AL HADIST PRESFEKTIF ORIENTALISME (Pemikiran Josep Schacht Tentang Hadist)

 

A.    Biografi Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Franz Schacht lahir di Ratibor[1] pada 15 Maret 1902 M. Di kota ini ia tumbuh dan tinggal selama 18 tahun.[2] Ia berasal dari keluarga Katolik yang religius dan terdidik. Ayahnya, Eduard Schacht merupakan seorang penganut Katolik Roma juga seorang guru yang mengajar anak-anak buta dan tuli. Sedang ibunya bernama Maria Mohr. Pada 1943, ia menikahi seorang wanita Inggris, bernama Louise Isobel Dorothy.[3]

Karir Ilmiahnya sudah dimulai sejak ia berada di kota kelahirannya, di sana ia menghadiri Gymnasium sehingga ia memperoleh minat pertamanya dalam bahasa-bahasa oriental (Timur).[4] Selanjutnya, ia juga bersentuhan dengan pendidikan ala rabbi Yahudi (Jewish) sebagaimana dituturkan oleh Bernard Lewis:

During the period set aside for religious studies, a rabbi came to teach the Jewish boys Hebrew. Although the young Schacht was not one of them, he managed to complete his other tasks and to get himself accepted in this group, where he took his first steps in Hebrew.[5]

(Selama waktu berkumpul, disamping untuk mengajar agama –Yahudi–, rabbi (juga) datang untuk mengajari anak-anak Yahudi bahasa Ibrani (Hebrew). Meskipun Schacht muda tidak termasuk di antara mereka, ia berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang lain dan membuat dirinya diterima di dalam kelompok tersebut, tempat di mana ia mengambil langkah pertamanya dalam –studi– bahasa Ibrani.)

Selain belajar bahasa Ibrani, ia juga mempelajari bahasa-bahasa yang lain seperti Latin, Yunani, Prancis dan Inggris di Humanistisches Gymnasium.[6] Setelah menempuh kurang lebih 9 tahun dalam studinya di Gymnasium (1911-1920) dan studinya tentang Hebrew (agama Yahudi dan bahasa Ibrani), kemudian Schacht pergi untuk melanjutkan studinya di Universitas Breslau (Wroclaw) dan Leipzig. Di sana ia mempelajari Filologi Klasik dan Semit, lalu juga mempelajari Teologi.[7] Pada 1922 ia memenangkan University prize dengan esainya tentang Perjanjian Lama (Old Testament) dan pada akhir tahun 1923 ia menerima gelar Ph. D (Doctor of Philosophy) dengan predikat summa cum laude dari Universitas Breslau. Selain itu, ia juga memperoleh gelar M.A. (Magister of Arts) pada 1947 dan D. Litt (Doctor Lit(t)erarum atau Doctor of Letters or Literature) pada 1952, keduanya ia dapat dari Oxford University.[8] Bernard Lewis menyebutkan pada tahun 1925, Schacht untuk pertama kalinya menerima pengangkatan (jabatan) akademik di Universitas Freiburg di Breisgau, berselang dua tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar tamu di sana. Dan pada 1929 ia ditunjuk secara penuh menjadi Professor of Oriental Languages (Profesor bahasa-bahasa Timur) di usianya yang baru 27 tahun. Lalu pada 1932, ia diundang untuk menduduki kursi jabatan yang sama di Universitas Königsberg, namun posisinya terhitung singkat di sana lantaran gejolak politik yang berkemelut di Jerman. Meskipun tidak menjurus pada bahaya dalam hal rasial atau alasan politik lainnya, ia lebih memilih mengikuti hati nuraninya untuk meninggalkan Jerman ketika Nazi mengambil alih kekuasaan.[9]

Antara tahun 1923 sampai 1933, Schacht melakukan perjalanan yang ekstensif di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, dan pada 1930 ia mengabdi sebagai Profesor Tamu di Universitas yang sekarang dikenal dengan Universitas Kairo di Mesir. Ketika ia meninggalkan Universitas Königsberg, pada 1934 ia kembali ke Universitas Kairo dan menjadi guru besar (Profesor) di sana sampai tahun 1939.[10]

Setelah perang berkecamuk, Schacht pindah ke Inggris di mana ia lalu bekerja untuk BBC dan British Ministry of Information (Departemen Informasi Britania) selama perang terjadi. Pada 1947 ia di-naturalisasi sebagai warga negara Inggris.[11]

Pada 1946, ia ditunjuk mengajar di Universitas Oxford. Dan selama di sana ia banyak melakukan perjalanan ke luar Negeri, di antaranya Amerika Serikat pada 1948, Nigeria pada 1950 dengan misi riset, menerima undangan sebagai guru besar tamu di Universitas Algiers pada 1952, dan kembali melakukan riset di Asia dekat dan Afrika Timur pada 1953, 1963, dan 1964.[12] Pada 1954, Schacht meninggalkan Oxford untuk mengambil alih posisi Professor of Arabic di Universitas Leiden, Belanda. Di sana ia juga melakukan studi yang intensif di bawah bimbingan C. Snouck Hurgronje.[13]

Karir Joseph Schacht berlanjut pada 1951, ketika ia ditempatkan sebagai editor edisi baru dari Encyclopaedia of Islam. Ia juga sempat bertugas di dalam sebuah asosiasi bersama Bernard Lewis. Kemudian ia bersama Robert Brunschvig bekerja bersama dalam mendirikan dan mengeditori sebuah jurnal yang prestisius, Studia Islamica, yang yang terbit pertama kali pada 1953.[14]

Tahun 1957 sampai 1958, Schacht pergi ke Universitas Colombia sebagai Profesor tamu di bidang Arabic dan Islām. Dan pada 1959, ia diangkat menjadi Profesor tetap di bidang yang sama.[15]

Joseph Scahcht memiliki beberapa rencana penulisan, di antaranya ia bermaksud menggabungkan catatan dan prolegomena yang ia koleksi, kemudian ia juga berencana menyelesaikan beberapa edisi dan studi tentang Kitāb at-Tauḥīd karya Māturidī, dan Mudawwana karya Sahnun. Namun sayangnya rencana tersebut tidak dapat ia realisasikan, karena ia mengalami pendarahan di otak dan meninggal pada 1 Agustus 1969, di New Jersey.[16]

Ada beberapa sumber yang menerangkan mengenai kepribadian Joseph Schacht, di antaranya sebagai seorang guru, ia merupakan figur yang memiliki banyak kualitas atau kemampuan yang mengagumkan, sebagaimana diungkapkan lebih jauh oleh Jeanette Wakin salah seorang yang berkesempatan mendapat bimbingan Schacht dalam mengerjakan tugas kesarjanaannya:

