PAJAK PENGHASILAN(PPh)

 

A.    Pajak Penghasilan Umum

Undang- undang No 7 Tahun 1984 tentang pajak penghasilan (Pph) berlaku sejak januari 1984. Undang- undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali di ubah dengan undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Undang undang pajak Pph mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subyek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh nya dalam tahun pajak. Undang-undang PPh menganut asas materil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak bergantung kepada surat ketetapan pajak.

*      Subyek pajak dan Wajib Pajak

Yang menjadi subyek pajak adalah:

·         Orang pribadi

·         Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

·         Badan, terdiri dari PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya,BUMD/BUMN dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, yayasan, dan organisasi-organisasi lainnya.

·         Bentuk Usaha Tetap (BUT)

B.     Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainyang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

Pemotong PPH Pasal 21 antara lain:

a.       Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan usat maupun cabang, perwakilan atau unti yang membayar gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dngan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pehgawai.

b.      Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

c.       Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

d.      Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:

1.      Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.

2.      Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.

3.      Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.

e.       Penyelenggaraan kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.[1]

Hak Pemotong PPH Pasal 21

       Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 yang terutang, oleh pemotong PPh Pasal 21, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnyamelalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.

Kewajiban Pemotong PPH Pasal 21

1.      Kewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 21

a.       Pemotong PPh Pasal 21 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b.      Pemotong PPh Pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Ph Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan kalender.

c.       Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat catatan ataukertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.      Kewajiban membuat bukti potong

a.       Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama satu bulan setelah tahun kalender berakhir.

b.      Pemotong PPh pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas emotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21.

c.       Dalam hal dalam satu bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari satu kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk satu bulan kalender.

3.      Kewajiban menyetor dan melaporkan

a.       PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 hari setelah Masa Pajak berakhir.

b.      Pemotong PPh Pasal 21 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong PPh Pasal 21 terdaftar, paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

c.       Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dapat dlakukan pada hari kerja berikutnya.

Kewajiban Pajak Subjektif

             Kewajiban yang melekat pada subjeknya yang prinsipnya semua orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif. Untuk orang atau badan yang bertempat tinggal, tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia mempunyai kewajiban pajak subjektif jika mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.[2]

Subjek PPH Pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 diantaranya sebagai berikut:

a.       Pegawai.

b.      Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

c.       Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain:

1.      Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

2.      Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, dan seniman lainnya.

3.      Olahragawan.

4.      Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, pnyuluh, dan moderator.

5.      Pengarang, peneliti, dan penerjemah

6.      Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya.

7.      Agen iklan.

8.      Pengawas atau pengelola proyek.

9.      Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan yang menjadi perantara.

10.  Petugas penjaja barang dagangan

11.  Petugas dinas luar asuransi.

12.  Distributor peusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

d.      Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan  dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan. [3]

Hak Penerima Prnghasilan

             Hak penerima penghasilan adalah menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pemotong.

Kewajiban Penerima Penghasilan

a.       Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

b.      Menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim.

c.       Menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada:

·      Pemotong pajak kantor cabang baru atau tempat kerja baru dalam hal bersangkutan dipindahtugaskan atau pindah kerja.

·      Pemotong pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun berjalan.

·      Mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan

Penerima penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21

a.       Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:

·      Bukan warga negara Indonesia

·      Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

b.      Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

OBJEK PPH PASAL 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

a.       Penghasilan teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

b.      Penghasilan tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.

c.       Upah harian, uapah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.

d.      Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua (THT) atau Jaminan Hari Tua (JHT), dan pembayaran lain sejenis.

e.       Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri.

f.       Gaji, gaji kehormatan, tunjangan lainnya yang terkait gaji, uang pensiun dan tunjangan lainnya yang terkait dengan uang pensiun.

g.      Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengen nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh final dan dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus.[4]

Tidak Termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

             Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong Ph Pasal 21 antara lain:

a.       Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

b.      Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penerimaan dalam bentuk natura sebagaimana dimaksud PMK 252 Tahun 2008 Pasal 5 ayat 2.

c.       Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostekyang dibayar oleh pemberi kerja.

d.      Pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah.

e.       Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.

f.       Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Pajak Penghasilan yang Dipotong PPh Psal 21 Final

             Yang termasuk pajak penghasilan PPh Pasal 21 final antara lain:

a.       Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.

b.      Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.

Tarif PPH Pasal 21

1.      Tarif berdasarkan pasal 21 ayat 1 huruf a UU Pajak enghasilan diterapkan atas penghasilan kena pajak dari pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.

2.      Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:

a.       Jumlah penghasilan bruto diatas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) UU Pajak Penghasilan.

b.      Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.

3.      Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00, PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.

Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21

             Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas beupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:

1.      Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari;-Upah/uang saku mingguan dibagi 6;

a.       Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari

b.      Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.

2.      Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.

3.      Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp 150.000,00, dikalikan 5%.

4.      Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarna, yaitu sebanding dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.[5]



[1]Aristanti Widya Ningsih. Hukum Pajak dan Perpajakan. (Bandung: Alfabeta. 2011). Hal 46-47

[2]Ibid.Hal 47-49

[3]Ibid. Hal 51-52

 

[4]Ibid. Hal 53

 

[5]Ibid. Hal 55-67

KONSEP DASAR PAJAK

 

A.    Definisi Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balasan jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa bersarkan norma-norma hukum untuk mencapai kesejahteraan umum.

Menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M. Anderson Herschel M. & Brock Horace R, pajak adalah pengalihan sumber dari sektorswasta ke sekor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat masalah yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Lebih lanjut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH. Mengemukakan definisi pajak sebagai peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pajak merupakan iuran wajib yang bersifat memaksa masyarakat melalui proses peralihan kekayaan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin negara dengan imbalan secara tidak langsung.

Secara garis besar ciri-ciri yang terdapat dalam pajak adalah sebagai berikut :

1.      Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena didasarkan atas undang-undang.

2.      Pihak yang membayar pajak tidak mendapat kontra prestasi langsung.

3.      Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4.      Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah, dimana jika terjadi kelebihan (surplus) maka akan dipergunakan untuk membiayai Public investment.

5.      Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu fungsi mengatur.[1]

B.     Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara khususnya sebagai sumber pembiayaan dan pembangunan negara. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1.      Fungsi Penerimaan (budgeter)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Dalam APBN, pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri.

2.      Fungsi Mengatur (regulator)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.

3.      Fungsi Stabilitas

Fungsi ini berhubungan dengan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga (melalui dana yang diperoleh dari pajak) sehingga laju inflasi dapat dikendalikan.

4.      Fungsi Redistribusi

Dalam fungsi ini pajak lebih ditekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak.

5.      Fungsi Demokrasi

Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud sistem gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat membayar pajak.[2]

C.    Pengelompokan Pajak

1.      Menurut golongannya

a.       Pajak langsung, yaitu pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.

Contoh: Pajak Penghasilan

b.      Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai

2.      Menurut sifatnya

a.       Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya atau selanjutnya dicari syarat obyektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

b.      Pajak obyektif, yaitu pajak yang berdasarkan obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai[3]

3.      Menurut lembaga pemungutnya

Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat di bedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah pusat yang dalam hal ini sebagaian dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak- Departemen Keuangan. Sedangkan Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1.      Pajak Penghasilan (PPh)

PPh merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan ataspenghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Penghasilan disini adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang pribadi, perusahaan maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam ekspor, tarif PPN adalah 0%. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya.

3.      Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud barang kena pajak yang tergolong mewah adalah :

a.       Barang tersebut dikonsumsi oleh masyatakat tertentu.

b.      Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh orang yang mempunyai penghasilan tinggi.

d.      Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status

e.       Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4.      Bea Materai

Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga, dan efek yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertenti sesuai dengan ketentuan.

