A.
Biografi Joseph Schacht
Prof.
Dr. Joseph Franz Schacht lahir di Ratibor[1]
pada 15 Maret 1902 M. Di kota ini ia tumbuh dan tinggal selama 18 tahun.[2] Ia
berasal dari keluarga Katolik yang religius dan terdidik. Ayahnya, Eduard
Schacht merupakan seorang penganut Katolik Roma juga seorang guru yang mengajar
anak-anak buta dan tuli. Sedang ibunya bernama Maria Mohr. Pada 1943, ia
menikahi seorang wanita Inggris, bernama Louise Isobel Dorothy.[3]
Karir
Ilmiahnya sudah dimulai sejak ia berada di kota kelahirannya, di sana ia
menghadiri Gymnasium sehingga ia memperoleh minat pertamanya dalam
bahasa-bahasa oriental (Timur).[4]
Selanjutnya, ia juga bersentuhan dengan pendidikan ala rabbi Yahudi (Jewish)
sebagaimana dituturkan oleh Bernard Lewis:
“During
the period set aside for religious studies, a rabbi came to teach the Jewish
boys Hebrew. Although the young Schacht was not one of them, he managed to
complete his other tasks and to get himself accepted in this group, where he
took his first steps in Hebrew.”[5]
(Selama waktu berkumpul, disamping untuk mengajar agama –Yahudi–,
rabbi (juga) datang untuk mengajari anak-anak Yahudi bahasa Ibrani (Hebrew).
Meskipun Schacht muda tidak termasuk di antara mereka, ia berusaha untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya yang lain dan membuat dirinya diterima di dalam
kelompok tersebut, tempat di mana ia mengambil langkah pertamanya dalam –studi–
bahasa Ibrani.)
Selain
belajar bahasa Ibrani, ia juga mempelajari bahasa-bahasa yang lain seperti
Latin, Yunani, Prancis dan Inggris di Humanistisches Gymnasium.[6]
Setelah menempuh kurang lebih 9 tahun dalam studinya di Gymnasium (1911-1920)
dan studinya tentang Hebrew (agama Yahudi dan bahasa Ibrani), kemudian Schacht
pergi untuk melanjutkan studinya di Universitas Breslau (Wroclaw) dan Leipzig.
Di sana ia mempelajari Filologi Klasik dan Semit, lalu juga mempelajari
Teologi.[7]
Pada 1922 ia memenangkan University prize dengan esainya tentang
Perjanjian Lama (Old Testament) dan pada akhir tahun 1923 ia menerima
gelar Ph. D (Doctor of Philosophy) dengan predikat summa cum laude
dari Universitas Breslau. Selain itu, ia juga memperoleh gelar M.A. (Magister
of Arts) pada 1947 dan D. Litt (Doctor Lit(t)erarum atau Doctor
of Letters or Literature) pada 1952, keduanya ia dapat dari Oxford
University.[8]
Bernard Lewis menyebutkan pada tahun 1925, Schacht untuk pertama kalinya
menerima pengangkatan (jabatan) akademik di Universitas Freiburg di Breisgau,
berselang dua tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar tamu di sana. Dan
pada 1929 ia ditunjuk secara penuh menjadi Professor of Oriental Languages
(Profesor bahasa-bahasa Timur) di usianya yang baru 27 tahun. Lalu pada 1932,
ia diundang untuk menduduki kursi jabatan yang sama di Universitas Königsberg,
namun posisinya terhitung singkat di sana lantaran gejolak politik yang
berkemelut di Jerman. Meskipun tidak menjurus pada bahaya dalam hal rasial atau
alasan politik lainnya, ia lebih memilih mengikuti hati nuraninya untuk
meninggalkan Jerman ketika Nazi mengambil alih kekuasaan.[9]
Antara
tahun 1923 sampai 1933, Schacht melakukan perjalanan yang ekstensif di wilayah
Timur Tengah dan Afrika Utara, dan pada 1930 ia mengabdi sebagai Profesor Tamu
di Universitas yang sekarang dikenal dengan Universitas Kairo di Mesir. Ketika
ia meninggalkan Universitas Königsberg,
pada 1934 ia kembali ke Universitas Kairo dan menjadi guru besar (Profesor) di
sana sampai tahun 1939.[10]
Setelah
perang berkecamuk, Schacht pindah ke Inggris di mana ia lalu bekerja untuk BBC
dan British Ministry of Information (Departemen Informasi Britania)
selama perang terjadi. Pada 1947 ia di-naturalisasi sebagai warga negara
Inggris.[11]
