A.
Pajak
Penghasilan Umum
Undang- undang No 7 Tahun 1984
tentang pajak penghasilan (Pph) berlaku sejak januari 1984. Undang- undang ini
telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali di ubah dengan
undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Undang undang pajak Pph mengatur pengenaan
pajak penghasilan terhadap subyek pajak berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh nya dalam tahun pajak. Undang-undang PPh menganut asas
materil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak bergantung kepada
surat ketetapan pajak.
Subyek pajak
dan Wajib Pajak
Yang
menjadi subyek pajak adalah:
·
Orang pribadi
·
Warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
·
Badan, terdiri
dari PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya,BUMD/BUMN dengan nama atau
bentuk apapun, firma, kongsi, yayasan, dan organisasi-organisasi lainnya.
·
Bentuk Usaha
Tetap (BUT)
B.
Pajak
Penghasilan Pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lainyang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
Pemotong PPH Pasal 21 antara lain:
a.
Pemberi kerja
yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan usat maupun cabang,
perwakilan atau unti yang membayar gaji, upah, honorium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan
dngan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pehgawai.
b.
Bendahara atau
pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah
Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.
c.
Dana pensiun,
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d.
Orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1.
Honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
2.
Honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
3.
Honorarium atau
imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e.
Penyelenggaraan
kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk
apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan.[1]
Hak Pemotong PPH Pasal 21
Dalam hal dalam suatu
bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 yang terutang, oleh
pemotong PPh Pasal 21, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan
dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnyamelalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
Kewajiban Pemotong PPH Pasal 21
1.
Kewajiban
melakukan pemotongan PPh Pasal 21
a.
Pemotong PPh
Pasal 21 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Pemotong PPh
Pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Ph Pasal 21
yang terutang untuk setiap bulan kalender.
c.
Pemotong PPh
Pasal 21 wajib membuat catatan ataukertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk
masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21
yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas
kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.
Kewajiban
membuat bukti potong
a.
Pemotong PPh
Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama
satu bulan setelah tahun kalender berakhir.
b.
Pemotong PPh
pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas emotongan PPh
Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, serta bukti
pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
c.
Dalam hal dalam
satu bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari satu
kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dapat dibuat sekali
untuk satu bulan kalender.
3.
Kewajiban
menyetor dan melaporkan
a.
PPh Pasal 21
yang dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap
Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, paling lama 10 hari setelah Masa Pajak berakhir.
b.
Pemotong PPh
Pasal 21 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap
Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong PPh Pasal 21 terdaftar,
paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
c.
Dalam hal
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan batas waktu pelaporan PPh Pasal
21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dapat dlakukan pada hari kerja
berikutnya.
Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban yang
melekat pada subjeknya yang prinsipnya semua orang yang bertempat tinggal di
Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif. Untuk orang atau badan yang
bertempat tinggal, tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia
mempunyai kewajiban pajak subjektif jika mempunyai hubungan ekonomis dengan
Indonesia.[2]
Subjek PPH Pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 diantaranya sebagai
berikut:
a.
Pegawai.
b.
Penerima uang
pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya.
c.
Bukan pegawai
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan, antara lain:
1.
Tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas.
2.
Pemain musik,
pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, dan seniman lainnya.
3.
Olahragawan.
4.
Penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, pnyuluh, dan moderator.
5.
Pengarang,
peneliti, dan penerjemah
6.
Pemberi jasa
dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya.
7.
Agen iklan.
8.
Pengawas atau
pengelola proyek.
9.
Pembawa pesanan
atau yang menemukan langganan yang menjadi perantara.
10.
Petugas penjaja
barang dagangan
11.
Petugas dinas
luar asuransi.
12.
Distributor
peusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
d.
Peserta kegiatan
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
[3]
Hak Penerima Prnghasilan
Hak penerima
penghasilan adalah menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pemotong.
Kewajiban Penerima Penghasilan
a.
Mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP.
b.
Menyerahkan
surat pernyataan kepada Pemotong Pajak yang menyatakan jumlah tanggungan
keluarga pada permulaan tahun takwim.
c.
Menyerahkan
bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada:
·
Pemotong pajak
kantor cabang baru atau tempat kerja baru dalam hal bersangkutan
dipindahtugaskan atau pindah kerja.
·
Pemotong pajak
dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun
berjalan.
·
Mengisi dan
menyampaikan SPT Tahunan
Penerima penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
a.
Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat:
· Bukan warga negara Indonesia
· Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di
luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
b.
Pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
OBJEK PPH PASAL 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a.
Penghasilan
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, premi bulanan,
uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri,
tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan
transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak,
beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur
lainnya dengan nama apapun.
b.
Penghasilan
tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti,
tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan
penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.
c.
Upah harian,
uapah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.
d.
Uang tebusan
pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua (THT) atau Jaminan Hari Tua
(JHT), dan pembayaran lain sejenis.
e.
Honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak dalam negeri.
f.
Gaji, gaji
kehormatan, tunjangan lainnya yang terkait gaji, uang pensiun dan tunjangan
lainnya yang terkait dengan uang pensiun.
g.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengen nama apapun yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh final dan dikenakan
PPh berdasarkan norma penghitungan khusus.[4]
Tidak Termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
Yang tidak
termasuk penghasilan yang dipotong Ph Pasal 21 antara lain:
a.
Pembayaran
asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
b.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penerimaan dalam bentuk natura
sebagaimana dimaksud PMK 252 Tahun 2008 Pasal 5 ayat 2.
c.
Iuran pensiun
yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostekyang
dibayar oleh pemberi kerja.
d.
Pemberian dalam
bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh
Pemerintah.
e.
Pajak yang
ditanggung oleh pemberi kerja.
f.
Zakat yang
diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Pajak Penghasilan yang Dipotong PPh Psal 21 Final
Yang termasuk
pajak penghasilan PPh Pasal 21 final antara lain:
a.
Penghasilan
berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus.
b.
Pejabat Negara,
PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang sumber
dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Tarif PPH Pasal 21
1.
Tarif
berdasarkan pasal 21 ayat 1 huruf a UU Pajak enghasilan diterapkan atas
penghasilan kena pajak dari pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang
dibayarkan secara bulanan.
2.
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang
saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif
lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:
a.
Jumlah
penghasilan bruto diatas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) UU Pajak Penghasilan.
b.
Jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri
Wajib Pajak sendiri.
3.
Dalam hal
jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp
6.000.000,00, PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan.
Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21
Atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas beupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian,
sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:
1.
Tentukan jumlah
upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang diterima atau diperoleh
dalam sehari;-Upah/uang saku mingguan dibagi 6;
a.
Upah satuan
dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari
b.
Upah borongan
dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan
borongan.
2.
Dalam hal
upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp
150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima dalam bulan takwim yang
bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong.
3.
Dalam hal
upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp
150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima dalam bulan takwim yang
bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah
dikurangi Rp 150.000,00, dikalikan 5%.
4.
Dalam hal
jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang
bersangkutan telah melebihi Rp 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang terutang
dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarna, yaitu sebanding dengan
banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar