Schwartz (1999:VII) memandang manajemen kinerja sebagai gaya
manajemen dengan sebagai dasar adalah komunikasi terbuka antara manajer dan
pekerja yang menyangkut penetapan tujuan, memberikan penetapan tujuan,
memberikan umpan balik terus-menerus baik dari manajer kepada pekerja dengan
sebaik-baiknya, demikian pula penilaian kinerja. Manajemen kinerja yang efektif
membantu manajer dan pekerja untuk bekerja dengan cerdik, bukannya lebih keras,
untuk mencapai produktivitas dan profitabilitas.
Manajemen
kinerja merupakan sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari
organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam
suatu kerangka tujuan, standar dan persyaratan-persyaratan kompetensi terencana
yang telah disepakati. Manajemen kinerja merupakan proses penciptaan pemahaman bersama tentang
apa yang harus dicapai, dan penciptaan suatu pendekatan terhadap pengelolaan dan
pengembangan orang dengan suatu cara yang meningkatkan probabilitas bahwa
pendekatan tersebut dapat dicapai dalam waktu yang singkat dan berjangka waktu
lebih lama (Armstrong, 2004:39).
Manajemen
kinerja harus dilihat sebagai suatu sistem. Suatu sistem menunjukkan pada
sesuatu yang memiliki bagian atau komponen-komponen yang saling berinteraksi
dan bekerja sama secara independen untuk mencapai tujuan. Suatu sistem
menunjukkan adanya struktur, hierarki dan interelasi antara unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya.
Komponen
manajemen kinerja terdiri dari: Perencanaan
kinerja, Komunikasi
kinerja secara terus-menerus, Pengumpulan
data; observasi dan dokumentasi, Pertemuan
penilaian kinerja, Diagnosis dan coaching
kinerja, Perencanaan kembali.[1]
Sementara itu, Costello berpandangan bahwa untuk menyelesaikan
menejemen kinerja dalam tiga siklus yang dilalui, yaitu: perencanaan kinerja
dan pengembangan, coaching sementara
dan review kemajuan, penilaian
kinerja dan review pengembangan.
Sedangkan, penilaian
kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu
organisasi, dan personelnya, berdasarkan sasaran strategik, standar, dan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu organisasi pada dasarnya
dioperasikan oleh modal manusia, maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan
penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka mainkan di
dalam organisasi.
Tujuan
utama penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personel dalam mencapai sasaran
strategik organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang dikendaki oleh organisasi.
Standar perilaku dapat berupa: inisiatif strategik, progam, dan anggaran, dan core
vales organisasi serta core competence, dan technical competence.
Penilaian kinerja digunakan untuk menekan perilaku yang tidak
semestinya serta untuk memacu dan menegakkan perilaku yang semestinya
diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta penghargaan,
baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrisik.
Manfaat Penilaian Kinerja adalah Mengelola
operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian personal
secara maksimal. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
penghargaan personal, seperti: promosi, transfer, dan pemberhentian..
Mengindentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan personel, dan
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi progam pelatihan personel.
Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan perdagangan.[2]
Pada dasarnya penilain kinerja merupakan bagian yang
ada dalam sebuah menejemen kinerja, tanpa adanya sebuah penilaian kinerja maka
tidak akan bisa mengoptimalkan menejemen kinerja itu. Penilaian kinerja,
sebagai bagian dari proses manajemen kinerja, sudah lama merupakan sistem yang
diperdebatkan, bahkan dalam organisasi hierarki. W. Edwards Deming bahwa ia
merampas hak milik tim garis depan mengenai apa yang mereka lakukan. Namun
demikian, Penilaian Kinerja yang memiliki banyak fased: Sebagai latihan
observasi dan penilaian, proses umpan balik, dan intervensi organisasi masih
amat diperlukan.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar