INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN (MATA KULIAH INTEGRASI ISLAM DAN SAINS)

 

A.  DEFINISI ISTILAH

Secara etimologis, kata interkoneksi berarti hubungan satu sama lain, sedangkan integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[1] Poerwadarminta mengungkapkan bahwa integrasi secara etimologis dapat dipahami sebagai perpaduan, penyatuan, dan penggabungan dua objek atau lebih.[2] Pengertian semakna juga disampaikan oleh Triantono[3] yakni integrasi adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh.

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.[4] Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dalam terminologi Islam agama di sebut dengan Ad-Din. Dalam KBBI kata Din merupakan kata benda yang berarti "agama". Contoh; dinul-Islam, agama Islam.[5]  istilah Millah juga digunakan untuk menyebutkan agama yang maknanya hampir serupa dengan Ad-Din. Kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks yang berlainan. Millah digunakan ketika dihubungkan dengan nama Nabi yang kepadanya agama itu diwahyukan dan Din digunakan ketika dihubungkan dengan salah satu agama, atau sifat agama, atau dihubungkan dengan Allah yang mewahyukan agama itu. [6]

Para peneliti antropologi agama menemukan dan mencatat dengan cermat bahwa apa yang disebut agama antara lain meliputi unsur-unsur dasar  ebagai berikut : 1) doktrin (believe certain things), 2) ritual (perform certain activities), 3) kepemimpinan (invest authority in certain personalities), 4) nass/teks kitab suci (hallow certain texts), 5) sejarah (tellvarious stories), 6) moralitas (legitimate morality) dan bisa ditambah 7) Alat-alat (tools).[7] Agama yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah agama-agama samawi secara umum dan Islam secara khusus.

Ilmu dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan  untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[8] Dalam makalah ini, istilah ilmu digunakan untuk pengetahuan-pengetahuan social, sains, dan humaniora yang kemudian dikelompokkan dalam Ilmu umum.

B.   Sejarah dikotomi Agama dan Ilmu

Islam tidak pernah mengenal dikotomi Ilmu. Dalam awal perkembanganya, agama Islam memfokuskan para sahabat yang baru memeluk agama Islam untuk mempelajari agama sekaligus juga memotivasi dan menfasilitasi mereka yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis.[9] Mencari, mendalami, dan menekuni Ilmu dalam makna yang luas, merupakan salah satu doktrin Islam yang telah disampaikan oleh Allah dan Rasulnya :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Mujadalah:11)

Rasulullah SAW bersabda:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجه)

“Menuntut ilmu merupah sebuah kewajiban bagi  setiap individu muslim” (HR.Ibn Majah)

 

Dalam kedua contoh doktrin ilmu diatas, tidak ada dikotomi antara ilmu umum maupun ilmu agama, islam memandang keduanya sebagai kesatuan yang utuh sebagai Ayat-Ayat Allah yang kauliyah maupun Kauniyah. Pemahaman Ilmu yang teringgrasi sedemikian rupa dalam bingkai keagamaan yang kuat kemudian yang mendorong para Khalifah dan orang-orang yang berkuasa dimasa Daulah bani Umayyah dan Abbasyiah giat mengembangkan ilmu dan segala fasilitas pendukungnya tampa melepaskan diri dari dasar islam yang paling utama Al-Quran dan As-Sunnah sehingga lahirlah ilmuan-ilmuan yang fenomenal seperti Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Al-Farabi, ibn Thufail, jabir bin Hayyan,Umar Al-Farukhan, Al-Farazi dalam ilmu Filsafat, Kedokteran, matematika dan astronomi.[10]

Dikotomi Agama dan Ilmu muncul dikemudian hari akibat kelemahan umat Islam dan Pengaruh dikotomi Ilmu dan Agama yang berkembang di Dunia Barat. Embrio kelemahan umat Islam dalam menggunakan logika muncul saat timbulnya paham Pintu Ijtihad sudah tertutup yang kemudian diikuti oleh pemakruhan bahkan pengharaman menggunakan Akal dalam beragama yang sebenarnya merupakan reaksi berlebihan terhadapa faham Mu’tazilah yang meletakkan akal diatas wahyu.[11]

Dalam kajian sejarah, dikotomi Agama dan Ilmu pertama kali muncul hampir seiringan dengan masa renaissance dunia barat.  Saat itu kondisi sosio-relegius maupun sosio intlektual, di kuasai oleh greja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran Ilmiah, bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Sekelompok ilmuan yang masih tetap pada ideologinya, mempertahankan kebenaran penelitian ilmiah yang mereka yakini walaupun bertentangan dengan otoritas gereja seperti Charles Darwin dengan teori Evolusi atau Galileo Galilei yang berani mengatakan Bumi berbentuk bulat disaat gereja meyakini Bumi berbentuk datar. Gerakan – gerakan ini kemudian berkembang secara masif dan membentuk paradigma sekuler yang menetapkan bahwa ideology agama tidak boleh dicanpur adukkan dengan ideology ilmiah dalam artian Ilmu-Ilmu Alam, sosio, Humaniora harus berpisah dari Agama.

Berlawanan dengan perkembangan dunia barat, Islam mengalami kemunduran dan sebagian besar wilayah islam mulai dijajah barat. Dalam masa penjajahan yang panjang dan hampir merata diseluruh dunia Islam, terjadi Alkulturasi budaya, Alkulturasi pemikiran dan intelektualisme Barat dengan negeri-negeri Islam sebagai daerah jajahannya. Azmuyardi Azra mengatakan bahwa dikotomi pendidikan agama dan umum kemudian muncul sebagai akibat dari penjajahan barat yang menyebabkan umat islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam kemasyarakatan dan keilmuan sehingga memunculkan intelektual baru yang disebut Intelektual sekuler.[12]

Sebagai reaksi dari munculnya para intlektual muslim sekuler yang mewarisi paham dikotomi agama dan ilmu dari dunia barat, Para fuqaha mengambil langkah protektif dengan cara memakruhkan bahkan mengharamkan tindakan mengambil apapun yang bersumber dari dunia barat, termasuk Ilmu-Ilmu Alam, Sosial, Humaniora. Imam Ghazali sebagai salah satu tokoh dalam dunia Islam kemudian mengmbil langkah protektif yang tidak terlalu ekstrim dengan cara membagi Ilmu itu menjadi Ilmu Fardu ‘ain dan Ilmu Fardu Kifayah. Pembagian ini kemudian yang menjadi dasar dikotomi agama dan ilmu yang amat kontras dalam dunia Islam Indonesia yang termanifestasi dalam prilaku sebagian besar Pelajar Islam (santri) dalam bentuk menfokuskan diri pada ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan bahkan membuang ilmu-ilmu Alam, Sosial, Humaniora.

Dikotomi ilmu ini merambah kedalam sitem pendidkan Islam, dengan munculnya dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain. Kondisi ini lebih parah dengan dikeluarkannya Surat keputusan Bersama (SKB) tiga Mentri-Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama pada tahun 1975 yang telah mempersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang masih berstatus sekolah agama.[13]

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dikotomi dalam Islam timbul sebagai akibat dari beberapa hal. Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa kemunduran dan penjajahan sejak abad pertengahan. Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaharuan akibat kompleknya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat Islam.[14]

 

C.   Dilema Dikotomi Keilmuan

 Sebuah kenyataan bahwa ada sebagian masyarakat, yang memahami secara kurang tepat hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Seakan ada distansi di antara keduanya yang tidak bisa disatukan dalam metode tertentu. Selanjutnya dipahami bahwa agama hanya mengurusi wilayah-wilayah ketuhanan, kenabian, aqidah, fiqh, tafsir, h}adîs, dan semisalnya, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain di luar bangunan ilmu-ilmu agama. Kemudian dimasukan ke dalamnya misalnya ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran, dan sejenisnya. Hal inipun berlanjut dengan didukung pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik. frame berpikir masyarakat dalam melihat agama dalam relasinya dengan ilmu pengetahuan.

Untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik agama, sosial, humaniora, dan kealaman, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa dengan yang lain. Kerjasama, saling membutuhkan, saling koreksi, dan keterhubungan antar-disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami problem kehidupan sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebab, ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, maka hasilnya adalah sebuah kemunduran.

 

D.  Hubungan Agama dengan Ilmu

Sebagaimana dipaparkan oleh Ian G. Barbour, setidaknya, ada 4 pola hubungan antara agama dan ilmu, yaitu Konflik (bertentangan), Independensi (masing-masing berdiri sendiri-sendiri), Dialog (berkomunikasi) atau Integrasi (menyatu dan bersinergi). [15]

Sebagai ilustrasi dari ke empat hubungan agama dan ilmu tersebut, M.Amin Abdullah memberikan ilustrasi kasus yang terjadi Pada tanggal 17 Februari 2012, dimana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ketetapan baru, menyempurnakan pasal 43, ayat 1, Undan-gundang Perkawinan 1974, dengan menetapkan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan ketetapan ini, maka hak keperdataan anak hasil pernikahan sirri antara almarhum Moerdiono, mantan Mensekneg dan Machica Mochtar. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa almarhum Moerdiono adalah ayah biologis dari M. Iqbal Ramadlan, sebagai anak hasil perkawinan sirri dengan Machica Mochtar berdasar atas bukti ilmu pengetahuan (DNA).[16]

Peradilan Agama di wilayah Jakarta, pada awalnya memutuskan atas gugatan yang diajukan oleh Machica Mochtar bahwa anak hasil nikah sirri (yang sah menurut agama) - karena tidak tercatat dalam catatan Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil - maka anak yang lahir akibat perkawinan sirri tersebut hanya dapat dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak dapat dinisbahkan kepada ayah (biologis) nya. Pada era pra modern, sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, memang sulit sekali membuktikan secara biologis siapa laki-laki/ayah yang sesungguhnya dari anak yang lahir dari seorang wanita/ibu, yang karena sesuatu dan lain hal, tidak diketahui laki-laki yang membuahinya. Para ahli agama saat itu menerima begitu saja kesepakatan yang berlaku saat itu. Namun, kesepakatan dan ketetapan yang semula tidak bermasalah itu, tiba-tiba saja menjadi masalah ketika dapat ditemukan bukti lain melalui kerja penelitian ilmu pengetahuan, khususnya ilmu biologi dan kedokteran, yang berkembang pesat pada era modern. Ilmu biologi dan kedokteran modern dapat membuktikan secara medis-biologis melalui test DNA siapa laki-laki yang menjadi ayah biologis dari anak yang lahir dari seorang wanita. Ketika para hakim agama mengabaikan bukti ilmu pengetahuan, semata-mata karena hanya menetapkan amar keputusannya berlandaskan pada pendapat dan kesepakatan para ahli agama/fikih yang tertuang dalam naskah kitab fikih abad tengah (pra scientific), maka akan tampak bahwa paradigm yang digunakan oleh para hakim agama adalah paradigma Konflik atau Independensi.

Para hakim agama dikatakan menggunakan paradigma Konflik, jika pemahaman, penafsiran dan kesepakatan ilmuan agama (agama) abad tengah masih digunakan pada era modern dan mereka tidak bersedia berdialog, enggan memanfaatkan masukan yang dapat diperoleh dari temuan ilmu pengetahuan biologi modern. Paradigma Independensi, jika masing-masing institusi, yakni institusi Peradilan Agama (PA) dan institusi Mahkamah Konstitusi (MK), berdiri sendiri-sendiri diatas fundasi legalitas dan otoritasnya masing-masing, tanpa melakukan dialog dan tanpa melakukan penyesuaian sedikitpun. Adapun hubungan Dialogis dan Integrasi akan terwujud jika para hakim dalam kasus diatas mau menerima masukan-masukan dan pertimbangan sains modern dan bersedia mengitegrasi-interkoneksikan rumusan-rumusan hokum fikih klasik dengan ilmu pengetahuan moderan.

Secara teoritik, dengan mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada 3 kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan Integratif, yaitu Semipermeable, Intersubjective Testability dan Creative Imagination.