In formaI lectures, according to Wakin, Schacht dominatcd the room. His forceful delivery, his resonant voice, and hîs precise use of language were very  astonishing and fascinating. In a seminar or conference his performance was very remarkable, for "his enthusiasm for his subject, and the vast store of knowledge lrom many fields that ilIuminated and broadened every discussion, made these hours delightful and exhilarating ones." Moreover, he had "a fine appreciation of humor and a sharp wit which he exercised with unsuppressed pleasure." His generosity also appeared in his attitude towards his advanced students. He was always ready, for example, to lend scarce works from his private library, and turned over copies of rare manuscripts and notes that he had carefully collected during his research over a period of many years.[17]

(Dalam perkuliahan formal, Schacht memegang dominasi di ruangan. Penyampaiannya yang tegas, suaranya lantang, dan penggunaan bahasanya sungguh menakjubkan dan memesona. Sementara dalam seminar atau konferensi, performa atau penampilannya tak kalah luar biasa, ia memiliki semangat dan antusiasme untuk bidang yang ia tekuni, dan khazanah keilmuannya sangat luas dari berbagai bidang yang menghias dan meluaskan setiap diskusi, sehingga membuat jam-jam (bersamanya) menyenangkan dan menggembirakan bagi orang-orang. Selain itu, ia seorang yang memiliki apresiasi yang baik terhadap humor cerdik yang mana ia gunakan dalam melepas ketegangan. Kedermawanannya juga nampak pada sikapnya dalam memberi arahan untuk kemajuan murid-muridnya. Sebagai contoh, Ia senantiasa siap meminjamkan karya-karya langka dari perpustakaan pribadinya, dan membuat salinan dari manuskrip-manuskrip yang langka dan catatan-catatan yang ia koleksi dengan baik sejak ia mengakhiri risetnya beberapa tahun silam.)

B. Karya-karya Joseph Schacht

a. Buku

·      The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950)

·      An Introduction to Islamic Law (1960)

b.  Karya Tulis Ilmiah

·        Khassāf, Kitāb al-iyal wa al-Makhārij  (Hanover, 1923), disertasi Schacht yang terdiri dari beberapa edisi.

c.  Artikel

·         Die Arabische Hijal-Literatur, Der Islam (1926).

·         Christian Snouck Hurgronje, Der Islam 24 (1937)

·         A Revaluation of Islamic Tradition (1949).

·         Foreign Elements in Ancient Islamic Law. Journal of Comparative Legislation and International law 32 (1950).

·         Pre-lslamic Background and Early Development of Jurisprudence. In Law in te Middle East: Origin and Development of Islamic Law, cds. Majid Khadduri and Herbert J. Liebesny. Washington. D.C.: The Middle East Institute. 1955.

·         The Schools of Law and Later Development of Jurisprudence. In Law in Middle East: Origin and Development of Islamic Law. eds. Majid Khadduri and Herbert J. Liesbeny Washington. D.C.: The Middle East Institute. 1955.

·         The Law. In Unitiy and Variety in Muslim Civilization.ed. G.F. von Grunebaum. Chicago: University of Chicago Press. 1955.

·         Islam in Northern Negeria. Studia Islamica 8 (1957).

·         Notes on Islam in East Africa. Studia Islamica 13 (1961).

·         Modernism and Traditionalism in a History of Islamic Law. Middle Eastern Studies 1 (1965).

·         Problems of Modern Islamic Legislation. Studia Islamica. 1965.

·         Law and Justice. In The Cambridge History of Islam. Vol. 2, cds. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, Bernard Lewis. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.

·         Theology and Law in Islam. In Theology and Law in Islam. ed. G.F. von Grunebaum.Wiesbaden: Otto Harrassowitz. 1971

·         lslamic Religious Law. In The Legacy of Islam. Second edition, eds. Joseph Schacht  and C.E. Bosworth, Oxford: The Clarendon Press. 1974.[18]

C.   Pemikiran Hadits Joseph Schacht

1.  Metodologi Schacht dalam Studinya terhadap Sunnah

Sebagai seorang sarjana Joseph Schacht tidak melakukan sesuatu tanpa dasar. Tentunya dalam penelitian-penelitiannya ia menggunakan metodologi yang sesuai dengan spesialisasinya bagi risetnya. Namun penting untuk dicatat, terlepas dari metodologi yang digunakannya, umat Islām yang menerima hasil penelitian Schacht harus ingat betul siapa Joseph Schacht. Ia adalah seorang orientalis yang dalam kajian-kajiannya terhadap Islām, khususnya dalam bidang hukum Islām dan adīṡ, ia membawa nuansa ala Barat yang khas dengan skeptisisme dan positivistik. Selain itu, pribadinya yang notabene bukan seorang muslim mempertegas bahwa upayanya dalam menilai Islām dalam studinya tentang Islām hanyalah pandangan satu sisi yang subyetif (dari orang luar –non-muslim–) dan tidak bebas dari kemungkinan adanya kepentingan tertentu atau tujuan yang harus senantiasa diawasi dan semestinya tidak terburu-buru menjatuhkan sangkaan baik kepadanya demi penjagaan kemaslahatan umat Islām.

Adapun berkenaan dengan metodologi yang digunakan Schacht dalam studinya terhadap adīṡ, disebutkan bahwa:

Metode yang digunakan Joseph Schacht dalam kajian kritik adīṡnya adalah historis-filologis, yaitu sebuah metode yang menitikberatkan pada sejarah kemunculan kitab-kitab kanonik yang kemudian digabungkan dengan metode filologis dengan mencari data-data buku yang terkodifikasikan pada saat itu. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika kritiknya begitu tajam dengan menyatakan bahwa adīṡ adalah buatan para sarjana abad kedua dan ketiga Hijriah, karena pada masa sebelumnya, adīṡ-adīṡ belum terkodifikasikan dengan baik. Dan sanad-sanad adīṡ adalah sanad palsu yang sengaja dibuat oleh periwayat untuk menyandarkannya kepada Nabi.[19]

Bernard Lewis menyebut metode Schacht sebagai “historical and sosiological. Di sisi lain, Schacht juga menyatakan bahwa kajian yang telah dilakukannya dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para pendahulunya, seperi Ignaz Goldziher dan Margoliouth.[20]