Pada
1946, ia ditunjuk mengajar di Universitas Oxford. Dan selama di sana ia banyak
melakukan perjalanan ke luar Negeri, di antaranya Amerika Serikat pada 1948,
Nigeria pada 1950 dengan misi riset, menerima undangan sebagai guru besar tamu
di Universitas Algiers pada 1952, dan kembali melakukan riset di Asia dekat dan
Afrika Timur pada 1953, 1963, dan 1964.[12]
Pada 1954, Schacht meninggalkan Oxford untuk mengambil alih posisi Professor of
Arabic di Universitas Leiden, Belanda. Di sana ia juga melakukan studi yang
intensif di bawah bimbingan C. Snouck Hurgronje.[13]
Karir
Joseph Schacht berlanjut pada 1951, ketika ia ditempatkan sebagai editor edisi
baru dari Encyclopaedia of Islam. Ia juga sempat bertugas di dalam
sebuah asosiasi bersama Bernard Lewis. Kemudian ia bersama Robert Brunschvig
bekerja bersama dalam mendirikan dan mengeditori sebuah jurnal yang prestisius,
Studia Islamica, yang yang terbit pertama kali pada 1953.[14]
Tahun
1957 sampai 1958, Schacht pergi ke Universitas Colombia sebagai Profesor tamu
di bidang Arabic dan Islām. Dan pada 1959, ia diangkat menjadi
Profesor tetap di bidang yang sama.[15]
Joseph
Scahcht memiliki beberapa rencana penulisan, di antaranya ia bermaksud
menggabungkan catatan dan prolegomena yang ia koleksi, kemudian ia juga
berencana menyelesaikan beberapa edisi dan studi tentang Kitāb at-Tauḥīd karya Māturidī, dan Mudawwana karya Sahnun.
Namun sayangnya rencana tersebut tidak dapat ia realisasikan, karena ia
mengalami pendarahan di otak dan meninggal pada 1 Agustus 1969, di New Jersey.[16]
Ada beberapa sumber yang menerangkan
mengenai kepribadian Joseph Schacht, di antaranya sebagai seorang guru, ia
merupakan figur yang memiliki banyak kualitas atau kemampuan yang mengagumkan,
sebagaimana diungkapkan lebih jauh oleh Jeanette Wakin salah seorang yang
berkesempatan mendapat bimbingan Schacht dalam mengerjakan tugas kesarjanaannya:
In formaI lectures, according to
Wakin, Schacht dominatcd the room. His forceful delivery, his resonant voice,
and hîs precise use of language were very
astonishing and fascinating. In a seminar or conference his performance
was very remarkable, for "his enthusiasm for his subject, and the vast
store of knowledge lrom many fields that ilIuminated and broadened every
discussion, made these hours delightful and exhilarating ones." Moreover,
he had "a fine appreciation of humor and a
sharp wit which he exercised with unsuppressed pleasure." His generosity
also appeared in his attitude towards his advanced students. He was always
ready, for example, to lend scarce works from his private library, and turned
over copies of rare
manuscripts and notes that he had carefully collected during his research over
a period of many years.[17]
(Dalam
perkuliahan formal, Schacht memegang dominasi di ruangan. Penyampaiannya yang
tegas, suaranya lantang, dan penggunaan bahasanya sungguh menakjubkan dan
memesona. Sementara dalam seminar atau konferensi, performa atau penampilannya
tak kalah luar biasa, ia memiliki semangat dan antusiasme untuk bidang yang ia
tekuni, dan khazanah keilmuannya sangat luas dari berbagai bidang yang menghias
dan meluaskan setiap diskusi, sehingga membuat jam-jam (bersamanya)
menyenangkan dan menggembirakan bagi orang-orang. Selain itu, ia seorang yang
memiliki apresiasi yang baik terhadap humor cerdik yang mana ia gunakan dalam
melepas ketegangan. Kedermawanannya juga nampak pada sikapnya dalam memberi
arahan untuk kemajuan murid-muridnya. Sebagai contoh, Ia senantiasa siap
meminjamkan karya-karya langka dari perpustakaan pribadinya, dan membuat
salinan dari manuskrip-manuskrip yang langka dan catatan-catatan yang ia
koleksi dengan baik sejak ia mengakhiri risetnya beberapa tahun silam.)
