A. PENDAHULUAN
Ketika
kita mendengar kata ”sains” dan ”agama[1] serta merta orang akan berpkir akan
sejarah hubungan seru di antara keduanya[2]. Dalam catatan sejarah
perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangan belaka[3] tetapi juga orang berusaha untuk mencari
hubungannya antara keduanya pada posisi yaitu sains tidak mengarahkan agama
kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksanakan sains untuk
tunduk pada kehendaknya.
Memang,
science and religion merupakan wacana
yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual[4] Hingga kini, masih saja ada
anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan
”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai
wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek
formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan
oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama- pun
tidak memperdulikan ilmu.[5]
”Banyak
pemikir yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan
sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membanyangkan
bagaimana saudara secara jujur dapat serentak ”saleh-beriman”, setidak-tidaknya
dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka bahwa agama
jelas-jelas ”tidak dapat membuktikan” kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas,
sedangkan apakah sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan
kebenaran temuannya.[6]
Persoalan
yang muncul sekarang adalah bagaimana memadukan sains dan agama. Pemaduan dan
seperti apa yang dapat dilakukan? Dalam wacana sains dan agama, intergrasi
dalam artian generiknya sebagai upaya memadukan sains dan agama. Dr.
J.Sudarminta, SJ, misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi
yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif”
(istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara
dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah).[7]
Dengan
dasar pemikiran di atas, penulisan makalah ini akan di fokuskan pada pembahasan
apakah agama bertentangan dengan sain, bagaimana integrasi antara sains dan
agama, serta sains dan agama dalam pandangan Islam.
B. APAKAH AGAMA
BERTENTANGAN DENGAN SAINS ?
Sains
dan agama bukan merupakan isu baru dan bahkan banyak pemikir yang yakin bahwa
agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains[8]. Pertarungan
antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti. Katakan saja, di satu
pihak ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap sebagai intelektual. Tetapi
kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata telah mengubah dunia
seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai
kelompok tradisional, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak
berbicara semua hal tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah-olah tak
pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.[9]
Agama
dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan
pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar
mempertemukan ide-ide spiritualitas [agama] dengan sains yang sebenarnya sudah
berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai
Charles Percy Snow. dalam Ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan
dengan judul The Two Cultures yang
menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan
yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah.[10]
Pihak
skeptis ilmiah selalu menuduh bahwa agama hanya bergantung pada asumsi-asumsi apriori atau sesuatu yang hanya
didasarkan pada keyakinan. Selain itu, kelompok sains, juga tidak dapat
menerima begitu saja segala sesuatu sebagai kebenaran. Kaum teolog [agamawan]
kemudian banyak menuai kritik karena terlalu bertumpu pada “imajinasi liar”,
sementara para scientist harus
berdasarkan fakta secara empiris. Ini adalah tantangan yang dihadapi dan
apabila “pemahaman yang kurang tepat mengenai persoalan ini dapat menjebak umat
beragama pada upaya-upaya yang tak produktif atau bahkan kontra produktif”.[11]
Selain
itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu
komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi
mana-pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam
di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk
menunjukkan pola-pola umum mana-pun.[12]
Kaum
materialisme dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim bahwa “sains” dan “agama”
memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam domain yang sama sehingga orang
harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak dapat
mempercayai evolusi dan Tuhan sekaligus.[13]
Memang
perkembangan selama ini, menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah
aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi
metafisis, aksiologis dan
epistemologis. Penganut
aliran ini, mengatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan
kebenaran dan sains merupakan “dewa” dalam beragam tindakan [sosial, ekonomi,
politik, dan lain-lain]. Sedangkan menurut mereka, agama hanyalah merupakan
hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata kaum
positivisme.[14]
Dengan
demikian, upaya untuk menghubungan dan memadukan antara sains dan agama, tak
harus berarti menyatukan atau bahkan mencapuradukkan, karena identitas atau
watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian
orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja
yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas
lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang
“konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu
upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru [untuk sains dan/atau
agama], yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan.[15]
Ian
G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut
fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru
Bicara Tuhan antara Sains dan Agama [terj] dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies,
Strangers, or Partuers?, bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan
salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik [conflict], perpisahan [independence], dialog - perbincangan [dialogue], dan integrasi-perpaduan [integration.][16]
Pententangan
antara saian dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah hubunga yang bertelingkah
[conflicting] dan dalam kasus yang
ekstrim barangkai bahkan bermusuhan [hostile].
Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan
sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing- masing tanpa
saling mengganggu atau memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan
yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin
memahami persamaan dan perbedaan mereka. Perpaduan atau integrasi adalah
hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah,
rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu.[17]
Perpaduan
menurut Ian G. Barbour, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu [Natural Theology], atau dari sisi agama
[Teology of Nature]. Alternatifnya
adalah berupaya menyatukan keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan,
misalnya Process Philosophy. Maka
Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan
dengan penggunaan Process Philoshofy secara
berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah
dukungannya terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah
pandangannya justru lebih berat pada dialog atau perbincangan.[18]
C. BAGAIMANA
MENGINTEGRASIKAN SAINS DAN AGAMA
Wacana
integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama. Walaupun tak selalu
menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan Muslim
modern gagasan perlunya pemaduan sains dan agama, atau akal dan wahyu [iman],
telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan Muslim pandangan bahwa
pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated. Bagi kalangan Kristen
kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat
tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”.[19]
Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap
sebagai salah seorang peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di
Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya,
termasuk di Indonesia.[20]
Dari
empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour, lebih berpihak pada dua
pandangan terakhir, dan khususnya integration.
Lebih khusus lagi, integrasi Barbour, adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi
teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi
tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala
Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu
reformasi teologi dalam bentuk theology
of nature. Barbour, membedakannya dari natural
theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama
berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour
nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya
terutama tertumpu pada ada yang disampaikan oleh isi teori-teori paling
mutakhir dalam ilmu alam.[21]
Pandangan
yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught [1995], yang membagi
pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan
kontak, dan pendekatan konfirmasi24. Keempat
pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya
sebagai semacam perjalanan.[22]
Untuk
itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan
agama, sebagai berikut:
Pendekatan
Konflik, suatu keyakinan bahwa pada
dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak
pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan
dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji
semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama
berdasarkan keyakinan.[23]
Kaum
skeptis ilmiah sering mengatakan
agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori
atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala
sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar
pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat
diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains
berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.[24]
Jadi,
pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki
perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak”
tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan
konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas
dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains”
menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam
dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke
kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini,
terbukalah peluang terjadinya konflik antara
keduanya.[25]
Pendekatan
kontras, suatu pernyataan bahwa tidak
adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi
tanggapan terhadap masalah
yang sangat berbeda.[26]
Banyak
ilmuwan dan agamawan [teolog] tidak menemukan adanya pertentangan
antara agama dan sains30. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains”
sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara
keduanya. Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas
ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai
agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya. oleh karena itu
keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains
sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan
bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama
dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya
masing-masing.[27]
Jadi,
agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
Pendekatan
Kontak, suatu pendekatan yang
mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara
sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk
menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini
terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada
harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan
ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik,
tetapi dalam dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak,
sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia
Barat, agama telah membentu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya
kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.[28]
Pendekatan
kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala
keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam
pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan
kebenaran Tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan
penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama,
tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada
konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara
langsung kepada desainer Ilahi.[29]
Untuk
itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan
secara kritis terhadap apa yang nyata. Dengan dasar inilah, akan menjadi
landasan bagi adanya ”kontak” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan
Konfirmasi, suatu perspektif yang
lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama,
pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah36.
Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan.
Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih
bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui
pemahaman teologis. Dengan demikian,
posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara
yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan
bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama
dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi
makna kepada alam semesta.[30]
Haught,
mengatakan iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas
dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan
sumbernya. Sains, sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia, mempunyai apa
yang oleh Michael Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan” [fuduciary, dari
kata Latin, fideo yang artinya
memercayai].[31]
Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak bakal ada juga rangsangan untuk
mengupayakan kebenaran melalui sains.[32]
Keempat
pandangan Haught ini, dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang
dibuat Berbour, tetapi Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”. Tetapi
secara lebih spesifik, Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan ”teologi”
tersebut sebagai ”kolonialisasi teologi oleh sains”.[33]
Konflik
antara sains dan agama yang terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan
agama, sebab keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan- pertanyaan
yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya.[34]
Maka
dari pandangan Haught[35] ini, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah “menarik
garis pemisah yang jelas untuk menunjukkan Kontras keduanya. Langkah
berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru dapat dilakukan
kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa
bagaimanpun bidang-bidang ilmu yang berbeda perlu dibuat koheren. Pada posisi ini, implikasi-teologis teori ilmiah ditarik
ke wilayah teologis, bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan
sekedar menafsirkan temuan ilmiah
dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik. Dasar
dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains mengenai
alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan.[36]
Pandangan
dan gerakan Haught, melangkah lebih jauh pada konfirmasi dengan upaya mengakarkan
sains beserta asumsi metafisinya pada pandangan dasar agama mengenai
realitas – realitas yang setidaknya dalam tiga agama monoteistik [Yahudi, Kristen, dan Islam] pada dasarnya berakar pada
Wujud yang disebut “Tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains yang disebut Haught di
antaranya bahwa alam sementara adalah suatu “keteraturan” [“tertib wujud”] yang
rasional. Menurut Haught, tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual
tak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.[37]
Pandangan ini, dapat dibayangkan semacan “premis awal” Aristotelian yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk
menggerakkan silogisme pertama. Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini
merupakan objek “keimanan”.[38] Jadi, asumsi-asumsi
metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama.
Golshani
seperti juga Haught, menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa
alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional: teratur dan
memiliki hukum-hukum. Kata Golshani, dalam sains sekuler, ini menjadi semacam
“iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun [mau tak mau] diyakini. Maka, tanpa
keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual
pengembangan teori-teori ilmiah. Di sinilah, pandangan Golshani, senada dengan
Haught, bahwa agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains.[39]
Jadi,
asumsi-asumsi metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama.
Golshani
seperti juga Haught, menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa
alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional: teratur dan
memiliki hukum-hukum. Kata Golshani, dalam sains sekuler, ini menjadi semacam
“iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun [mau tak mau] diyakini. Maka, tanpa
keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual
pengembangan teori-teori ilmiah. Di sinilah, pandangan Golshani, senada dengan
Haught, bahwa agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains.[40]
Maka
untuk mengintegrasikan ”sains dan agama”, Paul
Davies, dalam bukunya God and The New
Phyisics, merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains, yaitu : Pertama, adanya ”dialog” yang
semakin intensif antara para ahli sains,
filsafat dan teolog mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan
[evolusi] yang menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda
pandangan. Kedua, adanya minat yang
besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur. Tanpaknya, keinginan kita pun
sama dengan kerinduan C.P. Snow, bahwa
semua itu dapat termanifestasi dalam
sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Untuk itu, caranya adalah para
saintis dan agamawan harus duduk bersama dalam rangka mengisi kehidupan yang
lebih harmonis dan manusiawi.[41]
D. HUBUNGAN SAINS DAN
AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam
pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan
pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang dupayakan adalah
mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita
dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama,
dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri.[42]
Para
sarjana Muslim, menekankan bahwa motivasi di balik upaya pencarian ilmu-ilmu
kealaman dan ilmu-ilmu matematis adalah upaya untuk mengetahui ayat-ayat Tuhan
di alam semesta. Dalam pandangan mereka, tiap- tiap bidang ilmu ini menunjukkan
satu dimensi ciptaan Tuhan, dan ilmu-ilmu tersebut memiliki kesatuan
organis. Dengan demikian, para sarjana Muslim tidak memisahkan kajian tentang
alam dari pandangan dunia mereka yang religius.[43]
Kita
meyakini bahwa inkonsistensi yang dituduhkan kepada sains dan agama, karena
diabaikannya keterbatasan sains oleh sebagaian ilmuwan, atau karena campur tangan yang tak
semestinya dari para otoritas agamawan dalam persoalan saintifik. Menurut
Golshani, hal ini juga terjadi di dunia Barat, beberapa orang ilmuwan terkenal
memandang kegiatan ilmiah sebagai bagian dari pengalaman beragama. Charles
Townes, pemenang hadia Nobel di bidang fisika, mengatakan bahwa
saya sendiri tidak membedakan antara sains dan agama, tetapi memandang
”penjelajahan” alam semesta sebagai bagian dari pengalaman religius.