2.  Sunnah Menurut Schacht

Tidak berbeda dengan pendahulunya Ignaz Goldziher yang mengatakan bahwa konsep Islām tentang sunnah tidak lebih dari sekedar revisi atas adat kebiasaan, tradisi dan kebiasaan nenek moyang ‘Arab, Schacht mendefinisikan Sunnah sebagai konsepsi ‘Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam Islām.[21] Schacht menilai bahwa Sunnah lebih berarti pada praktek ideal dari komunitas setempat atau doktrin yang muncul ke permukaan.[22]

Menurut Schacht, konsep awal Sunnah adalah “tradisi yang hidup” dalam mażhab-mażhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau “praktek yang disepakati secara umum” (‘amal, al-amr al-mujtama’ ‘alaih). Konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabī.[23]

 Lebih lanjut dalam Introduction to Islamic Law ia mengemukakan:

Sunnah dalam konteks Islām pada awalnya lebih memiliki konotasi politis dari pada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan dan administrasi khalīfah. Pertanyaan apakah tindakan-tindakan administratif dua khalīfah yang pertama, Abū Bakr dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden[24] yang mengikat, muncul barangkali pada saat pengganti ‘Umar harus ditunjuk (23/644), dan ketidakpuasan terhadap kebijakan khalīfah ketiga, ‘Uman, yang mengakibatkan pembunuhannya pada 35/655, menjadi tuduhan bahwa, dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan pendahulunya dan, secara implisit, dari al-Qur’ān. Dalam kaitan ini, tampak konsep “Sunnah Nabī” belum teridentifikasi dengan seperangkat aturan positif yang manapun melainkan memberikan adanya kaitan doktrinal antara “Sunnah Abū Bakr dan ‘Umar dan al-Qur’ān. Bukti paling awal, tentunya yang otentik, untuk penggunaan istilah “Sunnah Nabī” adalah surat yang pernah dikirimkan oleh pemimpin Khawārij ‘Abdullāh ibn ‘Ibād kepada khalīfah Banī ‘Umayyah ‘Abd al-Mālik sekitar 76/695. Istilah yang sama dengan konotasi teologis, dan ditambah lagi dengan “contoh para nenek moyang” yang ada dalam risālat yang sezaman yang dikirim oleh asan al-Barī kepada khalīfah yang sama. Hal ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islām, barangkali menjelang akhir abad pertama, oleh para ‘ulamā Irak.[25]

Untuk menopang argumentasinya bahwa konsep awal sunnah adalah praktek atau “tradisi yang hidup”, Schacht merujuk pada Margoliouth dan Ibn al-Muqaffa’. Dia menulis:

Margoliouth has concluded that ‘sunna’ as a principle of law meant originally the ideal or normative usage of the community, and only later acquired the restricted meaning of precedents set by the Prophet.[26]

(Margoliouth menyimpulkan bahwa Sunnah sebagai prinsip hukum pada awalnya berarti penggunaan ideal dan normatif dari masyarakat dan baru kemudian memperoleh arti terbatasnya sebagai preseden-preseden yang dibuat oleh Nabī.)[27]

Selain itu, dari berbagai referensi yang ia kutip tentang penggunaan istilah Sunnah, Margoliouth juga menarik kesimpulan bahwa:

The practice of the Prophet in these stories is far commoner than any other phrase. The context in which these expressions are most frequently used is in reference to the third Caliph Othman, whose conduct was supposed to differ seriously from that of his predecessors: though he charges formulated against him are always somewhat vague. It seems clear that the second source of law was not yet anything quite definite, but merely what was customary, and had the approval of persons of authority, all of whom presently merged in the Prophet.[28]

(Praktek Nabī dalam riwayat-riwayat ini jauh lebih lazim ketimbang frase-frase lainnya. Ungkapan-ungkapan ini paling sering digunakan dalam konteks referensi kepada khalīfah ketiga ‘Umān , yang perilakunya dianggap sangat berbeda dengan para pendahulunya, meskipun tuduhan terhadapnya sering kali kurang begitu jelas. Jelas kelihatan bahwa sumber hukum yang kedua belum merupakan sesuatu yang sudah begitu nyata, melainkan sekadar kebiasaan belaka, dan memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memiliki otoritas yang semuanya kini menyatu pada Nabī.)[29]

Prof. al-A’zamī menuturkan,[30] bagian sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata Sunnah. Secara ringkas, dia berpendapat bahwa:

1.        Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebut “tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini dia mengikuti D. S. Margoliouth dan mengutip Ibn al-Muqaffa’, yang menurutnya mendapatkan istilah itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administratif pemerintahan Banī Umayyah.[31]

2.        Konsep Sunnah Nabī pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua.[32]

3.        Bahkan penggunaan istilah “Sunnah Nabī tidak berarti Sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabī alallāhu ‘alaihi wa sallam, ia sekadar “tradisi yang hidup” dari mażhab yang ada yang diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabī alallāhu ‘alaihi wa sallam.[33]

3.  Sumber yang Dirujuk Schacht dalam Studi adīṡ

Berdasar penelitian Prof. al-A’zamī, disebutkan bahwa Prof. Schacht telah mempelajari kitāb al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik, kitāb al-Muwaṭṭa’ karya Imām Muhammad as-Syaibānī, dan kitāb al-Umm karya Imām as-Syāfiī. Kitāb-kitāb ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kitāb-kitāb fiqih dari pada kitāb-kitāb adīṡ. Namun demikian, Schacht telah menggeneralisasikan ‘hasil kajiannya’ terhadap kitāb-kitāb tersebut sekaligus menerapkannya untuk seluruh kitāb-kitāb adīṡ. Seolah-olah tidak ada kitāb yang khusus mengenai adīṡ, dan seolah-olah tidak ada perbedaan antara watak kitāb fiqih dan kitāb adīṡ.[34]

Riset yang dilakukan Joseph Schacht memang berkosentrasi pada hukum Islam, dan ia sendiri pun lebih menenggelamkan dirinya dengan berkecimpung di bidang tersebut. Maka tak ayal, bila Schacht lebih banyak merujuk sumber-sumber dari kitab-kitab yang notabene bergenre fiqih. Demikian halnya, pada para peneliti lain yang memiliki spesialis di satu bidang tertentu, ia akan lebih banyak menggunakan data yang dikuasainya dalam analisa-analisanya. Namun, hal ini tidak berlaku jika terjadi lintas disipli ilmu. Ketika akan melakukan sebuah riset atau penelitian pada bidang adīṡ maka seyogyanya, apa yang dirujuk menjadi sumber ialah kitab-kitab adīṡ. Karena relevansi mesti diprioritaskan, akan tetapi Joseph Schacht malah entah dengan sengaja atau ada alasan lain menggunakan sumber-sumber penelitiannya hanya dengan merujuk kitab-kitab yang lebih berkonotasi fiqih dari pada adīṡ, sementara ia dengan hasil risetnya mengemukakan bahwa semua adīṡ yang dinisbatkan kepada Nabi adalah palsu, dengan menambahkan khususnya yang berkenaan dengan hukum.