B. Karya-karya
Joseph Schacht
a. Buku
· The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950)
·
An Introduction to Islamic Law (1960)
b. Karya
Tulis Ilmiah
·
Khassāf, Kitāb al-Ḥiyal wa al-Makhārij
(Hanover, 1923), disertasi Schacht yang terdiri dari beberapa edisi.
c. Artikel
·
Die Arabische Hijal-Literatur, Der Islam (1926).
·
Christian Snouck Hurgronje, Der Islam 24 (1937)
·
A Revaluation
of Islamic Tradition (1949).
·
Foreign
Elements in Ancient Islamic Law. Journal of Comparative Legislation
and International law 32 (1950).
·
Pre-lslamic
Background and Early Development of Jurisprudence. In Law in te
Middle East: Origin and Development of Islamic Law, cds. Majid Khadduri and
Herbert J. Liebesny. Washington. D.C.: The Middle East Institute. 1955.
·
The Schools of Law and Later
Development of Jurisprudence. In Law in Middle East: Origin and Development of Islamic
Law. eds. Majid Khadduri and Herbert J. Liesbeny Washington.
D.C.: The Middle East Institute. 1955.
·
The Law. In Unitiy and
Variety in Muslim Civilization.ed. G.F. von Grunebaum. Chicago: University of Chicago Press. 1955.
·
Islam in
Northern Negeria. Studia Islamica 8 (1957).
·
Notes on Islam
in East Africa. Studia Islamica 13 (1961).
·
Modernism and
Traditionalism in a History of Islamic Law. Middle Eastern Studies 1
(1965).
·
Problems of
Modern Islamic Legislation. Studia Islamica. 1965.
·
Law and Justice. In The
Cambridge History of Islam. Vol. 2, cds. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton,
Bernard Lewis. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
·
Theology and
Law in Islam. In Theology and Law in Islam. ed. G.F. von Grunebaum.Wiesbaden: Otto Harrassowitz. 1971
·
lslamic
Religious Law. In The Legacy of Islam. Second edition, eds.
Joseph Schacht and C.E. Bosworth,
Oxford: The Clarendon Press. 1974.[18]
C.
Pemikiran Hadits Joseph Schacht
1. Metodologi
Schacht dalam Studinya terhadap Sunnah
Sebagai seorang sarjana Joseph Schacht
tidak melakukan sesuatu tanpa dasar. Tentunya dalam penelitian-penelitiannya ia
menggunakan metodologi yang sesuai dengan spesialisasinya bagi risetnya. Namun
penting untuk dicatat, terlepas dari metodologi yang digunakannya, umat Islām yang menerima hasil penelitian
Schacht harus ingat betul siapa Joseph Schacht. Ia adalah seorang orientalis
yang dalam kajian-kajiannya terhadap Islām, khususnya dalam bidang hukum Islām dan ḥadīṡ, ia membawa nuansa ala Barat
yang khas dengan skeptisisme dan positivistik. Selain itu, pribadinya yang
notabene bukan seorang muslim mempertegas bahwa upayanya dalam menilai Islām dalam studinya tentang Islām hanyalah pandangan satu sisi yang
subyetif (dari orang luar –non-muslim–) dan tidak bebas dari kemungkinan
adanya kepentingan tertentu atau tujuan yang harus senantiasa diawasi dan
semestinya tidak terburu-buru menjatuhkan sangkaan baik kepadanya demi
penjagaan kemaslahatan umat Islām.
