Hadits Tentang Prinsip Distribusi (Tinjauan Kritis Hadits Tentang Prinsip Distribusi Dalam Fatwa DSN-MUI NO 15/DSN-MUI/IX/2000)

 

A.      Pendahuluan

Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, bank syariah biasa disebut Islamic Banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar).[1]

Perbankan yang menjujung tinggi sistem Islam, cara dan sistem pembagian keuntungan produknya perbankan syariah adalah prinsip profit margin dan bagi hasil. Dimana keutungan yang diperoleh dari bank maupun mudharib haruslah dibagi dengan kedua belah pihak sesuai dengan kesepakan diawal kontrak. Sebelum melakukan pembagian keuntungan pastinya sebuah lembaga memiliki prediksi terkait berapa keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini lembaga keuangan harus memperkirakan dengan akurat, baik, dan tepat, karena untuk mencapai tingkat yang diharapkan.

Dari kegiatan itulah perbankan harus menerapkan prinsip yang berbeda dengan bank konvensional. Banyak sekali yang membedakan prinsip-prinsip perbankan syariah dengan perbankan konvensional, dimana yang salah satunya adalah prinsip bagi hasil antara perbankan penyimpan dana dengan bank itu sendiri. Selain itu, penetapan margin keuntungan yang harus sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak antara peminjam dan dengan bank syariah.Dasar operasional secara syariah dan fiqh lembaga keuangan syariah menggunakan fiqh muamalah, khususnya menyangkut tentang hukum perjanjian (akad).

Fiqh muamalah yang menjadi landasan operasional lembaga keuangan merupajan fiqh muamalah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN bersifat mengikat bank-bank syariah. Hal ini karena UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pada pasal 26 mewajibkan kegiatan usaha dan/atau produk dan jasa syariah, tunduk kepada prinsip syariah. Prinsip yang dimaksud yaitu sebagaimana yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.

DSN dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya berdasarkan pada al-Qur’an, hadits, ijmak, qiyas, kaidah-kaidah fiqh, dan pendapat-pendapat ulama madzab. Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang dijadikan sebagai pertimbangan fatwa seharusnya hanya hadits-hadits yang makbul (boleh dijadikan hujjah), yaitu hadits mutawatir, hadits masyur, hadits ahad yang sahih dan hasan. Hadits-hadits daif tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum.Sedangkan untuk hadits yang dijadikan dasar pertimbangan fatwa DSN tidak disebutkan kualitasnya.

Penyebutan kualitas hadits penting karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penulis selain Bukhari dan Muslim tidak semuanya sahih. Karena itu, seharusnya sebelum dijadikan dasar fatwa, hadits terlebih dahulu diteliti apakan termasuk hadits yang sahih atau tidak.

Temuan penelitian terhadap adanya hadits-hadits dha’if dalam fatwa untuk mendorong peneliti untuk melakukan kritik terhadap hadits-hadits lain yang di fatwakan DSN selain fatwa tentang murabahah.Berhubung banyaknya fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN maka penelitian ini hanya membatasi fatwa tentang prinsip distribusi.Prinsip distribusi ini biasanya disebut dengan istilah profit sharing dan revenue sharing.

Prinsip distribusi yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan shahibul maal/mudharib haruslah bersifat terbuka, serah terima, adil, dan tidak ada yang dilukai.Selain itu, kebijakan dalam menentukan profit margin dan nisbah bagi hasil harus mempertimbangkan segala hal seperti; perlengkapan cadangan (reserve requirement), tingkat persaingan, resiko pembiayaan, jenis nasabah, kondisi perekonomian, tingkat keuntungan yang diharapkan oleh bank.Semua itu menajaga terjadinya resiko yang terjadi pada bank maupun nasabah.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Sumber data penelitian ini adalah buku-buku kepustakaan. Metode yang digunakan yaitu penelitian umum dalam ilmu hadits, yaitu takhijul hadits. Secara bahasa takhrij berarti mengeluarkan, menampakkan, meriwayatkan, melatih dan mengajarkan. Menurut terminologi berarti berkembang sesuai situasi dan kondisi.[2]

