan dalam istilah-istilah murni ekonomi, hal ini merupakan persoalan
mengenai bagaimana laba dan resiko dapat dibagi/ditanggung secara adil oleh
kedua belah pihak yang melakukan suatu transaksi utang-piutang. Tentu saja,
mustahil untuk menjawab persoalan ganda ini dengan suatu cara yang kaku dan
definitif. Jawaban-jawaban kita dengan sendirinya harus bervariasi sesuai
dengan perubahan-perubahan yang memengaruhi perkembangan sosial dan teknologi
dan karenanya lingkungan ekonomi manusia. Karenanya, sementara kutukan
al-Qur’an atas konsep dan praktik riba ini bersifat tegas dan final, setiap
generasi Muslim berturut-turut dihadapkan dengan tantangan untuk memberikan
dimensi-dimensi baru dari arti ekonomis yang segar terhadap istilah ini yang
karena tiadanya kata yang lebih tepat, bisa diterjemahkan menjadi “usury´dalam
bahasa Inggris.
3. Hasbi Ash Shiddieqiy
Hasbi Ash Shiddieqiy menafsirkan al-Baqarah 275 sebagai berikut; “orang
yang memakan riba tiada berdiri, melainkan sebagai berdiri orang yang dibanting
syaithan (kerasukan syaitan). Yang demikian itu disebabkan perkataan mereka:
jual beli dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Allah tidak menyamakan hukum keduanya. Maka barang siapa
datang kepadanya pengajaran dari Tuhannya, lalu berhenti, maka menjadi
kepunyaannya apa yang telah diambil. Dan urusannya terserah kepada Allah, dan
barang siapa kembali lagi memakan riba maka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.[9]
4. Akmal Tarigan
Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Ekonomi[10]
menjelaskan Istilah riba yang digunakan dalam ayat-ayat ini tidak berbeda dengan
penggunaannya pada ayat-ayat Al-Qur’an yang terlebih dahulu, demikian menurut para mufassir generasi awal seperti
Thabari, Zamakhsyari dan Ibn Katsir. Thabari misalnya menafsirkan riba dalam
ayat-ayat ini, merujuk kepada ayat yang dipraktikkan pada zaman pra Islam,
dengan mengatakan, “Allah telah mengharamkan riba yang merupakan jumlah yang
ditambahkan bagi pokok modal si pemilik atas penangguhan jatuh tempo untuk
debiturnya dan atas penangguhan pelunasan hutang.’
Selanjutnya, M. Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh (w,1905) yang cukup
terkenal ketika mengomentari makna riba pada rangkaian ayat-ayat di atas
berkata, “partikel ‘an dalam istilah riba (pada ayat di atas)
menunjukkan pengetahuan dan keakraban yang berarti “jangan mengkonsumsi riba
yang telah akrab dengan kalian dan yang biasa kalian praktikkan pada zaman pra
Islam’.
Saeed mengatakan, konteks ayat-ayat tersebut juga menegaskan aspek moral
yang ditekankan oleh al-Qur’an
lewat pengharaman riba. Empat belas ayat yang mendahului ayat terakhir tentang
riba sangat menganjurkan “penafkahan’ (infaq), menggunakan akar kata
dari istilah infaq dalam keseluruhan empat belas ayat. Penafkahan ini
adalah demi Allah untuk menghilangkan penderitaan orang-orang yang melarat dan
orang-orang yang miskin. Perasaan si penerima tidak boleh disakiti dengan
mengungkit-ungkit kebaikan yang diberikan kepadanya. Allah Swt berfirman, janganlah
kalian menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan penerima) seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena pamer
kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. (Q.S
Al-Baqarah 264).
5. Tafsir al-Misbah
Dari
tafsir Al-Misbah, penulis hanya mengambil salah satu kata kunci yang terpenting
dalam pembahasan riba yakni
#4qt/Ìh9$#ªP§ymur yìøt7ø9$#!$# ¨@ymr&ur.
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa substansi
antara jual beli dan riba sungguh berbeda.
Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak,
sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan yang pertama diperoleh
melalui kerja manusia. Sedangkan yang kedua, yang menghasilkan adalah uang
bukan kerja manusia. Jual beli menuntut aktivitas manusia, sedangkan riba tanpa
aktivitas mereka. Jual beli mengandung kemungkinan untung dan rugi, tergantung
kepada kepandaian mengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan. Sedangkan
riba menjamin keuntungan bagi yang meminjamkan, dan tidak mengandung
kerugian. Riba tidak membutuhkan
kepandaian, dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan. Itu sedikit yang
membedakannya.[11]
6. Tafsir Al-Manar
Dalam Tafsir al-Manar disebutkan, bahwa kata al-riba yang berbentuk ma’rifah
dalam QS. al-Baqarah 275 merujuk pada riba yang adh’afan mudha’afah. Oleh sebab itu yang diharamkan dalam ayat ini
adalah riba yang dipraktikkan orang Arab pra-Islam (riba Jahiliyyah); tambahan
jumlah hutang karena penundaan pembayaran yang diistilahkan dengan adh’afan mudha’afah.
Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, dengan menggunakan kaidah
bahasa bahwa pengulangan kosa kata yang menyatakan, apabila ada kosa kata yang
menunjukkan pengkhususan (ma’rifah)
diulang, maka pengertian kosa kata kedua sama dengan kosa kata yang pertama.
Oleh sebab itu kata al-riba dalam QS.
al-Baqarah 275 sama dengan kata yang ada QS. Ali Imran 130. Kedua, memahami ayat yang tidak
bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Jadi, kata al-riba pada
QS. al-Baqarah 275 yang tidak bersyarat dipahami berdasarkan kata yang
bersyarat (adh’afan mudha’afah) pada
QS. Ali Imran 130. Ketiga,
pembicaraan al-Qur’an tentang riba senantiasa dihubungkan dan dihadapkan dengan pembicaraan tentang shadaqah dan infaq, yang dihubungkan
dengan zhulm (penganiayaan dan
penindasan).
B. Kajian Asbab al-Nuzul
Menurut Abu Ja’far ayat ke-275 ini diturunkan karena
perilaku suku Arab yang mempraktikan riba, hal ini berdasarkan riwayat-riwayat
berikut:
حدثني محمد ببنن
عمرو, قال: ثنا أبو عاصم, عن عيسى, عن ابن أبي نجيح, عن مجاهد, قال في الربا الذي نهى الله عنه: كانوا في الجاهلية
يكون للرجال على الرجال الدين, فيقول: لك كذا وكذا وتؤخر عني, فيؤخر عنهز
“Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia
berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, dari Isa dari Ibnu Abi Najih dari
Mujahid katanya tentang riba yang dilarang Allah S.W.T: “Di masa Jahiliah,
seseorang memliki hutang pada orang lain, lalu dia berkata: Ini dan itu
untukmu, tapi akhirkan hutangku. Lalu dia mengakhirkan hutangnya’[12]
Riwayat dari Bisyr, sebagaimana berikut:
حدثني بشر, قال:
ثنا يزيد, قال: ثنا سعيد, عن قتادة: أن ربا الجاهلية يبيع الرجال البيع إلى أجل مسمى, لإإذا حل الأجل ولم يكن عند صاحبه قضاء زاده وأخر عنه
“Bisyr menceritakan kepada-ku, ia berkata: Yazid
menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami, dari
Qatadah bahwa: Riba pada masa Jahiliah adalah ketika seseorang menjual sampai waktu
tertentu. Jika waktunya tiba dan pemilik tidak mampu membayar, harganya ditambah
dan diakhirkan pembayarannya.’
Abu Ja’far juga berpendapat bahwa ayat ini
diturunkan pada kaum Arab yang telah masuk Islam. Sebagian mereka memiliki harta yang mereka ribakan pada kaum yang lainnya,
ada sebagian mereka menerima sebagian hartanya dari mereka dan tinggalkan sebagian
lagi. Maka Allah S.W.T memaafkan orang-orang yang menerima riba sebelum ayat ini
diturunkan dan mengharamkan untuk mengambil sisanya’. Hal ini berdasarkan kepada riwayat-riwayat berikut ini.