Adapun berkenaan dengan metodologi yang
digunakan Schacht dalam studinya terhadap ḥadīṡ, disebutkan bahwa:
Metode yang digunakan Joseph Schacht
dalam kajian kritik ḥadīṡnya adalah
historis-filologis, yaitu sebuah metode yang menitikberatkan pada sejarah
kemunculan kitab-kitab kanonik yang kemudian digabungkan dengan metode
filologis dengan mencari data-data buku yang terkodifikasikan pada saat itu.
Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika kritiknya begitu tajam dengan
menyatakan bahwa ḥadīṡ adalah buatan
para sarjana abad kedua dan ketiga Hijriah, karena pada masa sebelumnya, ḥadīṡ-ḥadīṡ belum terkodifikasikan dengan baik. Dan sanad-sanad ḥadīṡ adalah sanad
palsu yang sengaja dibuat oleh periwayat untuk menyandarkannya kepada Nabi.[19]
Bernard Lewis
menyebut metode Schacht sebagai “historical and sosiological. Di sisi lain, Schacht juga
menyatakan bahwa kajian yang telah dilakukannya dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran para pendahulunya, seperi Ignaz Goldziher dan Margoliouth.[20]
2. Sunnah Menurut
Schacht
Tidak berbeda
dengan pendahulunya Ignaz Goldziher yang mengatakan bahwa konsep Islām tentang sunnah tidak lebih dari
sekedar revisi atas adat kebiasaan, tradisi dan kebiasaan nenek moyang ‘Arab,
Schacht mendefinisikan Sunnah sebagai konsepsi ‘Arab kuno yang berlaku kembali
sebagai salah satu pusat pemikiran dalam Islām.[21]
Schacht menilai bahwa Sunnah lebih berarti pada praktek ideal dari komunitas
setempat atau doktrin yang muncul ke permukaan.[22]
Menurut
Schacht, konsep awal Sunnah adalah “tradisi yang hidup” dalam mażhab-mażhab fiqih klasik, yang berarti
kebiasaan atau “praktek yang disepakati secara umum” (‘amal, al-amr
al-mujtama’ ‘alaih). Konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabī.[23]
Lebih lanjut dalam Introduction to Islamic
Law ia mengemukakan:
Sunnah dalam konteks Islām pada awalnya
lebih memiliki konotasi politis dari pada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan
dan administrasi khalīfah. Pertanyaan apakah
tindakan-tindakan administratif dua khalīfah yang
pertama, Abū Bakr dan ‘Umar, harus dipandang sebagai
preseden-preseden[24] yang
mengikat, muncul barangkali pada saat pengganti ‘Umar harus ditunjuk (23/644),
dan ketidakpuasan terhadap kebijakan khalīfah ketiga, ‘Uṡman, yang mengakibatkan pembunuhannya pada 35/655,
menjadi tuduhan bahwa, dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan
pendahulunya dan, secara implisit, dari al-Qur’ān. Dalam kaitan
ini, tampak konsep “Sunnah Nabī” belum
teridentifikasi dengan seperangkat aturan positif yang manapun melainkan
memberikan adanya kaitan doktrinal antara “Sunnah Abū Bakr dan ‘Umar
dan al-Qur’ān. Bukti paling awal, tentunya yang otentik, untuk penggunaan
istilah “Sunnah Nabī” adalah surat yang pernah
dikirimkan oleh pemimpin Khawārij ‘Abdullāh ibn ‘Ibād kepada khalīfah Banī ‘Umayyah ‘Abd
al-Mālik sekitar 76/695. Istilah yang sama dengan konotasi
teologis, dan ditambah lagi dengan “contoh para nenek moyang” yang ada dalam
risālat yang sezaman yang dikirim oleh Ḥasan al-Baṣrī kepada khalīfah yang sama.