Pengertian takhrijul hadits menurut Mahmud at-Tahhan berasal dari kata at-takhrij yang berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Beberapa pengertian yang lain yaitu al-istimbat (hal mengeluarkan), at-tadrib (hal melatih atau hal pembiasaan) dan at-taujih (hal memperhadapkan).[3] Menurut Abdul Muhdi mendefinisikan takhrij sebagai berikut:

1.        Pengertian takhrij merupakan menyebutkan beberapa hadis dengan sanadnya.

2.        Pengertian lain menyebutkan sanad-sanad lain beberapa hadis yang terdapat dalam sebuah kitab. Penyebutan beberapa sanad tersebut dalam suatu bab memperkuat posisi suatu sanad dan menambah ragam dalam matan.

3.        Pengertian takhrij setelah dibukukan menunjukkan asal dari beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukumnya.

Langkah pertama yaitu mengumpulkan hadits-hadits tentang prinsip distribusi sebagaimana disebutkan dalam fatwa-fatwa DSN. Untuk lebih memudahkan pencarian hadits-hadits tersebut peneliti menggunakan software hadits Kuttubus Tis’ah dan Maktabah Syamilah.

Jika hadits-hadits yang terkumpul berupa hadits mutawatir atau masyhur, maka hadits tersebut secara otomatis menjadi maqbul, maka tak perlu lagi dilakukan kritik hadits. Jika hadits-hadits tersebut yang terkumpul berupa hadits ahad maka akan dilakukan kritik untuk menentukan bisa tidaknya hadits-hadits tersebut dijadikan dalil hukum. Kritik hadits meliputi kritik sanad dan kritik matan berdasarkan standart kesahihan hadits.

Hadits dinyatakan sahih apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:[4] 1) Sanadnya besambung; 2) Perawinya adil; 3) Perawinya dhabit; 4) Tidak Syadz/ menyimpang maksudnya tidak bertentangan dengan Qur’an, hadits mutawatir dan masyhur, sejarah dan ilmu pengetahuan; 4) Tidak ada ‘Illat.

Untuk kritik sanad diperlukan kitab-kitab rijalul hadits yang berisi biografi para periwayat berikut komentar para kritikus hadits. Jika para kritikus hadits bertentangan dalam mengkritik seorang perawi, ada yang men-ta’dil dan ada yang men­-jarh, maka akan didahulukan kritik dari kritikus yang  tsiqah. Jika kritik sama-sama berasal dari kritikus yang  tsiqah maka peneliti mendahulukan penilaian cacat yang rinci dari pada penilaian adil. Sebaliknya jika penilaian cacat tidak rinci, maka peneliti akan memprioritaskan penilaian adil. Penilaian adil tidak diperlukan penjelasan rinci. Setelah dilakukan kritik sanad maka akan dilakukan kritik matan. Kritik matan ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya pertentangan matan hadis dengan   Qur’an, hadits mutawatir dan masyhur, serta sejarah dan ilmu pengetahuan.Yang dimaksud dengan pertentangan dalil-dalil adalah adanya dua dalil atau lebih yang menetapkan hukum satu kasus dengan ketentuan yang saling menegasikan antara satu dengan yang lainnya.Misalnya satu dalil menyatakan halal sementara dalil yang lain menyatakan haram.

Pertentangan dalil-dalil hanyalah pertentangan formal, bukan pertentangan hakiki. Petentangan itu hanyalah yang tampak  dalam pandangan ulama sesuai kemampuan pemahamannya. Secara hakiki tidak ada dalil syariat yang bertentangan.Sebab tidak mungkin Syari’ menentukan dalil-dalil yang bertentangan dalam satu kasus dalam satu waktu.

Pertentangan dalil-dalil hanya terjadi pada dalil-dalil yang sama kedudukannya. Tidak ada pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil  zanni, antara nash dengan qiyas. Sebab dalil yang lebih lemah menjadi gugur karena adanya dalil yang lebih kuat. Pertentangan dalil tidak terjadi dalam dalil  fi’liyah. Sebab dalil  fi’liyah tidak berlaku umum. Misalnya hadis bahwa nabi ketika takbir mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan kedua bahunya, tidaklah bertentangan dengan hadis lain bahwa nabi mengangkat kedua tangannya  hingga lurus  dengan kedua telinganya.