Pertama, Semipermeable. Konsep ini berasal dari keilmuan biologi,dimana isu Survival for the fittest adalah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu yang berbasis pada “kausalitas” (Causality) dan agama yang berbasis pada “makna” (Meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni, antara keduanya saling menembus. (The conflicts between scientific and religious interpretations arise because the boundary between causality and meaning is semipermeable).[17] Hubungan antara ilmu dan agama tidaklah dibatasi oleh tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat dan rigidnya, melainkan saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya.

Kedua, Intersubjective testability (Keterujian intersubjektif). Rambu-rambu kedua yang menandai hubungan antara ilmu dan agama yang bercorak dialogis dan integratif adalah Intersubjective subjectivity. pemahaman tentang apa yang disebut dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh peneliti dan ilmuan dari lapangan.[18]

Ketiga, Creative imagination (Imaginasi kreatif). Meskipun logika berpikir induktif dan deduktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayang dalam uraian tersebut umumnya meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan itu sendiri dalam kerja ilmu pengetahuan. Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika untuk menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinal Teori baru seringkali muncul dari keberanian seorang ilmuan dan peneliti untuk mengkombinasikan berbagai ide-ide yang telah ada sebelumnya, namun ide-ide tersebut terisolasi dari yang satu dan lainnya.

Menurut Koesler dan Ghiselin,[19] bahwa imajinasi kreatif baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra seringkali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda.  Ilmu-ilmu keagamaan Islam era sekarang, sebutlah sebagai contoh seperti fikih, ibadah, kalam/aqidah/tauhid, tafsir, hadis, tarikh, akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan dan pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya. Pendidikan keagamaan secara umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan kepada peserta didik dalam keterisolasiannya dan ketertutupannya dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain dan begitu juga sebaliknya. Guru dan dosen perlu berpikir kreatif dan memiliki imajinasi kreatif, berani mengkaitkan, mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan lain. Apabila langkah ini tidak dilakukan, maka pelajaran agama di sekolah, apalagi perkuliahan di perguruan tinggi, lambat laun akan terancam kehilangan relevansi dengan permasalahan kehidupan sekitar yang sudah barang tentu semakin hari semakin kompleks.[20]

 

E.   Konstruksi Epistimologis Paradigma Integrasi Interkoneksi

 Pola dikotomis keilmuan yang memisahkan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama adalah kenyataan yang terus ada dan berjalan sampai sekarang, di banyak benak masyarakat awam atau intelektual sekalipun. Inti dari epistemologi ini adalah ide dan usaha dalam memunculkan dialog sekaligus kerjasama antar-disiplin ilmu umum dan agama diamana bisa dicirikan dari model ini adalah dikedepankannya metode interdisipliner dan interkoneksitas.

Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut sharî„at. Kitab suci Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Sebagai sumber pengetahuan disamping pengetahuan yang dieksplorasi manusia. Perpaduan antara keduanya disebut  teaoantroposentris.[21] Sehingga pemisahan keduanya, dalam bingkai sekularisme misalnya, sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman kalau tidak bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman.

Peradaban kedepan atau peradaban pasca-modern perlu ada perubahan. Yaitu rujuknya kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu, yang sejak zaman hiruk pikuk Renaissance Eropa terceraikan. Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif, dalam arti bahwa ilmu tersebut tidak diarasakan oleh penganut agama lain sebagai norma tetapi sebagi gejala keilmuan yang objektif, yang diterima oleh seorang ateis sekalipun.

Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia. Contoh objektifikasi ilmu antara lain ilmu Optik dan Aljabar tanpa harus dikaitkan dengan budaya Islam era al-Haythamî dan al-Khawârizm atau khasiat madu tanpa harus ia tahu bahwa dalam Qur’an terdapat ilmu tentang khasiat madu. Akhirnya ilmu yang lahir dari teori teaoantroposentris, terintegrasi antara etika agama dan eksplorasi manusia (terhadap alam dan lingkungannya) objektif, independen, dan tidak memihak suatu kepentingan tertentu, bermanfaat untuk seluruh umat manusia apapun background-nya.[22]