‘Musa bin Harun menceritakan kepada-ku, ai
berkata: Amr menceritakan kepada kami, dia berkata: Asbath menceritakan kepada kami,
dari As-Suddi: “Wahai orang-orang Yang beriman! bertaqwalah kamu kepada Allah dan
tinggalkanlah (jangan menuntut lagi) sisa riba (yang masih ada pada orang Yang berhutang)
itu, jika benar kamu orang- orang Yang beriman.’[13]
Abu Ja’far menambahkan lagi bahwa ayat ini
diturunkan pada al-Abbas bin Abdul Muthalib dan salah seorang dari Bani al-Maghirah
yang merupakan sahabat pada masa jahiliah. Mereka berdua meminjamkan wang
dengan riba kepada orang-orang dari Tha’if
yaitu dari Bani Amr atau Bani Amr bin Umair. Tha’if merupakan tempat pemukiman
suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan
daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku
Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha’if bermukim orang-orang Yahudi yang
telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana
menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas
perdagangan, bahkan al-Qur’an mengabarkan tentang hal tersebut dalam surat ke 106. Di
sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian
dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi
saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya
larangan tersebut.[14]
Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba
yang mereka anggap sama dengan jual beli (Q.S 2:275). Dalam arti mereka
beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak
lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil
perdagangan.[15]
Lalu datang Islam dan keduanya masih memiliki harta dalam jumlah
besar yang berbentuk riba, lalu Allah S.W.T menurunkan ayat “dan tinggalkan sisa riba ( yang belum
dipungut) yaitu sisa riba pada masa jahiliah.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Katsir memberi penguatan dengan riwayat
dari kitab lain mengenai asbab al-Nuzul ayat ini:
عن سمرة بن جنب في
حديث المنام الطويل فأتينا على نهر حسبت أنه كان يقول أحمر
مثل الدم , وإذا في النهر رجل سابح يسبح , وإذا على شط النهر
رجل قد جمع عنده حجاره كثيرة , وإذا
ذلك السابح يسبح , ثم يأتي ذلك الذي قد جمع الحجارة عنده فيغفر له فاه فيلقمه حجرا
“Dari Samurah bin Jundud dalam hadis
panjang tentang mimpi: “Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia
mengatakan: “Sungai itu merah semerah darah.’ Di dapati di sungai tersebut
terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya terdapat seseorang
yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di sampingnya. Orang itu pun
berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang yang
berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu.”[16]
Ibnu Katsir menyatakan bahwa peristiwa tersebut ditujukan kepada
pemakan riba. Hadis ini martabatnya adalah sahih yang dikeluarkan oleh Imam
al-Bukhari dalam tafsirnya pada hadis yang ke-7047.
C.
Kajian Sosio-Ekonomi sebelum ayat riba turun
Menurut Abdullah Saeed, larangan
riba sebagaimana termuat dalam al-Qur’an telah didahului bentuk-bentuk
larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini
tercermin dalam perilaku sosial
ekonomi masyarakat Makkah
pada saat itu,
yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar
dalam komunitasnya. Di mana al-Qur’an sangat menganjurkan masyarakat Makkah
untuk menolong fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekelilingnya. Menurut
al-Qur’an bahwa barangsiapa yang tidak mendirikan shalat dan tidak memperhatikan fakir miskin akan diancam hukuman siksa
neraka (QS. al-Muddatstsir
43-44). Di samping itu, fakir miskin
mempunyai bagian hak dari harta benda orang-orang kaya
(QS. al-Ma’arij 24-25).
Karena di antara
orang mendapat hukuman dari Allah
karena mereka tidak mau memperhatikan
serta menolong fakir miskin (QS. al-Haqqah 34). Di samping itu, al-Qur’an menegaskan tentang pentingnya
untuk menafkahkan (spending) harta benda untuk
mengurangi beban penderitaan
fakir miskin (QS.
al-Baqarah 262; al-Nisa’ 39; al-Ra’d 22;
al-Furqan 67; Fathir 29.