Jika ditemukan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan, maka  dalil-dalil tersebut harus disinkronkan, diselaraskan agar terhindar dari pertentangan. Metode penyelarasan yang digunakan adalah metode Jumhur ulama.Menurut  Jumhur ulama selain Hanafiyah, jika terdapat dalil-dalil nash yang bertentangan, maka metode penyelarasannya  pertama dengan  Al-Jam’u wat-Taufiq  (mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan dengan memberlakukan semua hadis pada kasus yang berbeda). Jika Al-Jam’u wat-Taufiq tak bisa dilakukan maka akan dilakukan tarjih (menentukan yang lebih kuat) salah satu nash hadits jika mungkin untuk ditarjih. Jika tarjih tidak dapat dilakukan maka akan dilakukan nasakh, yaitu mendahulukan hadits yang datang belakangan dengan menghapus kehujjahan hadits yang datang lebih dahulu. Jika nasakh  tidak dapat dilakukan pula maka hadis-hadis yang bertentangan dan tak bisa diselaraskan akan ditinggalkan dan beralih pada dalil yang lebih rendah.[5]

Setelah dilakukan kritik sanad dan matan maka akan ditarik kesimpulan mengenai kualitas hadits-hadits yang tercantum dalam fatwa DSN-MUI tentang prinsip distribusi serta implikasinya terhadap validitas tersebut. Sehingga dari pendahuluan diatas judul makalah ini yakni “Hadits Tentang Prinsip Distribusi (Tinjauan Kritis Hadits Tentang Prinsip Distribusi Dalam Fatwa DSN-MUI NO 15/DSN-MUI/IX/2000)”.

 

 

 

 

 

 

B.       Tinjauan Kritis Hadits Tentang Prinsip Distribusi Dalam Fatwa DSN-MUI NO 15/DSN-MUI/IX/2000

 

حَدَّثَنَاالْحَسَنُ بْن ُعَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَاأَبُوعَامِرٍالْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُول َاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه ِوَسَلَّمَ قَال: الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا[6]

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al ‘Aqadi, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Abdullah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

 

a.        Syarhul Hadits

Hadits ini menjelaskan mengenai sebuah perdamaian atau kesepakatan antara sesama muslim, namun dibalik itu tidak boleh mengharamkan perkara (jalan) yang halal dan menghalalkan perkara (jalan) yang itu haram. Dalam kitab Tuhfatul Ahwadi[7] dicontohkan dalam sebuah kasus rumah tangga antara suami istri yang sedang berseteru dan istri meminta untuk menceraikannya guna mendapatkan kesepakatan perdamaian. Namun sang suami tidak mau melakukan itu, sedangkan pihak istri tetap memaksa. Hal semacam ini tidaklah diperbolehkan karena nanti bisa saja melalakukan hal-hal yang haram (tidak diperbolehkan) kemudian di halalkan (dibolehkan). Misalnya lagi sebuah perdamaian yang akan didapatkan ketika menolong orang yang dzalim, maksiat, dan akhlaq madzmudah lainnya.

 

b.        Analisis Lafadz

Dalam kamus Al-Munawir disebutkan bahwa kata al-shulhu merupakan perjanjian untuk mengakhiri perselisihan antara dua pihak yang bersengketa secara damai.

Kata جائز yang berarti boleh merupakan legalitas dari shulhu tersebut. Dengan demikian, dasar hukumnya adalah boleh. Sedangkan subjeknya adalah kata بين المسلمين. Sekalipun subjeknya menggunakan kata muslimin bukan berarti perdamaian dengan non-muslim tidak boleh. Shuluh dengan siapa pun hukumnya dibolehkan karena konsep dasarnya adalah boleh. Maka kata muslimin tersebut menurut Abu Daud dikategorikan sebagai خرج مخرج الغالب    yaitu  keluar dari konsep biasanya. Radaksi selanjutnya menggunakan huruf istitsna atau pengecualian. Itu artinya bahwa legalitas shuluh akan menjadi haram apabila dilakukan untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal secara syar’i. Karena dalam konteks Islam perbuatan mengharamkan yang sudah jelas halal atau menghalalkan sesuatu yang sudah jelas haram sangat dilarang dan dicela. Akhir hadits tersebut ditutup dengan kalimat المسلمون على سروطهم  yang artinya konsekuensi dari sebuah akad dalam transaksi adalah adanya keterikatan antara kewajiban dan hak yang harus ditunaikan kepada masing-masing pihak.