5.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan pajak pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1.      Pajak Provinsi

a.       Pajak kendaraan bermotor

b.      Pajak balik nama kendaraan bermotor

c.       Pajak bahan bakar kendaraan bermotor

d.      Pajak air permukaan, dan

e.       Pajak rokok

2.      Pajak Kabupaten/Kota

a.       Pajak hotel

b.      Pajak restoran

c.       Pajak hiburan

d.      Pajak reklame

e.       Pajak penerangan jalan

f.       Pajak mineral bukan logam dan batuan

g.      Pajak parkir

h.      Pajak air tanah

i.        Pajak sarang burung walet

j.        Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan

k.      Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)

Pajak juga dapat dibedakan menjadi dua, antara lain :

1.      Pajak final

Pajak final berarti pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan pada total PPh yang terutang pada akhir tahun saat pengisisn SPT tahunan PPh.

Contoh dari pajak final adalah sebagai berikut:

a.       Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, serta bunga simpangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

b.      Penghasilan berupa hadiah undian.

c.       Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusaqhaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

d.      Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, serta penyewaan tanah dan/atau bangunan.

2.      Pajak tidak final

Sebagian besar pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak tidak final. Pajak tidak final adalah pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan dan dapat dikreditkan pada total PPh terutang pada akhir tahun saat pengisisan SPT Tahunan. Misalnya Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, dan 24, serta PPN.[4]

D.    Perbedaan Pajak dengan Jenis Pungutan Lainnya

Pungutan adalah peralihan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik, berdasarkan Undang-undang yang ditujukan untuk membiayai pengeluaran negara. Pungutan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1.      Pajak

Pajak adalah jenis pungutan yang tidak memiliki jasa timbal balik secara langsung. Misalnya: PPh, PPN, PPnBM, dan lain-lain.

2.      Retribusi

Retribusi adalah jenis pungutan yang memiliki jasa timbal balik. Misalnya: retribusi parkir, retribusi pasar, rekening telepon, rekening listrik, uang ujian, dan lain-lain.

3.      Sumbangan

Sumbangan adalah jenis pungutan yang juga memiliki jasa timbal balik namun hanya uuntuk sekelompok orang, misalnya: sumbangan bencana nasional. Sumbangan fasilitas pendidikan, dan lain-lain.

E.     Tata Cara Pemungutan Pajak

1.      Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel:

a.       Stelsel nyata (riel stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada obyek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir athun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kekurangannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui) padahal pemerintah membutuhkan penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran di sepenjang tahun.

b.      Stelsel anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selam tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun, sehingga penerimaan pajak oleh pemerintah dapat diperoleh sepanjang tahun, sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya atau tidak realistis.

c.       Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun besarnya pajak dihitung menggunakan stelsel anggapan, kemudian pada akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan kembali berdasarkan stelsel nyata. Apabila jumlah pajak menurut stelsel nyata lebih besar dari pajak menurut stelsel anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jumlah pajak menurut stelsel nyata lebih kecil daripada menurut stelsel anggapan, maka kelebihannya dapat dimintai kembali (restitusi) atau dikompensasi pada periode berikutnya.

2.      Asas Pemungutan Pajak

Ada tiga asas yang dgunakan dalam pemungutan pajak, yakni:

a.       Asas domisili

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal atau yang bertempat tinggal di wilayahnya. Wajib pajak yang bertemapt tinggal di Indonesia dikenakan pajak baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupundari luar negeri.

b.      Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilyahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan wilayah tempat tinggal Wajib Pajak.

c.       Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara. Pengenaan pajak diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

3.      System Pemungutan Pajak

System pemungutan pajak dibagi dalam tiga bagian berikut ini:

a.       Official Assessment System

System pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak menurut perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Ciri-ciri Official Assessment System:

1)      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus

2)      Wajib Pajak bersifat pasif

3)      Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

b.      Self Assessment System

System pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

c.       With Holding System

System pemungutan pajak yang mmeberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.[5]

F.     Hambatan Pemungutan Pajak

Inti persoalan pajak adalah siapa yang harus membayar pajak dan berapa besarnya pajak yang harus dibayar/terutang. Persoalan siapa yang harus membayar pajak berkenaan dengan subjek pajak, yang terdiri dari orang-orang pribadi. Badan, dan warisan. Subjek pajak dibagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri

Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut:

1.      Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.