Al-Qur’an,
memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam hanya dapat membawa
manusia dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal iman
kepada Tuhan, firman Allah : “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada
di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” [QS.
Yunus [10], ayat 101].[44]
Dengan
dasar ini, maka jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan,
imannya akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan- temuan ilmiahnya. Jika tidak
demikian, maka kajian tentang alam tidak dengan sendirinya akan membawanya
kepada Tuhan. Maka, Mehdi Golshani, mengatakan kegiatan ilmiah yang selalu
disertai dengan praanggapan-
praanggapan metafisik dari si ilmuwan meskipun dia mungkin tidak menyadarinya.
Jadi, kejaian kealaman hanya dapat membawa orang kepada Tuhan, jika kerangka
kerja metafisiknya bersesuaian.[45]
Di
lain pihak, keyakinan religius dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja
ilmiah. Maka menurut Golshani, inilah motivasi utama di balik kerja para
ilmuwan besar pada masa keemasan peradaban Islam. Al-Biruni, ilmuan Muslim
termasyhur, mengatakan bahwa penglihatan mengaitkan apa yang kita lihat dengan
tanda-tanda kebijaksanaan Ilahi dalam penciptaan dan menyimpulkan
adanya Sang Pencipta.[46]
Levy,
menjelaskan pandangan ilmuan Muslim itu dengan cara yang anggun. Terlepas dari
sejumlah kecil penyelidikan yang
diilhami oleh gagasan-gagasan filsafat Yunani, tetapi ilmuwan-ilmuwan Muslim
yang terlibat dalam pencarian sains melakukan hal itu …untuk
menemukan, dalam keajaiban-keajaiban alam, tanda-tanda atau bukti- bukti
kebesaran Tuhan. Dengan
demikian, menurut Golshani, keyakinan agama dapat memberikan motivasi yang baik
bagi kerja ilmiah. Kemudian efek lain yang dapat ditimbulkan agama terhadap
sains adalah di wilayah penerapan sains. Untuk itu, agama dapat berfungsi untuk
mengorientasikan sains pada
arah penguatan kapasitas-kapasitas spritual manusia dan dalam mencegah penggunaan
sains bagi tujuan-tujuan yang bersifat negatif.
Kata
Golshani, kalaupun ada yang terkait dengan “Islamisasi”, maka itu berarti upaya
memberikan makna keagamaan seperti itu pada sains. Maka kerja ilmiah dapat
dilakukan dan dikembangkan dalam konteks keagamaan [teistik] maupun
nonkeagamaan.[47]
Golshani,
dapat dikatakan merupakan pendatang baru dalam wacana mutakhir Islam dan sains.
Nama-nama yang sering muncul dalam pembicaraan Islamisasi adalah Syed M. Naquib
al-Attas, Seyyed Hossein Nossein Nasr, Isma’il al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar.
Al-Attas, dengan gagasan awalnya menyebut sebagai “dewesternisasi ilmu”,
Isma’il al- Faruqi berbicara tentang “Islamisasi Ilmu”, sedangkan Sardar
berbicara tentang penciptaan suatu “sains
Islam kontemporer”. Kesemuanya bergerak terutama pada tingkat epistemologi dan sedikit metafisika, kecuali al-Attas, yang lebih
masuk amat dalam ke wilayah metafisika.[48]
Dalam
spektrum pandangan mengenai Islam dan sains, sebuah posisi lain ditempati oleh
pemikir besar Muslim lain, yakni Fazlur Rahman, yang tak menyepakati gagasan
“Islamisasi Ilmu”. Pandangan Rahman [1988] didasari oleh keyakinan bahwa ilmu,
kurang-lebih, bebas nilai. Yang menjadi persoalan lebih besar adalah mampunya
agamawan menyajikan suatu sistem etika yang dapat menjawab persoalan-persoalan
baru yang diakibatkan kemajuan ilmiah. Tak sulit mencarikan mitra bagi Rahman
dalam agama-agama lain, yang mencermati bahwa isu utama sains dan agama adalah
menyangkut etika yang mampu menanggapi dengan cukup cepat dan baik isu-isu baru.[49]
E.