c.         Ma’anil Hadits

Dari hadits diatas, jika kita hubungkan dengan konsep prinsip distribusi dalam Lembaga Keuangan Syariah ada sedikit makna yang bisa diambil. Bahwa inti dari hadits ini jika melakukan sebuah kesepakatan haruslah dengan jalan yang baik, tidak ada kebohongan dan tidak menggunakan cara yang tidak baik. Maka, akad kerjasama dengan menggunakan prinsip profit sharing dan revenue sharing juga akan menjadi gugur jika uang yangdigunakan oleh mudharib untuk mendapatkan keuntungan yang itu untuk kegiatan-kegiatan usaha yang tidak baik. Bisa dicontohkan misalnya, uang kerjasama tersebut digunakan untuk bisnis dagang barang-barang illegal karena dikira akan lebih cepat dalam mendapatkan uang. Begitu juga uang yang dititipkan shahibul maal kepada mudharib haruslah dikelola dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip syar’i yang berlaku.

Hal yang urgen untuk dikaji adalah semangat hadits yang menganjurkan dan mengutakamakan asas kemashalahatan dalam melakukan aktivitas ekonomi atau bisnis. Dalam aktivitas ekonomi haruslah mengutakamakan asas kemashalahatan.Dengan menjujung tinggi asas kemashlahatan dan menjauhkan kemudharatan maka harmonisasi transaksi antar sesama bisa terbangun dan terjalin secara natural.Kemashlahatan merupakan lawan dari kemudharatan dan kemahslahatan itu menjadi tujuan dan orientasi dari syariat Allah SWT.Asas kemashalahatan tersebut bukan saja disoroti dari aspek agama semata namun dibarengi atas dasar ilmu ekonomi dan mekanisme pasar yang berjalan dan berlaku.Dengan demikian, proteksi dari siklus bisnis atau ekonomi bisa dirasakan oleh semua pihak tanpa ada yang merasa dizalimi.

Dalam prinsip ilmu ekonomi dan bisnis dikenal dengan teori mahslahah yang menyatakan bahwa mashalahat merupakan suatu yang nisbi, karena banyak mashalahat yang di dalamnya terkandung unsur mafsadah dan banyak mafsadah yang mengandung unsur mashlahah seperti minuman keras. Untuk itu sisi yang diambil adalah sisi yang lebih kuat dan lebih banyak. Karena upaya seseorang untuk menyelesaikan perselisihan dan berupaya melakukan perdamaian merupakan salah satu dari orientasi dan esensi ajaran Islam.

d.        Takhrij Hadits[8]

Hadits tentang distribusi termuat dalam kitab hadits at-Tirmidzi saja, No. Hadits 1272. Penulis menemukan syawahid hadits ini dalam kitab Sunan Abi Daud No. 3120, Sunan Ibnu Majjah No. 2344, Musnad Ahmad bin Hanbal No. 8429.

 

Nama Perawi

Tarikh ar-ruwat

 

Jarh at-Ta’dil

At-Tahammul wa al-Ada’

Lahir-Wafat

Guru

Murid

At-Tirmidzi

L: 209 H

W:

Tirmidz

Qutaibah bin Sa’id

Ishaq bin Rahuyah

Al Hasan bin Ali Al Khallal

Makki bin Nuh

Ahmad bin Yusuf

Hammad bin Syair Al-Waraq

Adz-Dzahabi: Hafidz

Abu Ya’la: Tsiqqah

Ibnu Hibban: Hafidz fi Hadits

Haddatsana

Al Hasan bin Ali Al Khallal

L:

W: 242 H

Tabaqah: Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan

Marrur Rawdz

Abdul malik bin Amru

Abdullah bin Muhammad

Usman bin Umar

At-Tirmidzi

Muhammad bin Usman

Muhammad bin Harun

Ya;kub bin Syaibah: Tsiqah

Ibnu Hajjar: Tsiqqah Hafidz

An-Nasa’i: Tsiqqah

Haddatsana

Abdul malik bin Amru

L:

W: 204 H

Tabaqah: Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa

Bashrah

Katsir bin Abdullah bin Amru

Katsir bin Salim

Quraish bin Hayyan

Al Hasan bin Ali Al Khallal

Hajjaj bin Sya’ir

Sulaiman bin Abdullah

Adz-Dzahabi: Hafidz

Ibnu Hajjar: Tsiqqah

An-Nasa’i: Tsiqqah Ma’mun

Haddatsana

Katsir bin Abdullah bin Amru

L:

W:

Tabaqah: Tabi’ut Tabi’in kalangan tua

Madinah

Abdullah bin Amru bin Auf

Muhammad bin Ka’ab

Nafi’ Maula bin Umar

Abdul malik bin Amru

Ishaq bin Ibrahim

Ishaq bin Ja’far

Ibnu Hanbal: Mungkarul hadits

An-Nasa’i: Matrukul Hadits

Ibnu Hajjar: Dhaif

Haddatsana

Abdullah bin Amru bin Auf

L:

W:

Tabaqah: Tabi’in kalangan tua

Madinah

Amru bin Auf bin Zaid

 

Katsir bin Abdullah bin Amru

Ibnu Hibban: disebutkan dalam ats tsiqqah

Ibnu Hajjar: Maqbul

Adz-Dzahabi: Tsiqqah

‘an

Amru bin Auf bin Zaid

L:

W:

Tabaqah: Sahabi

Madinah

Rasulullah

Abdullah bin Amru bin Auf

Abdullah bin Harits

Shalih bin Khuwat

Adz-Dzahabi: Sahabat

Ibnu Hajjar: Sahabat

‘an

 

e.         Kualitas Hadits

Dari segi kualitas hadits, hadits ini termasuk dalam hadits hasan yang masih bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Meskipun sesungguhnya dalam hadits di atas terdapat satu perawi yang ketiga-tiganya memberikan vonis Jarh, yakni Katsir bin Abdullah bin Amru yang dijarh dengan sighat masing-masing mungkarul hadits, matrukul hadits dan dhaif. Meskipun memang dalam riwayat lain, hadits diatas memiliki syawahid dalam kitab Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majjah[9], namun hadits ini masih saja memiliki status dha’if meskipun at-Tirmidzi menghukuminya hadits shahih.

f.         Asbabul Wurud Hadits

Berkata Abdur Razaq dalam al Munsofi saya ibnu Tamim dari Hijaj bin Arthoh bercerita kepadaku Abu Ja’far, ada sebuah pohon kurma diantara dua orang laki-laki فاختصما pada Nabi SAW maka berkata salah satu dari dua laki-laki tadi saya membelah pohon tersebut sehingga terbagi setengah-setengah antara saya dan dia.[10] Maka Nabi bersabda “ Tidak ada kemadlorotan dalam Islam”.[11]

Terlihat jelas, seperti yang kita ketahui bersama bahwa hadits yang dijadikan dasar hukum tentang shulhu oleh DSN dalam beberapa fatwanya yang lengkap hanya termaktub dalam kitab Sunan Turmudzi. Adapun dalam kitab-kitab hadits primer lain tidak begitu lengkap. Hal ini mengindikasikan bahwa hadits tersebut masih kontradiktif sekalipun Imam Turmuzi mengkatagorikan kepada hadits hasan shahih namun banyak ulama hadits lain yang mengkatagorikan sebagai hadits dha’if.

g.        Istinbath Hukum

Mengenai penggunaan hadits dha’if, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mengklasifikasikan menjadi tiga:[12]

1.        Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan beramal atau dalam penetapan hukum. Pendapat ini didukung oleh Ibn Sayyid An-Nas dari Yahya Ibn Ma’in yang diikuti oleh Abu Bakar Ibn ‘Al-’Arabi dan Ibn Hazm dan nampaknya pendapat ini berasal dari pendapat Al-Bukhori dan Muslim.