Hal ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islām, barangkali
menjelang akhir abad pertama, oleh para ‘ulamā Irak.[25]
Untuk menopang
argumentasinya bahwa konsep awal sunnah adalah praktek atau “tradisi yang
hidup”, Schacht merujuk pada Margoliouth dan Ibn al-Muqaffa’. Dia menulis:
Margoliouth has concluded that
‘sunna’ as a principle of law meant originally the ideal or normative usage of
the community, and only later acquired the restricted meaning of precedents set
by the Prophet.[26]
(Margoliouth menyimpulkan bahwa Sunnah sebagai prinsip hukum pada awalnya
berarti penggunaan ideal dan normatif dari masyarakat dan baru kemudian
memperoleh arti terbatasnya sebagai preseden-preseden yang dibuat oleh Nabī.)[27]
Selain itu, dari berbagai referensi
yang ia kutip tentang penggunaan istilah Sunnah, Margoliouth juga menarik
kesimpulan bahwa:
The practice of the Prophet in these
stories is far commoner than any other phrase. The context in which these
expressions are most frequently used is in reference to the third Caliph
Othman, whose conduct was supposed to differ seriously from that of his
predecessors: though he charges formulated against him are always somewhat vague.
It seems clear that the second source of law was not yet anything quite
definite, but merely what was customary, and had the approval of persons of
authority, all of whom presently merged in the Prophet.[28]
(Praktek Nabī dalam riwayat-riwayat ini jauh lebih lazim ketimbang
frase-frase lainnya. Ungkapan-ungkapan ini paling sering digunakan dalam
konteks referensi kepada khalīfah ketiga ‘Uṡmān , yang
perilakunya dianggap sangat berbeda dengan para pendahulunya, meskipun tuduhan
terhadapnya sering kali kurang begitu jelas. Jelas kelihatan bahwa sumber hukum
yang kedua belum merupakan sesuatu yang sudah begitu nyata, melainkan sekadar
kebiasaan belaka, dan memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memiliki
otoritas yang semuanya kini menyatu pada Nabī.)[29]
Prof. al-A’zamī menuturkan,[30]
bagian sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata Sunnah.
Secara ringkas, dia berpendapat bahwa:
1.
Konsep awal
Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebut
“tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini dia mengikuti D. S.
Margoliouth dan mengutip Ibn al-Muqaffa’, yang menurutnya mendapatkan istilah
itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administratif
pemerintahan Banī ‘Umayyah.[31]
2.
Konsep Sunnah
Nabī pada
asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad
kedua.[32]
3.
Bahkan
penggunaan istilah “Sunnah Nabī” tidak berarti Sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabī ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam, ia sekadar “tradisi yang hidup” dari
mażhab yang ada yang diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan
Nabī ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam.[33]
3. Sumber yang Dirujuk Schacht dalam Studi Ḥadīṡ
Berdasar
penelitian Prof. al-A’zamī, disebutkan bahwa Prof. Schacht telah mempelajari kitāb al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik, kitāb al-Muwaṭṭa’ karya Imām Muhammad as-Syaibānī, dan kitāb al-Umm karya Imām as-Syāfi’ī. Kitāb-kitāb ini sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai kitāb-kitāb fiqih dari pada kitāb-kitāb ḥadīṡ. Namun demikian, Schacht telah
menggeneralisasikan ‘hasil kajiannya’ terhadap kitāb-kitāb tersebut sekaligus menerapkannya
untuk seluruh kitāb-kitāb ḥadīṡ. Seolah-olah tidak ada kitāb yang khusus mengenai ḥadīṡ, dan seolah-olah tidak ada perbedaan
antara watak kitāb fiqih dan kitāb ḥadīṡ.[34]
Riset yang dilakukan Joseph Schacht
memang berkosentrasi pada hukum Islam, dan ia sendiri pun lebih menenggelamkan
dirinya dengan berkecimpung di bidang tersebut. Maka tak ayal, bila Schacht
lebih banyak merujuk sumber-sumber dari kitab-kitab yang notabene bergenre fiqih.