PENUTUP
Dalam
integrasi agama dan sains, perlu diupayakan dengan dialog, interaksi dan
konfirmasi. Artinya, sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang
dikehendakinya dan begitu juga agama tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada
kehendaknya. Agama harus membantu sains dengan memberikan perspektif yang
berbeda. Sains harus membantu agama untuk melihat kehidupan yang berbasiskan
pengalaman empiris. Kita tidak perlu menganjurkan sains untuk berubah-ubah
pandangan. Di lain pihak, kita perlu mengingatkan agama [agamawan] untuk
bersedia berubah sesuai dengan perkembangnya pengetahuan.
![]() |
Untuk mencapai itu semua, baik “sains” maupun “agama” harus memiliki dua wajah, yaitu : intelektual dan sosial. Agama dapat didekati dengan rasional dan empiris dan tidak melulu urusan hati saja [spritualisme semata]. Sains pun sebaliknya dapat berwajah sosial, artinya tidak melulu urusan rasional dan empiris semata. Sains mungkin telah berhasil melayani kemanusiaan, tetapi sains juga menimbulkan hal-hal negatif bagi manusia yang justru mengingkari kemanusiaan. Di sisi lain, agama semakin hari semakin tereduksi oleh sikap para pemeluknya. Agama terus dilembagakan. Diakui atau tidak, banyak kasus yang dilakukan para pelaku komunitas keagamaan justru menyelewengkan toleransi yang dianjurkan oleh agama yang dipeluknya.
Dengan
demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan ”dikotomik” antara agama dan
sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan
kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistik,
serta jauh dari sistem oposisi biner yang
diagungkan para penganut positivistik. Katakan saja, pandangan agama yang dulu
sering tidak menerima penemuan-penemuan sains, karena dianggap bertentangan
dengan pemahaman wahyu, kini harus bersikap lebih inklusif dan bijak. Sains
yang sering dianggap bebas nilai sehingga melupakan nilai-nilai kemanusiaan
yang diajarkan oleh agama juga harus membuat ruang yang lebih lebar bagi
saran-saran kaum agamawan. Untuk itu, dengan mempelajari dan memahami persoalan
ini secara komprehensif, kita dapat mengetahui keselarasan dalam relasi antara
agama dan sains.
[1] “Sains
dan agama” jelas bukan merupakan isu baru. Demikian pula, “sains dan Islam”
bukanlah isi baru di dunia Islam. Sejak
setidak-tidaknya dua abad silam, ketika perkembangan ilmu-ilmu modern terasa
makin “mengancam” kehidupan beragama, kaum agamawan maupun ilmuwan telah dengan intensif
mendiskusikannya. Jika mau ditarik lebih jauh, kita akan melihat bahwa jauh sebelumnya,
benih-benih isu ini telah pula muncul dalam bentuk wacana tentang “man [atau
wahyu] dan akal. Katakan saja, dalam sejarah Kristen periode awal hingga abad
pertengahan, maupun dalam sejarah tradisi intelektual Islam sejak masa paling
awalnya, wacana ini berkembang pesat dan mampu menghidupkan dimensi intelektual
perdaban-peradasan keagamaan [Zainal Abidin Bagir, Pengantar : Program Studi
Agama dan Lintas Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, dalam
Mehdi Golshani, 2004, Issues in Islam and
Science, Institute for Humanities and Cultural Studies [IHCS], Teheran,
Iran, terj. Ahsin Muhammad, 2004, Melacak
Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, Mizan, Bandung, hlm.xi].
[2] John F.Haught, 1995, Sccience and Religion: From Conflict to
Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias,
2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari
Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.1
[3] Ibid., hlm.
1.