2.        Hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan beramal maupun dalam penetapan hukum. Pendapat ini diikuti oleh Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dengan paradigma bahwa hadits dha’if itu lebih kuat dari pada pendapat orang.

3.        Hadits dha’if yang boleh diamalkan adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan beramal dan nasihat-nasihat agama. Dengan catatan bahwa hadits itu tidak sampai pada level maudu’. Pendapat ini didukung oleh Imam Nawawi dan Ibn Hajar. Secara mayoritas pendapat yang ketiga ini yang populer di kalangan masyarakat.

Bila mencermati klasifikasi penggunaan hadits dha’if di atas, maka DSN dalam memberikan fatwa tentang boleh atau tidaknya suatu kegiatan ekonomi atau bisnis yang menggunakan hadits dha’if menggunakan pendapat yang kedua. Akan tetapi, ada aspek pendukung dalam penggunaan hadits dha’if tersebut yaitu aspek kemashlahatan dan kemudaratan. Dengan demikian, paradigma yang digunakan sudah terlihat secara jelas bahwa sekalipun hadits itu masih banyak yang mengatakan dha’if atau bahkan sudah pasti dha’if  namun DSN lebih kepada pendapat yang mengatakan bahwa hadits dha’if  lebih kuat dari pada pendapat orang.

Di samping itu, kita dapat mengetahui bahwa ada dua dua asas yang secara kontradiktif digunakan sebagai landasan hukum yaitu asas kemashlahatan dan asas kemudharatan. Artinya dua sisi tersebut digunakan sebagai media istibatul hukum oleh para ulama dalam menyelesaikan sengketa dalam bisnis salah satunya adalah yang digunakan oleh DSN dalam memberikan beberapa fatwa yang berkaitan dengan keuangan syari’ah

Dalam konsep ekonomi Islam atau muamalah dikenal istilah prinsip mashlahah. Mashlahah itu sendiri adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil hukum tertentu yang membenarkan atau membatalkan atas segala tindakan manusia dalam rangka mencapai tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta benda dan keturunan. Asas kemashalahatan ini menjadi salah satu poin penting dalam penetapan hukum.

 

C.      Analisis Hadits Prinsip Distribusi Dalam Fatwa DSN-MUI NO 15/DSN-MUI/IX/2000

Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara sebab-sebab pergantian dan perubahan hukum ijtihadi dalam hukum Islam adalah karena perubahan kondisi dan situasi zaman dan tempat.Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi tersebut, Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip dasar yang umum agar agar dapat ditafsirkan dan dikembangkan dengan tujuan dapat menjawab persoalan hidup manusia yang semakin kompleks. Sudah tentu cara paling tepat adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya untuk kemaslahatan manusia juga.

Kemaslahatan sebagai landasan fundamental hukum Islam harus selalu diupayakan untuk dicapai.Segala hal yang menjadi syarat bagi tercapainya kemaslahatan tadi harus dibuka lebar untuk direalisasikan.Begitu pentingnya keberadaan prinsip kemaslahatan ini, sehingga as Syatibi menempatkan pemahaman terhadapnya sebagai syarat paling utama dalam berijtihad.[13]Maslahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[14]

Penjelasan mengenai maslahah ini kemudian dibagi menjadi tiga kategori, pertama tipe maslahah yang dilegitimasi dan ditunjukkan secara jelas dalam bentuk nash atau dalil atau disebut sebagai maslahah mu’tabarah yang meliputi kemaslahatan keyakinan agama, keselamatan jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan (kehormatan) dan keselamatan harta benda. Kelima maslahah ini merupakan maslahah yang disarikan dari dalil-dalil nash al-Quran dan hadits.

Tipe kedua adalah maslahah yang ilusif, yang kebatilan telah dinyatakan oleh syara’ karena bertentangan dengan nash dan jika digunakan pasti akan menyebabkan diubahnya hukum syara’. Tipe ini dilarang dan biasanya disebut dengan maslahah mulghah.