Anjuran untuk menafkahkan
harta sebagaimana disebutkan
di dalam al-Qur’an memiliki
peran penting untuk
memperkuat pondasi keimanan umat
Islam (QS. al-Anfal 72;
al-Hujurat 15). Menafkahkan
harta dapat dilaksanakan
dalam bentuk hibah
(pemberian) maupun sedekah. Apabila bentuk tersebut terasa berat untuk
dilaksanakan, maka dapat dilakukan
melalui peminjaman (hutang)
dengan tanpa memungut kelebihan
atau beban dari
nilai pokok, yang
dipinjamkan kepada pihak yang
membutuhkan. Menurut al-Qur’an,
bahwa jenis pinjaman yang demikian dinamakan dengan
qardh al-hasan (pinjaman
yang penuh kebijakan) (QS. al-Baqarah 245).
Pinjaman ini dilakukan untuk mengurangi
beban penderitaan pihak-pihak
yang membutuhkan, bukan untuk
melakukan eksploitasi terhadap
mereka. Al-Qur’an menggunakan
term qardh al-hasan dalam versi yang mengindikasikan bahwa penerima dari
pinjaman tersebut secara
umum diberikan kepada
orang-orang yang memang membutuhkan
(QS. al-Baqarah 245, al-Ma’idah 12, al-Hadid 1, al-Kahf, al-Taghabun 17.
Al-Qur’an telah memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk
menerima pengembalian pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai
pokok yang dipinjamkan,
serta mengajarkan untuk meringankan dan
bahkan membebaskan seluruh
beban hutang debitur, jika pihak yang memberi
pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya. Dalam al-Qur’an
dijelaskan, ‘lebih baik
bagimu jika membebaskan sebagian atau semua hutang
sebagai sedekah’ (QS. al-Baqarah 280).
Berdasarkan pengertian di
atas, al-Qur’an memberikan
perhatian yang mendalam terhadap
masyarakat yang secara
otomatis sangat lemah yang
menekankan untuk membantu
akan kebutuhan finansial
mereka dengan tanpa memberi
tambahan beban penderitaan
mereka. Dalam konteks ini
menunjukkan bahwa tuntunan
yang demikian itu diperintahkan dalam
kasus apabila pihak
peminjam (debitur) terpaksa meminjam uang guna untuk mencukupi
kebutuhan primernya.
D.
Illat
Pengaharaman
Riba
Para ulama fiqh membagi riba kepada dua macam, yaitu riba al-fadhl dan riba an-nasi'ah. Riba al-fadhl
adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama
fiqh dengan: “Kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan
ukuran syara’”.
Yang dimaksudkan dengan ukuran syara'
di sini adalah timbangan atau takaran tertentu, seperti kilogram. Misalnya,
satu kg gula dijual dengan 1,1/4 kg gula lainnya. Kelebihan 1/4 kg dalam jual
beli ini disebut dengan riba alfadhl. Jual beli seperti ini hanya berlaku dalam
al-muqayadhah (barter), yaitu barang
ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang. Riba an-nasi'ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang
berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo.
Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata orang yang
berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya boleh
diperpanjang dan jumlah utang bertambah pula. Dalam jual beli barter, baik sejenis
maupun tidak sejenis, riba an-nasi'ah
pun boleh terjadi, yaitu dengan cara jual beli barang sejenis dengan kelebihan
salah satunya, yang pembayarannya ditunda. Misal dalam barter barang sejenis,
membeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan satu
bulan yang akan datang. Atau barter dalam barang tidak sejenis, seperti membeli
satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan
yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi
dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi'ah.
Para ulama fiqh berbeda
pendapat dalam menetapkan 'illat (penyebab
yang menyebabkan keharaman riba al-fadhl
dan riba an-nasi'ah. Menurut ulama
Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, riba al-fadhlini
hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap
nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan
yang terjadi tidak termasuk riba al-fadhl. Misalnya, seekor sapi yang berumur tiga tahun
dijual dengan sapi yang berumur empat tahun. Dalam kasus seperti ini, sapi
berumur empat tahun lebih besar dari yang berumur tiga tahun. Oleh sebab itu,
kelebihan pada jual beli sapi seperti ini tidak termasuk riba al-fadhl dan tidak diharamkan. Alasan
mereka, sekalipun obyek yang diperjualbelikan adalah sama, tetapi nilainya
sudah berbeda dan diperjualbelikan bukan dengan timbangan atau takaran.