2.      Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

3.      Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

4.      Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesauan, menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak Luar Negeri

Yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

1.      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2.      Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

3.      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia ayau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

4.      Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Berapa besarnya pajak terutang berhubungan dengan masalah objek pajak tarif pajak, dan dasar pengenaan pajak. Apabila subjek pakai dikenai objek pajak, maka subjek pajak disebut sebagai Wajib Pajak (Taxpayer) dan apabila tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, maka akan diperoleh Pajak Terutang.[6]

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:

1.      Perlawanan pasif

Masayarakat enggan (pasif) membayar pajak dapat disebabkan antara lain:

a.       Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

b.      Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami oleh masyarakat.

c.       Sistem kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

2.      Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha atau perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak.

Bentuknya antara lain:

a.       Tax avoidance, suatu usaha meringankan pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

b.      Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).[7]

G.    Tarif Pajak

Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah pajak yang terutang. Terdapat empat macam tarif pajak, yaitu:

1.      Tarif Tetap

Tarif tetap yaitu tarif dengan jumlah atau angka tetap berapa pun yang menjadi dasar pengenaan pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

2.      Tarif Sebanding

Tarif sebanding (proporsional), yaitu tarif dengan persentase tetap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak, dan pajak yang harus dibayar selalu akan berubah secara proporsional sesuai dengan jumlah yang akan dikenakan.

3.      Tarif Progresif

Tarif progresif, yaitu tarif dengan persentase yang semakin meningkat (naik) apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak meningkat.

Dilihat dari kenaikan tarif, tarif progresif dibagi menjadi beberapa tarif, yaitu:

d.      Tarif progresif progresif

Kenaikan persentase pajaknya semakin besar.

e.       Tarif progresif tetap

Kenaikan persentase pajaknya tetap.

f.       Tarif progresif degresif

Kenaikan persentase pajaknya semakin menurun.

4.      Tarif Degresif (Menurun)

Tarif degresif (menurun), yaitu tarif dengan persentase yang semakin turun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak meningkat.[8]

 



[1] Aristansi Widyarungsih, Hukum Pajak dan Perpajakan dengan Pendekatan Mind Map, (Bandung : Alfabeta. 2013), hal.2-3

[2] Ibid., hal.3         

[3] Mulyo Agung, Perpajakan Indonesia: Teori dan Aplikasi, (Jakarta:Dinamika Ilmu.2007), hal.11

[4] Sumpramono, Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.2010), hal.6-7

[5] Abdul Halim, dkk, Perpajakan:Konsep, Aplikasi, Contoh, dan Studi Kasus, (Jakarta:Salemba Empat.2014), hal.6-7

[6] Aristansi Widyarungsih, Hukum Pajak dan Perpajakan dengan Pendekatan Mind Map, (Bandung : Alfabeta. 2013), hal.21-22

[7] Mardiasmo, Perpajakan:Edisi Revisi, (Yogyakarta:CV ANDI OFFSET.2011), hal.8-9

[8] Abdul Halim, dkk, Perpajakan:Konsep, Aplikasi, Contoh, dan Studi Kasus, (Jakarta:Salemba Empat.2014), hal.8-9

TAFSIR AYAT TENTANG RIBA DAN PRAKTIKNYA (Interpretasi Surat al-Baqarah Ayat 275)

  Pembahasan: Penafsiran Ayat Riba (Q.S Al-Baqarah; 275)   Kata riba dalam al-Qur’an terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empa...