A.
PENGERTIAN
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah)
atas barang itu sendiri. Akad Ijarah juga diartikan sebagai “Contract under
wich a bank buys and leases out and asset or equipment required by its client
for rental fee”. Dimana transaksi bank membeli dan menyewakan asset atau
peralatan yang dibutuhkan nasabah, dan bank mendapatkan jasa persewaan.
Sementara, Ijarah Muntahiya Bit Tamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak
jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan si penyewa. Pembiayaan Ijarah termasuk dalam
kategori Natural Certainty Contract dimana objek transaksinya berupa
jasa, baik atas manfaat barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah telah
disebutkan mengenai rukun dan syarat Ijarah, yakni:
1.
Sighat Ijarah,
yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad,
baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.
Pihak-pihak
yang berakad; pemberi sewa/jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3.
Obyek akad
Ijarah: manfaat barang dan sewa; atau manfaat jasa dan upah.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah berlaku pula
dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
B.
LANDASAN
SYARIAH
Artinya: “Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut, bertakwalah kamu kepada Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.s.al-Baqarah:233)
Dari dalil di atas
menunjukkan bahwa “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut” menunjukkan
ungkapan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee)
secara patut.
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah
olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.
Hadits Riwayat Ibnu Majah
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.[1]
C.
SKEMA DAN POLA
PEMBIAYAAN IJARAH
NBHJJGHJ
Sewa
atau Beli
Beli Objek
Sewa Pesan
Objek Sewa
Keterangan:
1. Nasabah mengajukan
pembiayaan ijarah ke Bank Syariah.
2. Bank Syariah membeli atau
menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah dari
supplier/penjual/pemilik.
3. Setelah dicapai
kesepakatan antara nasabah dengan bank mengenai barang objek ijarah, tarif
ijarah, periode ijarah, dan biaya pemeliharaannya, maka akad ijarah
ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
4. Bank menyerahkan objek
ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah
berakhir, nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada bank.
5. Bila bank membeli objek ijarah
tersebut (al-bai’ wal-ijarah), setelah periode ijarah berakhir, objek
ijarah tersebut disimpan oleh bank sebagai aset yang dapat disewakan kembali.
6. Bila bank menyewa objek
ijarah tersebut (al-ijarah wal ijarah/ijarah paralel), maka setelah
ijarah berakhir objek ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada
suplier/penjual/pemilik.[2]
Dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai bentuk
pembiayaan. Pertama, beberapa syarat
harus dipenuhi agar hukum-hukum syariah terpenuhi, dan yang pokok adalah:
1. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh
aset yang disewakan tersebut harus tentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua
belah pihak.
2. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan
yang bertanggung jawab atas pemeliharaannya sehingga aset tersebut terus dapat
member manfaat kepada penyewa.
3. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang
bersangkutan berhenti member manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak
dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
4. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa
dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila
aset akan dijual, harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
Syarat-syarat diatas menyiratkan bahwa pemilik dana atau pemilik aset
tidak memperoleh keuntungan tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Tingkat
keuntungan (rate of return) baru
dapat diketahui setelahnya.
Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai
patokan tingkat keuntungan dengan alasan:
1. Pemilik aset tidak mengetahui dengan pasti
umur aset yang bersangkutan. Aset hanya memberikan pendapatan pada masa
produktifnya. Selain itu, harga aset tidak diketahui apabila akan dijual pada
saat aset tersebut masih produktif.
2. Pemilik aset tidak tahu pasti sampai kapan
aset tersebut dapat terus disewakan selama masa produktifnya. Pada saat sewa
pertama berakhir, pemilik belum tentu langsung mendapatkan penyewa berikutnya.
Apabila sewa diperbaruhi,harga sewa mungkin
berubag mengingat kondisi produktivitas aset yang mungkin telah
berkurang.[3]
D.
BENTUK IMBT
(IJARAH MUNTAHIYA BIT TAMLIK)
Bentuk Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) sesuai dengan
kesepakatan ke dua belah pihak yang bersepakat dalam kontrak. Misalnya Ijarah
dan janji menjual; Nilai sewa yang ditentukan dalam ijarah; harga barang dalam
transaksi jual; dan kapan kepemilikan dipindahkan.
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Oleh
karenanya pihak yang menyewakan berjanji di awal periode kepada pihak penyewa,
apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian Ijarah
Muntahiya Bit Tamlik memiliki dua jenis:
1.
Ijarah Muntahiya
bit Tamlik (IMBT) dengan janji menghibahkan barang di akhir periode sewa (IMBT with
promise to hibah).
2.
Ijarah
Muntahiya bit Tamlik (IMBT) dengan janji menjual barang di akhir periode sewa (IMBT
with a promise to sale).[4]
E.
KETENTUAN
TEKNIS
Ketentuan teknis dan sekaligus sebagai peraturan pelaksana dari PBI
dimaksud yaitu SEBI No.10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008. Bahwa dalam
kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Ijarah berlaku
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
Bank bertindak
sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak penguasaan atas obyek sewa
baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan obyek sewa dimaksud kepada nasabah
sesuai kesepakatan;
b.
Barang dalam
transaksi Ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil
manfaat sewa;
c.
Bank wajib
menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar Ijarah, serta hak
dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
transparasi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d.
Bank wajib
melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar Ijarah kepada nasabah
yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas character,
capacity, capital, dan condition;
e.
Obyek sewa
harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan
jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya;
f.
Bank sebagai
pihak yang menyediakan obyek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun
kuantitas obyek sewa serta ketepatan waktu penyediaan obyek sewa sesuai
kesepakatan;
g.
Bank wajib
menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan
nasabah;
h.
Bank dan
nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa
Akad Pembiayaan atas dasar Ijarah;
i.