Selain karya klasik muslim di atas, Schacht juga merujuk pada ar-Risalah, karya as-Syāfiī, Āṡār Ibn al-Muqaffa’, dan Schacht juga merujuk kepada karya-karya orientalis lain, seperti D.S. Margoliouth, The Early Development of Mohammedanism,  Ignaz Goldziher dan yang lainnya.

 

4.  Beberapa Pandangan Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Introduction to Islamic Law dan Referensi lain

a.     Hukum Islam

Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht berkata: “Khalīfah-khalīfah pertama tidak menujuk para qad’ī.”[35] Dia kemudian menegaskan bahwa Banī ‘Umayyah “mengambil langkah penting dengan menunjuk para hākim atau qad}ī.”[36] Hal ini mengarahkannya untuk berkesimpulan bahwa “sebagian besar abad pertama Hijriyah, hukum Islām, dalam artian teknis belum ada.”[37] Pendapat yang sama dinyatakan dalam  The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Dalam buku itu dia berkata bahwa: “Bukti adanya adīṡ-adīṡ hukum membawa kita mundur ke sekitar tahun 100 Hijriyah saja; pada saat itu pemikiran hukum Islām berawal dari akhir pemerintahan dan praktek popular Banī ‘Umayyah, yang masih direfleksikan dalam sejumlah adīṡ.”[38] Dia mempertahankan lagi: “Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islām hampir-hampir tidak ada pada masa as-Sya’bī, yang wafat pada tahun 110 Hijriyah.[39]

b.     Isnād

Profesor al-A’zamī menyebutkan bahwa menurut pengakuannya, Prof. Schacht telah mempelajari adīṡ-adīṡ yang berkaitan dengan masalah fiqih serta perkembangannya. Ia berpendapatbahwa isnād adalah bagian dari ‘tindakan sewenang-wenang’ dalam adīṡ Nabī alallāhu ‘alaihi wa sallam. adīṡ-adīṡ itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu.[40]

Di lain kesempatan Schacht mengatakan bahwa pendapat yang bersumber dari seorang Tābi’īn Ibnu Sīrīn menuturkan bahwa usaha untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya ‘fitnah’ (musibah perang saudara), di mana semua orang sudah tidak dapat dipercaya lagi tanpa dteliti terlebih dahulu. Dan kita akan mengetahui bahwa ‘fitnah’ yang bermula dari terbunuhnya al-Walīd bin Yazīd (w. 126 H) menjelang surutnya Daulah ‘Umayyah itu adalah waktu yang dijadikan patokan sebagai akhir kejayaan masa lampau, yaitu masa di mana Sunnah-sunnah Nabī alallāhu ‘alaihi wa sallam masih berlaku secara umum. Oleh karena Ibnu Sīrīn wafat pada 110 H, maka pendapat yang bersumber dari padanya tadi itu adalah tidak benar dan palsu. Dan bagaimana pun juga, kita tidak menemukan bukti-bukti yang dapat diterima bahwa penggunaan sanad itu sudah dimulai sebelum awal abad kedua Hijriyah.[41]

c.     Mażhab Fiqih

Dalam risetnya, Schacht membuat kategorisasi tersendiri tentang mażhab, sebagaimana disebutkan Prof. al-A’zamī dalam On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence:

Schacht menyebut mażhab-mażhab fiqih klasik dengan sebutan mażhab Madīnah, mażhab Suriah, dan mażhab Irak. Perlu diperhatikan di sini bahwa nama-nama ini menyesatkan. Ada beberapa mażhab fiqih pada masa awal Islām, yang paling terkenal dalam dua abad pertama adalah mażhab Madīnah dan Kūfah, dan di dua kota tersebut ada beberapa ulama yang pendapat-pendapat mereka dalam bidang hukum berbeda. Schacht mendasarkan pandangannya pada tulisan-tulisan hanya beberapa ulama dari daerah-daerah ini: Mālik bin Anas dari Madīnah dan Abū Yūsuf dan Syaibānī dari Kūfah (mażhab anafī) dan terutama, tulisan-tulisan polemik dari Syāfiī selama fase Mesir yang terakhir. Meskipun Schacht sendiri mengatakan bahwa keliru untuk menggeneralisasikan keseragaman ajaran, meskipun dalam lingkaran mażhab Kūfah,” namun demikian dia membuat generalisasi luas dengan dasar tulisan-tulisan seorang ulama dari satu mażhab Kūfah dan memperluasnya untuk seluruh Irak. Dia juga menggeneralisasikan hanya Mālik dan menerapkannya untuk semua ulama Madīnah.[42]

 

5.  Teori-Teori Schacht Mengenai adīṡ

a.     Projection Back/Backward Projection

Berdasar definisi berarti toeri Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan adīṡ pada awalnya berasal dari generasi Tābi’īn yang diproyeksikan ke belakang kepada generasi aḥābat dan akhirnya kepada Nabī dengan cara menambah dan memperbaiki isnād yang sudah ada.[43]

Teori Projection Back ini dikemukakan Joseph Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana berikut:

The isnad were often put together very carelessly. Any typical representative the group whose doctrine was to be projected back on to an ancient authority could be chosen at random and put into the Isnad. We find therefore a number of alternative names in otherwise identical isnads, where other consideration exclude the possibility of the transmission of a genuine old doctrine by several persons.

(Isnād sering diletakkan secara sembarangan. Berbagai kelompok yang doktrinnya diproyeksikan ke belakang kepada otoritas lama bisa saja diambil secara acak dan diletakkan ke dalam isnād. Karena itu, Kami menemukan beberapa pilihan nama dalam isnād lain yang identik, di mana pertimbangan lain meniadakan kemungkinan periwayatan doktrin lama yang asli oleh beberapa orang).