Tipe ketiga, kemaslahatannnya yang kehendaki oleh lingkungan dan kenyataan-kenyataan baru datang setelah wahyu terputus sehingga tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus secara tidak dalil yang mengakui membatalkannya.Maka maslahah ini disebut dengan maslahah mursalah.[15]Oleh karena itu, maslahah mursalah ini terlepas dari syariah, maka penentu adanya kemaslahatan pada kategori ini adalah penalaran manusia.

Alasan digunakannya maslahah mursalah ini adalah bahawasannya kemaslahaatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum Islam tidak disyariahkan kemaslahatan yang selalu berkembang dan hanya berpatokan pada nash saja tanpa dilakukan adanya penafsiran baru, maka akan banyak kemaslahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman sehingga hukum Islam yang ada tidak dapat dijalankan dengan baik dan benar, padahal hukum diwujudkan untuk memperoleh kemaslahatan bagi manusia.

Begitu juga dengan Dewan Syariah Nasional sebagai sebuah badan yang menetapkan sebuah hukum juga harus melihat perkembangan kondisi dunia perbankan saat ini.Penetapan sebuah hukum haruslah untuk kemaslahatan bersama dan tanpa adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam. Dalam merujuk kitab-kitab yang digunakan sebagai penguat hukum Dewan Syariah nasional haruslah memberikan penjelasan terkait dengan kualitas hukum tersebut. Sebagai contoh adalah hadits yang digunakan oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan prinsip distribusi.

Hadits di atas termasuk dalam hadits hasan yang masih bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu hibban, dan Ibnu Khuzaimah.[16]

 

D.      Penutup

Berdasarkan tinjauan kritis hadits tentang prinsip distribusi dalam fatwa DSN-MUI NO 15/DSN-MUI/IX/2000 yang diungkapkan dalam penelitian ini, maka penulis menyimpulkan bahwa untuk hadits yang digunakan sebagai hujjah oleh fatwa Dewan Syariah Nasional boleh digunakan. Karena masih belum tergolong hadits yang maudhu’ atau hadits palsu.

Tentunya kita harus lebih berhati-hati dalam memilih sebuah hadits untuk dijadikan hujjah atau landasan berfikir untuk mentukan sebuah hukum. Penggunaan hadits-hadits lemah sebaiknya harus dilakukan penyaringan terlebih dahulu, apakah hadits tersebut baik untuk kemaslahatan bersama atau tidak. Apabila hadits tersebut menguntungkan salah satu pihak, lebih baik jika tidak dipakai. Penggunaan hadits pada Fatwa juga demikian, harus menimbulkan unsur kemaslahatan dan tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak.



[1] Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.

[2]Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta : Amzah, 2014). 2

[3]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2007) 39

[4]Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 141

[5]Homaidi Hamid, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Q Media, 2012), 182-187.

[6]Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir, Syirkah Maktabah  wa Matba’ah Mustofa al-Babi al-Khali, 1975), 626.

[7]Lihat di web: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=56&ID=2510 diakses pada tanggal 12/11/2019 pukul 18;46 WIB.

[8]Gawami Kalim Software, Apk.

[9]Hadits Explorer software, apk.

[10]Lihat pada web: https://elmaredo.wordpress.com/category/akhlak/ diakses tanggal  12/11/19 pukul 20.37 WIB

[11]Lihat web Sumber: http://khazandoc.blogspot.co.id/2015/04/sistem-distribusi-hasil-usaha-dalam.html, diakses pada 12/11/19 pukul 03:31 wib.

[12]Misbah AB, Mutiara Ilmu Hadis, (Kediri: Mitra Pesantren, 2010), 68-70.

[13]Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syariah Menurut as-Syatibi, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm 1.

[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008), 347.

[15]Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangan di Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), 183.

[16] Abdul majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm 45.

TAFSIR AYAT TENTANG RIBA DAN PRAKTIKNYA (Interpretasi Surat al-Baqarah Ayat 275)

  Pembahasan: Penafsiran Ayat Riba (Q.S Al-Baqarah; 275)   Kata riba dalam al-Qur’an terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empa...