Pembayaran sewa
dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus;
j.
Pembayaran sewa
tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan
utang;
k.
Bank dapat
meminta nasabah untuk menjaga keutuhan obyek sewa, dan menanggung biaya
pemeliharaan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana uraian biaya
pemeliharaan yang bersifat material dan struktural harus dituangkan dalam Akad;
dan
l.
Bank tidak
dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan obyek sewa yang
terjadi bukan karena pelanggaran Akad atau kelalaian nasabah.
Untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik berlaku pula persyaratan teknis yang telah
diatur dalam SEBI No.10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008, yakni:
a. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai pemberi
janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak
penguasaan obyek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan;
b. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk mengalihkan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan obyek sewa setelah obyek sewa secara prinsip dimiliki
oleh Bank;
c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa dalam bentuk
tertulis;
d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek
sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah
penyewa; dan
e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat
tertentu dalam periode atau pada akhir periode Pembayaran atas dasar Akad Ijarah
Muntahiya Bit Tamlik.[5]
F.
APLIKASI DALAM
PERBANKAN
Ijarah
Bapak
Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama 1 tahun
mulai dari tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan 1 Januari 2013. Pemilik gedung
menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp 100.000.000,-.
Dengan pola tersebut, Bapak Ahmad dapat membayar sewa per bulan. Untuk
memecahkan masalah tersebut, Bapak Ahmad mengajukan pembiayaan tersebut ke Bank
Syariah dengna menyampaikan kebutuhan dana dan kondisis keuangannya. Dengan analisa
yang dilakukan oleh Bank Syariah, Bank Syariah meminta Required rate of
profit Bank sebesar (20%).
Harga sewa 1
tahun (tunai dimuka) : Rp 100.000.000,- |
Required rate of profit Bank (20%) :
Rp 20.000.000,- |
Harga sewa kepada nasabah : Rp 120.000.000,- |
Periode pembayaran : 12 bulan |
Angsuran nasabah/bulan : Rp
10.000.000,- |
IMBT
Ibu
Sholihah membutuhkan mobil pada periode 1 April 2013 dengan cara menyewa selama
1 tahun kemudian dan membelinya di akhir masa penyewaab yaitu 31 Maret 2014.
Penjual mobil menginginkan pola pembayaran sewa tunai dimuka sebesar Rp
70.000.000,- dan Rp 11.000.000.000,- diakhir masa sewa untuk dapat memiliki
mobil tersebut. Bila mobil tersebut dijual tunai, harganya Rp 160.000.000,-.
Dengan pembayaran diatas, Ibu Sholihah tidak memungkinkan untuk membayar, oleh
karenanya ibu Sholihah mendatangi bank syariah untuk mengajukan pembiayaan.
Berdasar analisa bank dan melihat kondisi keuangan Ibu Sholihah, Bank Syariah
menginginkan persentase keuntungan sebesar 20% dari pembiayaan tersebut.
Harga mobil
secara tunai
: Rp 160.000.000,- |
Required rate of profit Bank (20%) : Rp 32.000.000,- |
Harga sewa kepada nasabah : Rp
192.000.000,- |
Periode pembiayaan : 12 bulan |
Angsuran nasabah/bulan : Rp
16.000.000,- |
Pembelian mobil diakhir masa sewa :
Rp 192.000.000,- |
G.
MANFAAT DAN
RISIKO YANG HARUS DIANTISIPASI
Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah
keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Risiko yang mungkin terjadi dalam al-ijarah
adalah:
1.
Default; nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
2.
Aset ijarah
rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila
disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank
3.
Berhenti;
nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Akibatnya bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian
kepada nasabah.
H.
HAK DAN
KEWAJIBAN KEDUA BELAH PIHAK
Kewajiban yang menyewakan adalah mempersiapkan barang yang
disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya mobil
yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang
menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat meperbaikinya,
penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang
rusak. Sebagian ulama berpendapat bahwa bila tidak membatalkan akad, harga sewa
harus dibayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat harga sewa dapat
dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Hak bagi penyewa adalah mengunakan barang yang disewakan menurut
syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa wajib menjaga
barang yang disewakan agar tetap utuh. Perawatan secara prinsip tidak
diperbolehkan dimasukkan dalam akad, karena jika penyewa bertanggungjawab atas perawatan
berarti penyewa bertanggungjawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh
karna itu ulama berpendapat bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia
berhak untuk mendapatkan upah dan biaya yang wajar atas pekerjaannya. Bila
penyewa melakukan perawatan atas kehendaknya maka dianggap sebagai hadiah dari
penyewa dan ia tidak dapat meminta pembayaran.
I.
KESEPAKATAN
MENGENAI HARGA SEWA
Harga sewa disepakati oleh kedua belah pihak, si penyewa dan yang
menyewakan. Mayoritas ulama mengatakan: “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga
jual berlaku juga bagi harga sewa”. Ulama mazhab memberikan keleluasaan dalam
menentukan harga sewa. Al-Jizairi mencontohkan, “Jika anda menjahitkan bajuku
hari ini, upahnya satu dirham; jika anda menjahitkan bajuku besuk, upahnya
setengah dirham. Jika anda tinggal di rumah ini sebagai tukang besi, sewanya
sepuluh dirham; jika anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak wangi,
sewanya lima dirham”.
[1] Binti Nur Asiyah. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta:Teras.2014) Hlm. 215-217.
[2] Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah
(Yogyakarta:YKPN.2005) Hlm.153-154.
[3]Ascarya.
Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta:
PT Raja Grafindo Prasada. 2007) Hlm. 101-102.
[4] Ibid,. h.217-218.
[5] Abdul Ghofur
Anshari. Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press.2009) Hlm.126-129.
[6] Ibid., h.
218-222.