Berkenaan dengan teori ini, Prof. al-A’zamī menuturkan, Prof. Schacht mengetengahkan teori baru tentang ‘Sejarah Pemalsuan Sanad adīṡ’, atau dengan kata lain ‘untuk mengetahui masa pemalsuan Sanad adīṡ’. ‘Teori yang gawat’ ini mendapatkan pujian dari Prof. Robson, di mana ia berkata,[44]

“Teori ini merupakan sumbangan yang sangat berharga untuk meneliti perkembangan adīṡ-adīṡ Nabī. Sebab teori ini tidak hanya mengungkapkan sejarah kapan adīṡ-adīṡ itu dianggap sebagai ucapan Nabī, tetapi juga memberikan petunjuk yang tepat tentang apa sanad itu. Yaitu bahwa bagian bawah dari suatu sanad memang benar, sedang bagian atas yang sampai kepada Nabī adalah palsu dan merupakan khayalan belaka.”[45]

  1. Common Link Theories

Secara definitif, ialah teori Joseph Schacht yang dikembangkan oleh Juynboll, yang menyatakan bahwa semakin banyak jalur isnād yang bertemu pada seorang periwayat. Baik yang menuju kepadanya atau yang justru meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.[46]

Mengenai Teori Common Link ini, disebutkan bahwa pertama-tama, metode itu dikemukakan oleh Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence halaman 171-175. Kemudian, metode ini dikembangkan oleh Gautier (G.H.A. atau Gaultherus Hendrik Albert) Juynboll.[47] Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.[48]

Kepentingan Joseph Schacht mengemukakan teori Common Link dapat kita ketahui dari tulisan Profesor al-A’zamī yaitu;

Keberadaan common link (tokoh penghubung) dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa adīṡ itu berasal dari masa tokoh tersebut. Ini memberikan petunjuk kepada kita untuk menemukan waktu terjadinya pemalsuan.[49]

c.    Argumentum e Silentio/e silentio Argument

Menurut definisi ialah teori yang dikemukakan oleh Joseph Schacht, yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah adīṡ tidak ada pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa adīṡ tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan merujuk kepadanya jika adīṡ itu ada.[50]

Menurut afār Isḥāq Anṣārī, asumsi dari argumenta e silentio dapat dibenarkan jika seseorang terlebih dahulu mengakui validitas asumsi-asumsi berikut ini:

1.        Selama dua abad pertama, ketika berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, adīṡ-adīṡ yang dipakai sebagai argumen untuk mendukung juga disebutkan secara konsisten.

2.        adīṡ yang diketahui oleh seorang ahli hukum atau ahli adīṡ diketahui pula oleh seluruh ahli hukum dan ahli adīṡ pada masanya.

3.        Semua adīṡ yang beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan secara luas serta dipelihara sedemikian rupa hingga jika seseorang tidak menemukan sebuah adīṡ dalam karya-karya para ulamā terkemuka maka hal itu merupakan bukti bagi ketiadaannya pada masa itu, di daerah dan juga di dunia Islām.[51]

Sayangnya, menurut Anṣārī, asumsi-asumsi tersebut tidak didukung oleh dan tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah.[52]

6.  Pandangan Orientalis dan Sarjana lain terhadap Pemikiran dan Karya Joseph Schacht

Menurut Fazlur Rahman, Schacht telah terarahkan pikirannya untuk menetapkan sifat umum adīṡ secara lebih sistematis melalui studi-studi kesarjanaannya dalam hukum Islām dan perkembangan teori hukum dalam Islām. Tetapi pandangan-pandangannya atas sifat tradisi secara umum pada dasarnya adalah sama dengan pandangan-pandangannya terhadap tradisi-tradisi hukum.[53] Begitu juga pendapat H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa tentang The Origins of Muhammadan Jurisprudence, ia mengatakan, “buku itu akan menjadi pondasi bagi seluruh kajian masyarakat dan hukum Islām di masa mendatang, paling tidak, di Barat.”[54] Noel J. Coulson mengatakan bahwa Schacht telah merumuskan sebuah tesis mengenai hukum Syarī’ah yang secara garis besar tak terbantahkan.[55] Menurut David S. Powers, Schacht menguraikan garis besar sejarah dan perkembangan hukum Islām. Seluruh kajian modern tentang persoalan tersebut bermuara dari uraian Schacht itu. Sedangkan Daid V. Forte berpendapat bahwa, Hampir semua sarjana Barat setuju, bukti bahwa schacht melawan ke-aḥīḥ-an adīṡ di dalam buku ini -A Introduction to Islamic Law- hampir tidak dapat dibantah.

D.   Kritik Terhadap Pemikiran Schacht Mengenai adīṡ

Terminologi teori bukanlah suatu hal yang telah mapan. Teori hanya berada di atas asumsi dan hipotesis, namun berada di bawah hukum. Oleh karena itu, pemikiran dan teori Joseph Schacht bukanlah aksioma yang tak bisa dibantah, atau suatu sabda orang suci yang sakral dan harus ditaati. Pandangannya sama saja dengan pandangan manusia biasa, yang menjadi pembeda hanyalah level Schacht berada.

Benar, jika pemikirannya bisa dibantah tapi tidak sembarang orang bisa memberi bantahan, minimal orang yang berhak untuk membantah dan beradu argumentasi dengan Schacht adalah seorang Profesor Doktor pula dan setidaknya mumpuni dalam bidang filologi, hukum Islām, dan adīṡ.

Sadar akan adanya syarat yang belum terpenuhi, maka penulis dalam mengajukan kritik terhadap Schacht hanya menyampaikan kembali apa yang sudah dikemukakan oleh mereka yang telah layak atau sepadan bahkan mungkin di atas level Joseph Schacht dalam menanggapi dan mengomentari pemikirannya.

Dari beberapa tulisan yang penulis dapatkan, Secara umum dapat dinyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan Schacht sudah terjadi pada hal yang mendasar, yaitu metodologi dan epistemologi, kemudian secara lebih rinci kerancuan dan kesalahan-kesalahan Schacht terjadi dalam teori-teori dan kasus-kasus yang lebih spesifik, seperti generalisasi, argumentum e silentio, penggunaan istilah yang bias dan lain-lain. Berikut adalah uraiannya:

a.    Kritik Metodologi dan Epistemologi Joseph Schacht

Menurut Profesor Muhammad Muṣṭafā al-A’zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence itu disebabkan oleh lima perkara: (1) sikapnya yang tidak konsisten (inkonsistensi) dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, (2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4) ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, dan (5) salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islām.[56]

Adapun secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnya, meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya, apa-apa yang tidak sesuai dengan presuposisi dan misi yang ingin dicapainya akan dimentahkan dan dimuntahkan. Seperti diungkapkan oleh Herbert Berg: “the results of their work is dictated by their presuppositions” dan “the data are made to fit the theory”.[57]

Dalam hal ini, Joseph Schacht dari beberapa aspek dalam studinya yang telah dikrititsi, maka ia telah memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam kategori tersebut.