Bukan seperti ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai value free ternyata penuh muatan kepentingan (kepentingan dominasi ekonomi, militer, dominasi kepentingan budaya Barat, dan lain-lain). Sebuah posisi tengah antara sekularisme dan fundamentalisme negatif (tradisionalis) agama yang jumud. Pola dan hasil kerja integralistik dengan basis moralitas keagamaan ini bisa kita jumpai misalnya dalam ilmu ekonomi sharî’ah. Ekonomi yang bersandar wahyu jauh lebih komprehensif dalam meliput elemen-elemen penting bagi kemaslahatan manusia daripada sistem sekuler. Ia juga mampu memberikan semua elemen yang diperlukan bagi kebahagian manusia menurut tuntunan persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi.

Proyek integrasi-interkoneksi merupakan jawaban atau respons terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini yang dikarenakan terpisahnya ilmu umum dan ilmu agama di mana dipahami seakan ada jarak diantara keduanya yang tidak bisa disatukan dalam cara atau metode tertentu. Proyek integrasi-interkoneksi merupakan jawaban untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Kerjasama, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling keterhubungan antar-disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.

 

F.   Kritik Terhadap Perkembangan Kajian keislaman

 Tidak diragukan lagi, satu hal yang disepakati bersama bahwa sumber ajaran Islam adalah Qur’an dan Sunnah, yang juga merupakan dasar bagi keilmuan Islam, karena keduanya diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal, dan eternal. Inti ajaran Islam ini berlaku sama di manapun umat Muslim berada dan kapanpun, mereka tidak akan pernah bisa lepas dari dua sumber tadi. Masalahnya kemudian adalah tingkat pemahaman, interpretasi, penghayatan, dan pelaksanaan norma-norma yang terkandung pada keduanya tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara satu zaman dengan zaman lainnya. Berbagai kondisi, suasana, budaya, bahasa dan faktor sosio-kultur lainnya mempengaruhi, dan dari perbedaan pemahaman ini sering melahirkan ketegangan-ketegangan antara umat Islam itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang harus dibenahi terkait masalah sebagaimana di atas, yaitu metode tafsir Qur’an, metode pemaknaan Hadis dan pengkajian pemikiran keislaman.[23]

Pertama, pembaruan pemikiran terhadap tafsir Qur’an. Penafsiran Qur’an yang bersifat leksikografis, kata perkata, kalimat per kalimat, ayat dengan ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, politik, dan budaya ketika ayat itu diturunkan dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai corpus tertutup dan ahistoris, yang kemudian diistilahkan sebagai tafsir “re-produktif” dan kurang bersifat produktif. Meski umat Islam mempunyai U’lum al-Qur’an yang di dalamnya ada studi asbâb al-nuzûl, yang jelas-jelas menerangkan adanya hubungan kausalitas yang positif antara pesan-pesan atau norma-norma dengan peristiwa-peristiwa sosial ekonomi politik dan budaya yang mengitarinya, namun eksplorasi terhadap asbâb al-nuzûl masih dirasa kurang. Sedangkan corak penafsiran Qur’an yang bersifat produktif lebih menonjolkan perlunya memproduksi makna baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks sosial-ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupi kehidupan umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup Qur’an.

Kedua, pembaruan pemikiran terhadap pemaknaan Hadis telah terjadi proses pembakuan dan pembekuan terhadap pemahaman dan pemaknaan Sunnah, telah terjadi perubahan yang begitu mendasar dalam studi Hadis dari tradisi lisan yang longgar, hidup dan fleksibel menjadi tradisi tertulis beku dan baku. Sebuah pandangan yang dinukil dari Fazlur Rahman dalam buku “Concept Sunnah, Ijtihad, and Ijmâ„ in the Early Periode”. Jadi problemnya hampir sama dengan problem yang terjadi dalam menafsirkan Qur’an. Hadis-h}adîs yang menyangkut persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya merupakan celah untuk dapat dilakukan kajian yang mendalam dan sekaligus diperbarui penafsiran, pemahaman, dan pemaknaannya. Hal ini jelas berbeda dengan hal-hal yang terkait dengan persoalan ibadah murni seperti salat, puasa, haji, zakat, dan semisalnya yang barangkali hadis tersebut sangat khas dan mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak membutuhkan tafsir baru.