Dua Jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka,
diperjualbelikan dengan cara timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan dengan cara
per kilogram (kilogram, al-kail).
Menurut mereka, dalam berjual beli, prinsip keadilan dan keseimbangan
harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kezaliman. Oleh
sebab itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan
kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain.
Praktik seperti ini menjurus kepada kezaliman. Berdasarkan kedua
hadis, ulama Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Ahmad ibn Hanbal menetapkan
bahwa yang menjadi illat keharaman
riba al-fadhl itu adalah kelebihan
barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-wazndan al-kail. Berdasarkan 'illatini, mereka tidak mengharamkan
kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan
satuan, sekalipun sejenis, karena, benda-benda seperti ini dijual berdasarkan
nilainya, bukan berdasarkan al-wazn atau al-kail.
Lebih lanjut ulama Hanafiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
mengatakan bahwa dasar keharaman riba al-fadhl
ini dititik beratkan kepada sad az.-zari'ah
yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa kepada riba yang berakibat mudharat bagi umat manusia.
Adapun 'illat dalam
keharaman riba an-nasi'ah, menurut
ulama Hanafiyah, adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya
pada waktu tertentu. Misalnya, Badu berutang uang kepada Mamat sejumlah
Rp.200.000,- yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat
pengembalian utang itu dilebihkan menjadi Rp.250.000,-. Kelebihan uang
dengan tenggang waktu ini disebut
dengan riba an-nasi'ah.
Unsur kelebihan pembayaran yang boleh berlipat ganda apabila utang tidak
boleh dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu
kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimana pun bentuknya, menurut mereka
adalah haram. Itulah sebabnya Allah menyatakan di akhir surat al-Baqarah 2: 279 dari rangkaian ayat
riba:
Artinya: “…kamu tidak
(jangan) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendirian bahwa 'illat keharuman riba al-fadhl pada emas dan perak adalah
disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah
dibentuk, seperti cincin atau kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh
sebab itu, apapun bentuk emas dan perak, apabila sejenis, tidak boleh
diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain.
Misalnya, apabila emas batangan dijual dengan emas yang telah dibentuk menjadi
cincin atau kalung, tidak boleh dilebihkan harga yang satu atas yang lain. Dua
gram cincin emas harus dijual dengan dua gram emas batangan. Jika dilebihkan
harga salah satu diantaranya, maka kelebihan itu termasuk riba al-fadhl, dan apabila kelebihan itu dikaitkan dengan
pembayaran tunda (tenggang waktu), maka menjadi riba an-nasi ah.
Dalam menetapkan 'illat riba an-nasi'ah dan riba al-fadhl pada benda-benda jenis makanan, terdapat perbedaan
pendapat ulama Malikiyah dengan ulama
Syafi’iyah. Menurut ulama Malikiyah, 'illat
jenis makanan yang terdapat dalam riba
an-nasi'ah, berbeda dengan 'illat
yang terdapat dalam riba al-fadhl.
Dalam riba an-nasi'ah, 'illat pada benda jenis makanan adalah
karena sifatnya boleh dikonsumsi. Apabila satu jenis makanan dijual dengan
jenis makanan yang sama, maka hams satu takaran, seimbang, dan adil. Dengan
prinsip ini, maka riba an-nasi'ah
boleh berlaku pada seluruh jenis makanan, seperti beras, gandum, apel, pir,
semangka, dan lain-lain. Sedangkan 'illat
pada riba al-fadhl menurut ulama
Malikiyah 'illat-nya adalah makanan
pokok dan tahan lama, sekalipun ulama Malikiyah tidak membatasi waktu tahan
lama yang dimaksud.