b.    Kritik terhadap generalisasi yang dilakukan Schacht

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Schacht menggunakan generalisasi dalam beberapa beberapa kasus untuk mendukung kesimpulan dan teorinya. Namun, apakah generaliasi Schacht tersebut relevan atau tidak, bisa ditinjau dari kaidah serta penjabaran generalisasi Schacht sebagai berikut:

Jika kasus spesifik dijadikan sebagai sumber data kemudian ditarik generalisasi berupa kesimpulan, sementara kasus itu tidak dapat mewakili populasi yang ada di dalamnya, maka kesimpulan yang diperoleh tidak dapat diterima. Generalisasi model ini pernah dilakukan orientalis seperti Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence ketika mengemukakan teori projecting back bahwa adīṡ merupakan penisbahan pendapat para ahli fiqih abad II dan III Hijriyah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Ketika mengemukakan data untuk mendukung teorinya itu, Schacht sebagaimana pendahulunya Goldziher menggunakan kejadian individual dan terbatas yang kemudian digeneralisasi dalam bentuk kesimpulan. Model yang digunakan Schacht ini tidak dapat diterima karena tidak representatif bagi seluruh populasi atau unit klasifikasi yang dikehendaki sehingga kesimpulan yang dibuat tidak relevan.[58]

Selain itu, Schacht juga melakukan generalisasi dalam pandangan tentang mażhab. Prof. al-A’zamī mengatakan penamaan mażhab menurut Schacht itu menyesatkan.[59] Lebih lanjut menurutnya, Schacht mengasumsikan mażhab Mālik bin Anas sebagai representasi seluruh Madīnah, dan dia menggeneralisasikan doktrin-doktrin mażhab anafī di Kūfah untuk mencakup seluruh Irak. Di sini dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan latar belakang pengakuannya sendiri bahwa “menggeneralisasikan keseragaman doktrin, meskipun hanya dalam lingkup mażhab Kūfah, merupakan kekeliruan.”[60]

c.    Kritik terhadap argumentum e silentio Joseph Schacht

Dr. Syamsuddin Arif dalam  salah satu tulisannya mengemukakan:

Ada satu kesalahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik suatu kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan ketiadaan bukti....Di sinilah letak kesalahan Schacht. Bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang mendukung hipotesa anda belum tentu dan tidak mesti berarti bukti itu tidak ada. Sebab, ada atau tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada anda. “The absence of evidence is not evidence of absence,” ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti ada, tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya. Itulah sebabnya Schacht telah ditohok oleh banyak orang. Argumen dia bukan hanya melemahkan tetapi juga meruntuhkan validitas kesimpulan-kesimpulannya.[61]

d.    Kritik Pembiasan Istilah yang Dilakukan Schacht

Dalam karyanya Introduction to Islamic Law, Schacht membagi fiqih ke dalam beberapa judul-judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum Islām pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagiannya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islām.[62]

e.    Kritik Teori Common Link :Sebuah Steorotip Schacht Kepada Ulamā adīṡ

Schacht memberikan tuduhan bahwa common link atau seorang periwayat yang menjadi sumber penerimaan adīṡ sampai darinya memunculkan banyak jalur periwayatan ialah yang bertanggung jawab sebagai pembuat adīṡ bukan dari Nabī, akan tetapi ia memproyeksikannya ke belakang yaitu ke generasi sebelumnya termasuk kepada Nabī sebagaimana juga disebutkan dalam teori projection back. Padahal berkenaan dengan penyendirian periwayatan ini sudah pernah diulas oleh aż-Żahabī, sebagaimana berikut:

Lihatlah terlebih dahulu para aḥābat Nabī halallāhu ‘alaihi wa sallam yang tua dan yang muda (senior dan junior). Masing-masing memiliki pengetahuan mengenai sunnah tertentu sendirian saja, yang tidak diketahui lainnya. Dalam kasus ini dikatakan bahwa adīṡ ini belum diperkuat oleh periwayat lainnya. Demikian pula Tābi’īn. Masing-masing memiliki pengetahuan sendirian saja. Aku tidak akan memerinci, karena masalah ini sudah dibahas dalam Ilmu adīṡ.

Jika seorang ulamā terpercaya dan akurat (a-iqah al-mutqin) meriwayatkan adīṡ sendirian saja, adīṡ itu akan diperhitungkan sebagai otentik tapi ‘aneh’ (aḥīḥ garīb).

Jika seorang ulamā yang ada pada tingkatan adūq (benar) atau lebih rendah dari padanya –meriwayatkan adīṡ  dan tidak seorangpun memperkuat pernyataannya–, maka adīṡ itu dianggap munkar.

Jika seorang periwayat meriwayatkan adīṡ, lalu sebagian besar di antaranya tidak mendapat kesaksian atau pendukung baik lafa atau isnād dari riwayat yang lain, maka periwayat (rāwī) itu disebut matrūk al-adīṡ.[63]

Penyendirian periwayatan telah mendapat perhatian tersendiri dari para ulamā ahli adīṡ, sehingga teori common link Schacht sebenarnya telah lama terbantahkan bahkan jauh sebelum teori ini digagas.

f.     Kritik Sumber Studi Schacht terhadap adīṡ

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sumber yang digunakan Schacht dalam studinya, antara lain al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik, al-Muwaṭṭa’ karya Imām Muhammad as-Syaibānī, dan al-Umm karya Imām as-Syāfiī. Lebih jauh Prof. al-A’zamī memaparkan, “lama sekali Prof. Schacht meneliti adīṡ-adīṡ yang berkaitan dengan masalah fiqih (aḥādīṡ fiqhiyah), sudah dijelaskan bahwa meneliti adīṡ dan hal-hal yang berkaitan dengan adīṡ- yang terdapat dalam kitāb-kitāb fiqih atau kitāb-kitāb biografi (sīrah), tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Berdasarkan kajiannya, Schacht memberikan gambaran tentang kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh ahli-ahli fiqih abad pertama dan kedua Hijriyah. Dari situ ia memberikan contoh-tontoh tentang pemalsuan adīṡ. Kemudian ia menggeneralisasikan hasil penelitiannya untuk seluruh adīṡ. Oleh karena itu, ia menganggap hasil kajiannya itu benar.[64]

 


E.  Kesimpulan

Penulis memberikan kesimpulan dari apa yang menjadi poin-poin utama dari gagasan yang mewujud menjadi pemikiran khususnya dalam bidang adīṡ dari Joseph Schacht, ialah sebagai berikut:

1.         Hukum berada di luar wilayah agama, Nabī halallāhu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud membuat sistem yurisprudensi baru. Otoritas beliau bukan pada masalah hukum. Bagi orang-orang yang beriman, beliau memperoleh otoritas dari kebenaran pesan agama; orang-orang munafik mendukung beliau untuk alasan politik.