Ketiga, pembaruan pemikiran keislaman, kalam, fiqh, tasawuf, dan filsafat. Empat kajian bidang pemikiran keislaman tersebut adalah hasil dari beragam pemahaman umat atas dua sumber utama Islam yaitu, Qur’an dan Hadis yang dilatari oleh tradisi berpikir dan pengaruh sosiologis para penggiatnya. Selanjutnya munculah ragam kajian keislaman yang empat di atas, di mana kalam lebih menekankan aspek pembelaan dan pembenaran aqidah yang sepihak, sehingga coraknya lebih bersifat tegas, keras, agresif, defensif, dan apologis. Sedangkan fiqh lebih mengatur sistem peribadatan kepada Allah seperti salat, zakat, puasa, haji yang seringkali juga merambah ranah lain dengan istilah fiqh mu‘âmalah seperti, wakaf, jual beli (ekonomi), dan peradilan atau tata negara. Sedangkan filsafat lebih menekankan aspek logika dalam pemikiran keislaman, berangkat dari premis-premis logis yang ada dibalik teks, mencari makna, subtansi dari pesan pesan dalam teks.Sedangkan tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik atau kedalaman spritualitas batiniah.

Keempat kluster keilmuan di atas mengalami ketegangan dalam hubungan antara yang satu dengan lainnya, bahkan terjadi gesekan antara yang satu dengan lainnya.

 

G.  Kajian Keislaman dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi

 Islamic studies integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesalingterkaitan antar disiplin ilmu tersebut.[24] Jika di telusuri lebih jauh, gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat Islam terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan tantangan modernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaruan pemikiran Islam yang didengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah.

 Kekuatan tema ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan dalam kemajuan dunia Barat. Salah satu fokus garapan para pembaharu dalam proses modernisasi islam adalah bidang pendidikan. Bidang pendidikan ini dipandang sebagai sektor paling terbelakang yang menghambat laju percepatan modernisasi di dunia islam, akibat pola pikir umat yang terkondisikan oleh anggapan bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang bersumber dari hasil pikiran manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu sama lain.

Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia dengan akhirat lalu kemudian mengalami kejumudan yang berdampak pada penjajahan dunia Islam atas supremasi Barat. Sebagai contoh, konsep integrasi-interkoneksi yang digagas Amin Abdullah di UIN Sunan Kalijaga mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam praktis integrasi-interkoneksi. Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika ini adalah h}ad}ârah al-nas}, h}ad}ârah al-‘ilm, dan h}ad}ârah al-falsafah. H{ad}ârah al-nas} berarti kesediaan untuk menimbang kandungan isi teks keagamaan sebagai wujud komitmen keagamaan/keislaman. H{ad}ârah al-‘ilm berarti kesediaan untuk profesional, objektif, inovatif dalam bidang keilmuan yang digeluti; dan akhirnya h}ad}ârah al-falsafah berarti kesediaan untuk mengkaitkan muatan keilmuan dengan tanggung jawab moral etik dalam praksis kehidupan riil di tengah masyarakat. Kesimpulannya, h}ad}ârah al-nas} adalah jaminan identitas keislaman, h}ad}ârah al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan h}ad}ârah al-falsafah adalah jaminan bahwa muatan keilmuan yang dikembangkan bukan “menara gading” yang berhenti di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang konkret dalam kehidupan masyarakat.

 

H.  Paradigma Integrasi Interkoneksi sebagai Solusi Kajian Keislaman

 Interkoneksi studi hukum Islam dan ilmu-imu sosial karena itu merupakan terobosan baru atas stagnasi problem tekstualitas studi hukum Islam selama ini. Interkoneksi ini perlu diarahkan pada pengembangan metode penemuan dan penyimpulan hukum Islam berbasis analisis normatif-cum-empiris. Artinya, analisis tekstual metode penemuan hukum Islam klasik harus dihubungkan sedemikian rupa dengan analisis faktual historis, baik itu mencakup sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, psikologi, dan sebagainya.[25]

Model interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam dan ilmu sosial berupaya merekonstruksi suatu cara pembacaan dan pemahaman baru pada wilayah yang sama sekali belum terdapat nas}- hukumnya. Ini dilakukan dengan menghargai tradisi, kultur, untuk secara sistematis mengurangi kesan arogansi intektual-tekstual, bahwa hukum diketahui dari teks semata. Analisisnya dilakukan dengan menggabungkan teori aksi dan teori sistem secara simultan dan sinergis.