Alasan mereka adalah agar umat manusia tidak tertipu dan harta
mereka terpelihara dari tindakan spekulan. Tujuan seperti ini, menurut mereka,
paling tidak dan terutama berkaitan erat dengan masalah makanan pokok setiap
manusia, Oleh sebab itu, untuk memelihara makanan pokok manusia itu, diperlukan
suatu hukum yang mengantisipasi agar tidak terjadi unsur penipuan yang
berlebihan, yaitu dengan mengharamkan riba
al-fadhl pada makanan pokok tersebut.
Berbeda dengan pendapat ulama Malikiyah di atas, ulama Syafi’iyah
mengatakan bahwa 'illat riba pada
jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik
makanan pokok, makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya), maupun makanan
untuk obat, yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh. Apabila
kelebihan pembayaran pada jenis makanan ini dibarengi dengan tenggang waktu, maka
menjadi riba an-nasi'ah, sedangkan
apabila tidak dikaitkan dengan tenggang waktu, kelebihan harga dan salah satu
benda sejenis yang diperjualbelikan menjadi riba
al-fadhl.
Oleh sebab itu, seluruh jenis makanan apabila diperjualbelikan
secara barter, harus seimbang dan tunai. Apabila berbeda jenis, boleh diperjualbelikan
sesuai dengan keinginan pemilik masing-masing. Artinya, jenis yang satu boleh
lebih mahal dari jenis yang lain. Alasan mereka, empat jenis benda yang
disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit di
atas, tidak membedakan jenis makanan itu, apakah mengenyangkan, tahan lama,
atau makanan pokok. Yang diketahui secara umum, menurut mereka, keempat jenis
benda itu adalah jenis makanan. Oleh sebab itu, menjadikan "makanan"
sebagai 'illat terjadinya riba al-fadhl dalam benda-benda yang
disebutkan dalam hadis itu lebih tepat daripada mengaitkannya dengan makanan
pokok dan tahan lama, atau jenis benda yang ditimbang.
'Illat riba di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga riwayat, yaitu:
a.
Al-wazn dan al-kail, seperti yang dikemukakan ulama
Hanafiyah.
b.
Untuk jenis
makanan sama dengan
pendapat ulama Syafi'iyah,
yaitu karena sifat
"makanannya, sedangkan untuk
emas dan perak
karena keduanya merupakan harga dari sesuatu.
c.
Sifat
al-wazn dan al-kail untuk jenis makanan dan "harga dari sesuatu"
bagi emas dan perak.
Menurut ulama Zahiriyah, riba itu tidak ada 'illat-nya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka yang menolak
mencari-cari 'illat (at-ta'lil) suatu hukum yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, apabila Rasulullah SAW telah menyatakan
berlaku riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan Muslim dari 'Ubadah ibn al-Shanlit di alas, maka seorang mujtahid
cukup menyatakanriba hanya pada enam jenis itu, tanpa mencari apa 'illat
keharamannya. Implikasi dari prinsip mereka ini, di luar jenis yang enam itu
tidak berlaku riba.
E.
Praktik Riba di Masyarakat Saat Ini
Praktik
riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kita jumpai dalam kemasan
jual beli walaupun sebenarnya jual beli yang terjadi hanya sebagai kamuflase
belaka. Di antara kamuflase riba yang terjadi di zaman sekarang dalam bentuk
jual beli ialah bentuk pengkreditan. Di masa lalu hanya dikenal kredit dua
pihak yaitu antara penjual dengan pembeli saja. Namun pada masa modernisasi
ini, system transaksi ini telah mengalami perubahan, dimana kredit pada masa
sekarang umumnya melibatkan tiga pihak yaitu pemilik uang, pembeli dan lembaga
pembiayaan atau pihak pembiayaan. Kredit model seperti ini disebut dengan
kredit segitiga.
Pihak
pertama sebagai pemilik barang menegaskan bahwa dirinya telah menjual barang
kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Kemudian
pihak kedua menjual kembali barang tersebut kepada pihak ketiga dengan
pembayaran diangsur, dantentunya dengan harga jual yang lebih tinggi dari harga
jual pertama. Sekilas ini hanyalah transaksi jual beli biasa, namun sebenarnya
tidak demikian. Sebagai buktinya :
1.
Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama
2.
Barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
3.
Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacatnya barang
penjual kedua tidak bertanggung jawab, akan tetapi penjual pertama yang
bertanggung jawab
4.
Sering kali pembeli kedua telah membayar uang muka terlebih
dahulu kepada penjual pertama.
Pembahasan
diatas membuktikan bahwa pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah
memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Kemudian dari piutangnya ini,
pihak pertama mendapatkan keuntungan.
Padahal jauh-jauh
hari Rasulullah saw. melarang praktik semacam ini, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sebuah hadist:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ
بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
“Sahabat
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti
bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]
Contohnya
seperti kita hendak membeli sebuah motor dengan harga 10 juta jika dibayar
tunai dan 17 juta jika kredit. Lalu kita membeli motor dengan pembayaran
dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, kita akan dimintai untuk mengisi
formulir dan tanda tangan, dan biasanya juga disertai dengan barang jaminan,
serta uang muka. Setelah akad jual beli ini selasai dan pembeli membawa pulang
motor yang dibeli, kemudian kita diwajibkan untuk menyetorkan uang cicilan
motor ke bank atau lembaga pembiayaan dan bukan ke dealer tempat kita melakukan
transaksi jual beli motor tersebut.
Keberadaan
dan peranan pihak ketiga menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kita harus
membayar uang cicilan ke bank dan bukannya membayar uang cicilan ke dealer
tempat transaksi dan menerima motor? Jawabannya adalah karena bank daan pihak
dealer sudah melakukan kesepakatan bisnis, yang dalam artian jika ada pembeli
yang menggunakan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor
tersebut, sehingga konsekuensinya pihak pembeli secara otomatis menjadi nasabah
bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya.
Sebagai
umat muslim yang memiliki pengetahuan tentang pengharam riba, maka hendaknya
kita menjauhi perkara-perkara yang tidak mendatangkan mudharat. Adapun cara yang harus dilakukan yakni:
1.
Selalu bertakwa kepada Allah SWT dan meyakini bahwa segala
rezeki yang datang dari Allah SWT.
2.
Memilih investasi atau transaksi yang benar-benar halal.
3.
Menghindari pinjaman yang mengandung unsur ribawi.
4.
Memilih bank yang tepat tanpa praktik unsur ribawi.
5.
Mewaspadai setiap transaksi yang kita lakukan.
6.
Tidak membeli barang-barang yang memberatkan dalam melakukan
pembayarannya.
7.
Menanamkan sifat qonaah.
[1]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 406.
[2]Al-Imam Jalaluddin Muhammad
Al-Mahali, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
(Surabaya: Pustaka Elba, 2010), hlm. 201.
[3]Syaikh Ahmad Muhammad Syakir,
Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), hlm. 725.
[4]Ibid, hlm.
726.
[5]Syaikh Ahmad Muhammad Syakir,
Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari … hlm. 728-729
[6]Syaikh Ahmad Muhammad Syakir,
Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari … hlm. 732-733.
[7]Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
PT. Pustaka Panjimas, 2001), hlm. 68-69.
[8]Muhammad
Asad, The Message Of The Qur’an Juz II, (Bandung: Mizan, 2017), 780-781.
[9]Hasbi
Ash Shiddieqiy, Tafsir al-Bayan, J I (Bandung: PT Almaarif, 1996), 276.
[10]Azhari Akmal Tarigan, TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI: Sebuah Eksplorasi Melalui
Kata-Kata Kunci dalam Al-Qur’an
(Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2012), 227-228.
[11]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, Jilid I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 593.
[12]Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil ay al-Qur’an, Jilid 3 (Beirut: Dar
Fikr,2005), 128.
[13]Ibid.,129.
[14]Abdul Muthalib dan Khalid bin
Walid, disebut mempunyai banyak harta ketika Islam dating dengan mempraktikan
riba. Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i,
al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid
1 (Beirut: Dār al-Fikr, t.tt), 385.
[15]M.
Quraish Shihab, Membumikan…
404-405.
[16]Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 298.