2.         Mażhab-mażhab fiqih klasik, yang masih banyak dikenal sampai saat ini, lahir pada dekade-dekade awal abad kedua Hijriyah. Sunnah pada awalnya mereka pahami sebagai “tradisi yang hidup” (al-‘amr al-mujtama’ ‘alaih), yaitu praktek ideal masyarakat yang diungkapkan dalam doktrin mażhab fiqih yang telah lazim. Konsep awal mengenai Sunnah ini, yang tidak ada kaitannya dengan kata-kata dan tindakan-tindakan Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam membentuk basis teori hukum mażhab-mażhab tersebut.

3.         Mażhab-mażhab fiqih klasik ini melahirkan pihak oposisi, dengan semangat keagamaan, yang dengan bohong menghasilkan informasi terperinci mengenai Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam agar dapat dijadikan sebagai sumber otoritas pandangan-pandangannya dalam bidang hukum.

4.         Mażhab-mażhab fiqih klasik ini mencoba memberi perlawanan terhadap kelompok-kelompok tersebut, tapi ketika mereka tahu bahwa adīṡ-adīṡ yang dinyatakan berasal dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam kian lama kian berlaku pada konsep awal Sunnah, mereka menyimpulkan bahwa “hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah mengurangi arti adīṡ-adīṡ itu melalui interpretasi, dan membubuhkan perilaku dan doktrin-doktrin mereka sendiri pada adīṡ-adīṡ yang dinyatakan dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam lainnya” yakni, mereka turut serta dalam penipuan.

5.         Alhasil, selama abad kedua dan ketiga Hijriyah para ulama menjadi terbiasa untuk memproyeksikan pernyataan-pernyataan mereka sendiri kepada ucapan Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam.

6.         Karenanya, hampir-hampir tidak ada adīṡ dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam yang dapat dianggap otentik.

7.         Sistem isnād  (“rantai periwayat”), yang digunakan untuk membuat otentik dokumen-dokumen adīṡ itu, tidak memiliki nilai sejarah. Sistem itu ditemukan oleh para ulama yang secara bohong menisbatkan doktrin-doktrin mereka sendiri ke belakang sampai pada sumber-sumber sebelumnya. Karenanya, sistem itu hanya bermanfaat sebagai sarana untuk mengetahui waktu pemalsuannya.[65]

Semua tesis pokok Schacht di atas sudah dibantah oleh Prof. Dr. al-A’zamī dalam bukunya, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence. Oleh karenanya, bila pembaca yang budiman ingin pemaparan yang lebih luas dan mendalam bisa merujuk langsung kepada buku tersebut. Wallāhu ’Alam



[1]Ratibor adalah pelafalan dalam bahasa Jerman, sedang dalam pelafalan Polandia, Ratibórz, dan Ratiboř dalam pelafalan Czech. Nama ini berasal dari bahasa Slavic dan datang dari nama  Duke Racibor, tokoh pendiri kota ini. kota ini tadinya merupakan bagian dari kota Silesia, yang dulu termasuk wilayah Jerman tapi sekarang adalah bagian dari negara Polandia serta letaknya cukup dekat dengan perbatasan Czechoslovakia (yang sekarang sudah terpisah menjadi Republik Czech dan Slovakia).

[2]Lihat, Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal. 4. (sumber rujukan Thesis: Robert Brunschvig, "Joseph Schacht (1902-1969)," Studia Islamica 31 (1970): v. Sec also G.E. von Grunebaum, "In Memoriam: Joseph Schacht/' International Journal of Middle East Studies 1 (1970): 190; Bernard Lewis, "Joseph Schacht," Bulletin of the School of Oriental and African Studies 33 (1970): 376. Unlike the others, Hourani said that Schacht was born on June 15, 1902 (sPc George F. Hourani, "Joseph Schacht, 1902-1969," Journal of the American Oriental Society 90, 1970: 163). Lihat juga, http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Schacht dan Bernard Lewis, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 33, part 2 (1970), pp. 378-81.

[3]Ibid. hal .4.

[4]Bernard Lewis, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 33, part 2 (1970), pp. 378-81.

[5]Bernard Lewis, Joseph Schacht,... Ibid.

[6]Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902-1969), Makalah, (Islamic Legal Studies Program Harvard School, 2003), hal. 1. (Dirujuk dari Makalah Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Hadits (Pendekatan Ushul Fiqh),  Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qadiri Jember.

[7]Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal. 5 (yang merujuk: Aharon Layish, "Notes on Joseph Schacht's Contribution to the study of Islamic Law," British Society for Middle Eustern Studies, Bulletin 9 (19X2): 132. Sec also Lewis, "Schacht," 376; Brunschvig, "Schacht," v; 1 Hourani, "Schacht," 163.)

[8]Ibid., hal. 5. (yang merujuk: Who was Who, vol. VI (London: Adams & Charlcs Black, 1972), 1007.), & Hourani, “Schacht”, 163.)

[9] Bernard Lewis, Joseph Schacht,...

[10] Bernard Lewis, Joseph Schacht,...

[11] Ibid.

[12] Ibid. dan Akh. Minhaji Joseph, Schacht Contribution...hal. 8.

[13] Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal. 9.

[14] Lihat Akh Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal. 10.

[15] Ibid. hal. 9.

[16] Ibid. hal. 8-9.

[17]Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal. 6-7 (yang merujuk: Jeanette Wakin, Additum: Joseph Schacht, 1902-69. Journal of the American Oriental Society 90 (1970): 168)

[18] Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution. (dalam daftar pustak hal. 111-112.)

[19] Muhammad Idris Mas’udi, Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’ (Dalam “Kajian Orentalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis”. Editor: M. Anwar Syarifuddin, hal. 132).

[20] Ibid. hal. 133. (yang merujuk kepada: Bernard Lewis, Obituary; Joseph Schacht dalam BSOAS London, vol. 33, No.2 (1970), pp.378-381, diunduh dari  http://www.jstor.org/action/doBasicSearch?filter=iid%3A10.2307%2Fi225484&Query=bernard+lewis&Search.x=0&Search.y=0&wc=on. Dan pengakuan Joseph Schacht ini bisa ditelusuri dalam salah satu tulisannya yang bertajuk “A Re-evaluation of Islamic Tradition” JRAS, 1949, pp. 144-147, dikutip dari artikel Abdullah Abd Rahmân al-Khathîb, al-Radd ‘Ala Mazâim al-Mustasyriqîn; Ignaz Goldziher wa Joseph Schacht wa Man Ayyadahuma Min al-Mustaghribîn, h.41.)