Upaya interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam dengan ilmu-ilmu sosial tentu mengandaikan pengakuan epistemologi hukum Islam baru bahwa hukum Islam tidak hanya dapat diketahui dan diderivasi atas dasar-dasar analisis tekstual semata. Adaptasi dan derivasi atas realitas sosiologis historis (tentu dengan mempertimbangkan cara baca produktif atas teks-teks universal) akan memungkinkan juga untuk menentukan hukum Islam, sebagai upaya meningkatkan daya jawab kontekstual kontemporer.

 Integrasi dan interkoneksi studi hukum Islam dan ilmu-ilmu sosial jelas harus menjadi agenda sekarang dan ke depan agar hukum Islam dapat ikut ambil bagian dalam proses regulasi masyarakat modern, dengan sistem kebangsaan modern. Agar membangkitkan nalar historis dan empiris us}ûl al-fiqh.



[1]Tim Penyusun, KBBI, Jakarta:Pusat Bahasa, 2008, 559. Lihat juga http://kamusbahasaindonesia.org/integrasi/interkoneksi

[2] Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal 384.

[3] Triantono, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007, hal 38.

[4] The Everything World's Religions Book: Explore the Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient and Modern Religions, page 1 Kenneth Shouler - 2010

[7] James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates (London: The Continuum International Publishing Group, 2006), 236. Bandingkan dengan Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs (London: Fontana Press,1977).

[8] Tim Penyusun, KBBI ... hal. 370-371.

[9] Dalam banyak refrensi sejarah dan sudah menjadi pengetahuan umum yang dipahami oleh umat Islam bahwa Rasulullah saw menjadikan tawanan perang Uhud yang pandai membaca dan menulis sebagai pengajar untuk kaum muslim saat itu yang belum bisa membaca dan menulis.

[10]M. Mukhlis Fahruddin. 2009. Pusat Peradaban Islam Abad Pertengahan: Kasus Bayt al Hikmah. El-Harakah, Vol. 11, No. 3. hal 191.

[11]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Rosdakaryaa, 2004), hal 42.

[12]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Hal 159-160.

[13]Muliawan, Jasa Ungguh, 2004, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Hal. 4.

[14] Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005). Hal 3.

[15]M. Amin Abdullah . Agama, Ilmu Dan Budaya Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan. PDF.3

[16]http://www.dakwatuna.com/2012/02/18766/pakar-putusan-mk-terkait-anak-di-luar-nikah dekatiaturan-kuh-perdata/#ixzz1poZ2qXJH

 

[17]Holmes Rolston, III, Science and Religion: A Critical Survey (New York: Random House, Inc.,1987), hal. 1.

[18]Ian G. Barbour, Issues In Science And Religion (Newyork:Harper Torchbook.1966), hal. 183

[19]Ian G. Barbour, ..., hal. 143.

[20]M. Amin Abdullah, AGAMA, ILMU DAN BUDAYA Paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan. Hal 16-17,

[21]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal 56.

[22] Ibid., hal 57.

[23]Siswanto,”Perspektif Amin Abdullah Tentang integrasi interkoneksi Dalam Kajian Islam”, Jurnal Tasawuf dan pemikiran Islam Vol. 3, No. 2 Desember 2013, hal 395-396.

[24]Mohammad Muslih, Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat: Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003), hal 74-75.

[25] Siswanto, “Persepsi Amin Abdullah”, hal 401-402.

TAFSIR AYAT TENTANG RIBA DAN PRAKTIKNYA (Interpretasi Surat al-Baqarah Ayat 275)

  Pembahasan: Penafsiran Ayat Riba (Q.S Al-Baqarah; 275)   Kata riba dalam al-Qur’an terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empa...