[4] Akh. Minhaji, 2004, ”Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah
Pengantar, dalam M.Amin Abdullah,
dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam
dan Sains , Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, hlm. Ix.
[5] M. Amin Abdullah, 2004, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan
Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari
Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”,
dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi
Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains [Pilar Relegia dan
SUKA Press, Yogyakarta, hlm. 3.
[6] John F. Haught, 1995,
”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York.,
terj. Fransiskus Borgias, 2004,
”Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.2.
[7] Zainal
Abidin Bagis et al, 2005, Integrasi Ilmu
dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm.19. Pernyataan Dr. J.Sudarminta, SJ, ini disampaikan pada dua kesempatan pada 3003: International Conference
on “Religion and Science
ini the Post-Colonial World”, Yogyakarta, 2-5 Januaru, dan workshop “Agama dan Sains” [Juni-Agustus 2003],
yang keduanya diselenggarakan Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta [Zainal Abidin Bagis et al, 2005, hlm. 19]
[8] Zainal
Abidin Bagir, Pengantar : Program Studi
Agama dan Lintas Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
dalam Mehdi Golshani, 2004, Issues in Islam
and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies [IHCS], Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad,
2004, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains,
Tafsir Islami atas Sains, Mizan, Bandung, hlm.xi
[9] Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/14/renunganjumat.htm akses, sabtu 19/09/2019, jam.10.00.
[10] Baca: Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/14/renunganjumat.htm akses,
sabtu 19/09/2019, jam.10.00.
[11] Mehdi
Golshani, 2004, Issues in Islam and
Science, Institute for Humanities and Cultural Studies [IHCS], Teheran,
Iran. Terj. Ahsin Muhammad, 2004, Melacak
Jejak Tuhan dalam Sains Tafsir Islam atas Sains, Mizan, Bandung, hlm.xii.
[12] Ian
Barbour, 2000, When Science Meets
Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, terj. E.R. Muhammad, 2002, Juru
Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, Mizan, Bandung, hlm. 44
[13] Ibid., hlm. 54.
[14] Yumi, Resensi
“Bertanding dan Bersanding”, Judul Buku: Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Penulis: Djalaluddin
Rakhmat Penerbit, Mizan, From:http://www.penulislepas.com/more.php?id=213010M6
[15] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama
Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm.19.
[16] Ian
Barbour, 2000, When Science Meets
Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, terj. E.R. Muhammad, 2002, Juru
Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, Mizan, Bandung, hlm. 44
[17] Ibid., hlm. 44.
[18] Ibid., hlm. 82-94.
[19] Ian G.
Barbour, 2000, When Science Meets
Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, terj. E.R. Muhammad, 2002, Juru Bicara
Tuhan antara Sains dan Agama, Mizan, Bandung, 42
[20] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005..., hlm.20
[21] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005..., hlm.21.
[22] Ibid., hlm. 22.
[23] John F.Haught, 1995...,
hlm. 1.
[24] Ibid., hlm. 5.
[25] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005..., hlm.
18
[26] John F.Haught, 1995...,
hlm. 1.
[27] Ibid., hlm. 8.
[28] John F.Haught, 1995, Op.cit. hlm. 19.
[29] Ibid., hlm. 19.
[30] Ibid., hlm. 24.
[31] Michael Polanyi, 1964, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical
Philosophy, New York: Harper Torchbooks, hlm. 299., dalam John F.Haught,
1995..., hlm. 28.
[32] John F.Haught, 1995,
Ibid, hlm. 28
[33] Huston Smith, 2001, Why Religion Matters, terj. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains?,
2003, Mizan Pustaka, hlm. 72-75.
[34] Zainal Abidin Bagir et
al, 2005, Intergrasi Ilmu dan Agama,
Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm. 22.
[35] Selain Ian G. Barbour
dan John F.Haught,
dalam bidang psikologi, Jones [1997:114], menyebutkan tiga bentuk tradisional yang mengungkapkan hubungan antara
”psikologi” dan ”agama”. Hubungan itu selalu bersifat satu arah dengan posisi
psikologi di atas agama. Perkembangan baru dalam psikologi mempengaruhi agama,
tetapi perkembangan pemikiran dalam agama sama sekali tidak mempengaruhi
psikologi. Bentuk pertama, yaitu
studi agama yang dilakukan para psikologi. Ini disebut sebagai psikologi agama.