[21] Lihat, Schacht, Introduction..(edisi terjemah, hal. 46).

[22]Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004. hal. 110-111.

[23]M. M. Azami, On Schacht origins of Muhammadan Jurisprudence, King Saud University. Riyadh. Saudi Arabia. (Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub dengan judul: Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. 2004. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 35. Dan lihat juga The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Hal.58.

[24] Preseden: hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh (KBBI).

[25] Ibid. hal. 35-36. Dan Introduction. hal. 17-18. (edisi terjemah, hal. 47-48).

[26]Joseph Schacht. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. ed. Keempat. Oxford. 1967. hal. 58. Selanjutnya ditulis Origins saja.

[27]M. M. Azami, On Schacht origins....(edisi terjemah, hal. 46.)

[28]D.S. Margoliouth, The Early Development of Mohammedanism. (London. 1914) hal. 70.

[29]Ibid. hal. 49.

[30]Ibid. hal. 45-46.

[31] Origins. hal. 58.59.

[32] Ibid. hal. 70.

[33] Ibid. hal. 70.

[34] M.M. al-A’amī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal. 538-539. (Catatan: untuk penjelasan yang  lebih luas mengenai perbedaan kitāb fiqih dan kitāb adīṡ bisa merujuk langsung buku tersebut).

[35] M.M. al-A’amī, On Schacht’s Origins. (edisi terjemah, hal. 23). Lihat juga, Schacht, Introduction to Islamic Law, hal. 16. (edisi terjemah, hal. 45).

[36] Ibid., hal. 23, dan  Introduction, hal. 24 (edisi terjemah, hal. 56).

[37] Ibid., hal. 23, dan  Introduction, hal. 19 (edisi terjemah, hal. 49).

[38]Origins. hal. 5 (dalam al-A’amī, On Schacht’s Origins. edisi terjemah, hal. 23).

[39]Ibid., hal. 230 dan General Index, h. 347. (dalam al-A’amī, On Schacht’s Origins. edisi terjemah, hal. 23).

[40]Ini adalah kesimpulan J. Robson yang tepat terhadap pendapat Schacht. (J. Robson, Isnad in Muslim Traditions, Glasgow Univ. Oriental Society Transaction, vol. Xv, 1955, p. 18; quoting Annali dell Islam. Dalam M.M. al-A’amī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal. 534.

[41] M.M. al-A’amī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal. 535. Lihat juga The Origins. hal. 36-37.

[42] M.M. al-A’amī, On Schacht origins of Muhammadan Jurisprudence, King Saud University. Riyadh. Saudi Arabia. (Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub dengan judul: Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. 2004. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 73.

[43] Ali Masrur,  Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: LKiS, 2007, cet.I. hal. xxii.

[44]al-A’z}amī, adīṡ Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 557.

[45] Robson, Muslim Traditions, Manchester Memoirs, vol. xoiii (1951-1952), no. 7, hal. 98-99. (dalam al-A’zamī, adīṡ Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 557).

[46] Ali Masrur,  Teori Common Link G.H.A Juynboll.  hal. xxii.

[47] Lihat catatan atau endnote no. 30 dalam Michael Cook. The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam, 1997, dalam Jurnal Arabica XLIV. (edisi terjemah: 2012. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal. Penerjemah: Ali Masrur Abdul Ghaffar. Bandung. MARJA. Cet. I). Hal. 80.

[48] Ali Masrur,  Teori Common Link G.H.A Juynboll.  hal. 57. (bagi yang berminat terhadap pemaparan yang lebih panjang dapat menelusuri isi buku tersebut).

[49] M.M. al-A’zamī, On Schacht Origins of Muhammadan Jurisprudence,...(edisi terjemah). hal. 281.

[50] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll.  hal. xxiii.

[51] afār Isḥāq Anṣārī, The Authenticity of Traditions: A Critique of Joseph Schacht’s Argument E Silentio, dalam Hamdard Islamicus 7, 1984, hal. 53. (dalam Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll.  hal. 100).

[52] Op.Cit.  hal. 100.

[53] Fazlur Rahman, Islam. New York: Anchor Books, 1968. Dilengkapi edisi The Chicago University Press. 1979. (bab Epilogue). (edisi terjemah. 1984. Islam. Penerjemah: Ahsin Mohammad. Bandung. Penerbit PUSTAKA). hal. 56.

[54] H.A.R. Gibb, Journal of Comparative Legislation and International Law, seri ke-3, vol. 34, bagian 3-4, 1951, hal. 114. (dalam M.M. al-A’z}amī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. Xvii.)

[55] N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, 1964, hal. 4), (dalam M.M. al-A’z}amī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. Xvii.)

[56] Ibid., hal. 167-174. Lihat juga, Syamsuddin Arif, Sunnah & Hadits Nabi: Otoritas, Relevansi dan Otentisitasnya. (dalam Bundel Islamic Worldview. Editor: Adian Husaini, M.A. 2008). hal. 12.

[57] Syamsuddin Arif, Sunnah & Hadits . hal. 14.

[58] Idri, Kritik Hadith Dalam Perspektif Studi Kontemporer, (sebuah Makalah), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, Madura, Jawa Timur.

[59] Lihat, M.M. al-A’zamī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. 73.

[60]Ibid, hal. 106. Lihat juga, The Origins, hal. 242.

[61]Syamsuddin Arif, Sunnah & Hadits Nabi: Otoritas, Relevansi dan Otentisitasnya. (Makalah). hal. 12.

[62]M. M. al-A’zamī, The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Compilation, (edisi terjemah: 2005. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi. Penerjemah : Anis Malik Thaha, dkk. Jakarta : GIP Cet: 1). hal. 340.

[63] aż-Żahabī, Mīzān al-I’tidāl, Beirut: Dār al-Ma’rifah,  1963. juz III, hal. 140-141. Lihat juga, al-A’zamī, On Schacht... (edisi terjemah, hal. 284-285).

[64] al-A’zamī, adīṡ Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 585.

[65] M. M. al-A’z}amī, On Schacht origins of Muhammadan Jurisprudence,...(edisi terjemah). hal. xviii-xvix.

TAFSIR AYAT TENTANG RIBA DAN PRAKTIKNYA (Interpretasi Surat al-Baqarah Ayat 275)

  Pembahasan: Penafsiran Ayat Riba (Q.S Al-Baqarah; 275)   Kata riba dalam al-Qur’an terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empa...