Bentuk yang kedua, pengetahuan
psikologi dipergunakan untuk membimbing pekerjaan para pastor dalam mengayomi
jemaatnya [pastoral care]. Bentuk
interaksi yang ketiga, menggunakan
penemuan psikologi untuk ”merivisi, menafsirkan kembali, meredefinis,
mendukung, atau membuang tradisi-tradisi agama yang sudah ada”. Jones ,
menganggap bahwa ketiga bentuk interaksi ini meperlakukan agama sebagai objek,
untuk penelitian, pembinaan, dan penyediaan jasa atau untuk pembaruan pemikiran
keagamaan. Dalam ketiga-tiganya, agama tidak pernah menjadi mitra yang sejajar.
Maka dengan dasar itu, kemudian Jones mengusulkan tiga bentuk interaksi
lainnya, yaitu : Pertama, interaksi kritis- evaluatif. Di sini, peneliti
menguji dan mengevaluasi teori-teori psikologi apakah teori-teori itu tidak
bertentangan dengan keyakinan agama. Pada posisi ini, psikologi diletakkan di
bawah telaah ”miskroskop” agama, dan bukan agama ditelaah psikologi. Kedua, interaksi konstruktif. Di sini,
keyakinan dan pandangan keagamaan memberikan konstribusi yang posetif untuk
kemajuan sains. Pada posisi ini, agama membantu psikolog untuk melihat dunia
dengan cara yang baru - membentuk persepsi baru tentang data dan teori.
Artinya, ajaran agama tidak menjadi sumber data untuk mengevaluasi teori,
tetapi menjadi ”kacamata” yang mempengaruhi apa yang dilihat sebagai data atau
dirumuskan sebagai teori. Ketiga,
intertaksi dialogis dan dialektis. Dalam interaksi dialogis, psikologi tidak mengarahkan agama kepada jalan
yang dikehendakinya dan agama tidak memaksanakan psikologi untuk tunduk pada
kehendaknya. Agama harus membantu psikologi dengan memberikan perspektif yang
berbeda. Psikologi harus membantu agama
untuk melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris. Untuk itu kita
tidak perlu menganjurkan psikologi untuk berubah-ubah pandangan [karena itu
sudah biasa dalam dunia ilmiah]. Di lain pihak, perlu mengingatkan [pemahaman]
agama untuk bersedia berubah sesuai dengan berkembangnya pengetahuan
[Jalaluddin Rakhmat, 2005, Psikologi
Agama, Sebuah Pengantar, Mizan, Cet. III, Bandung, hlm.136-143]
[36] John F.Haught, 1995,
terj. 2004, op.cit, hlm.17-19, dan .
Zainal Abidin Bagis et al, 2005, ibid, hlm. 22
[37] John F.Haught, 1995,
terj. 2004, ibid, hlm. 27-29.
[38] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama
Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm. 22-23.
[39] Mehdi Golshani, 2004, Issues in Islam and Science, Institute
for Humanities and Cultural Studies [IHCS], Teheran, Iran, hlm. 52., terj.
Ahsin Muhammad, 2004, Melacak Jejak Tuhan
dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, Mizan, Bandung, hlm. 48.
[40] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005..., hlm. 23
[41] Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/
2005/0105/14/renunganjumat.htm , akses, 19/09/2019,
jam.10.00
[42] Mehdi Golshani, 2004...,
hlm. 8.
[43] Ibid., hlm. 3.
[44] Al-Qur’an, surat Yunus
[10], terjemahan, ayat 101.
[45] Mehdi Golshani, 2004...,
hlm. 9.
[46] al-Biruni, 1374 H, al-Jamahir fi al-Jawahir, Teheran:
Syirkat al-Nasyr al-Ilm wa al-Tsaqafah, hl. 77., dalam Mehdi Golshani, 2004, Op.cit., hlm. 9.
[47] Ibid., hlm. 72.
[48] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005, hlm. 24
[49] Zainal Abidin Bagis et
al, 2005, hlm. 25-26.