Demikian halnya, pada para peneliti lain yang memiliki spesialis di satu bidang
tertentu, ia akan lebih banyak menggunakan data yang dikuasainya dalam
analisa-analisanya. Namun, hal ini tidak berlaku jika terjadi lintas disipli
ilmu. Ketika akan melakukan sebuah riset atau penelitian pada bidang ḥadīṡ maka seyogyanya, apa yang dirujuk
menjadi sumber ialah kitab-kitab ḥadīṡ. Karena relevansi mesti
diprioritaskan, akan tetapi Joseph Schacht malah entah dengan sengaja atau ada
alasan lain menggunakan sumber-sumber penelitiannya hanya dengan merujuk
kitab-kitab yang lebih berkonotasi fiqih dari pada ḥadīṡ, sementara ia dengan hasil risetnya
mengemukakan bahwa semua ḥadīṡ yang dinisbatkan kepada Nabi adalah
palsu, dengan menambahkan khususnya yang berkenaan dengan hukum.
Selain karya klasik muslim di atas,
Schacht juga merujuk pada ar-Risalah, karya as-Syāfi’ī, Āṡār Ibn al-Muqaffa’, dan Schacht juga merujuk kepada
karya-karya orientalis lain, seperti D.S. Margoliouth, The Early Development
of Mohammedanism, Ignaz Goldziher
dan yang lainnya.
4. Beberapa Pandangan Joseph Schacht dalam The Origins
of Muhammadan Jurisprudence, Introduction to Islamic
Law dan Referensi lain
a.
Hukum Islam
Dalam bukunya
Introduction to Islamic Law, Schacht berkata: “Khalīfah-khalīfah pertama tidak menujuk para qad’ī.”[35] Dia
kemudian menegaskan bahwa Banī ‘Umayyah “mengambil langkah penting dengan menunjuk para hākim atau qad}ī.”[36] Hal
ini mengarahkannya untuk berkesimpulan bahwa “sebagian besar abad pertama
Hijriyah, hukum Islām, dalam artian
teknis belum ada.”[37]
Pendapat yang sama dinyatakan dalam The
Origins of Muhammadan Jurisprudence. Dalam buku itu dia berkata bahwa:
“Bukti adanya
ḥadīṡ-ḥadīṡ hukum membawa kita mundur ke sekitar
tahun 100 Hijriyah saja; pada saat itu pemikiran hukum Islām berawal dari akhir pemerintahan dan
praktek popular Banī ‘Umayyah, yang masih direfleksikan
dalam sejumlah ḥadīṡ.”[38]
Dia mempertahankan lagi: “Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islām hampir-hampir tidak ada pada masa
as-Sya’bī, yang wafat pada tahun 110 Hijriyah.[39]
b.
Isnād
Profesor al-A’zamī menyebutkan bahwa menurut
pengakuannya, Prof. Schacht telah mempelajari ḥadīṡ-ḥadīṡ yang berkaitan dengan masalah fiqih
serta perkembangannya. Ia berpendapatbahwa isnād adalah bagian dari ‘tindakan
sewenang-wenang’ dalam ḥadīṡ Nabī ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam. Ḥadīṡ-ḥadīṡ itu sendiri dikembangkan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada
tokoh-tokoh terdahulu.[40]
Di lain
kesempatan Schacht mengatakan bahwa pendapat yang bersumber dari seorang Tābi’īn Ibnu Sīrīn menuturkan bahwa usaha untuk
mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya ‘fitnah’
(musibah perang saudara), di mana semua orang sudah tidak dapat dipercaya lagi
tanpa dteliti terlebih dahulu. Dan kita akan mengetahui bahwa ‘fitnah’ yang
bermula dari terbunuhnya al-Walīd bin Yazīd (w. 126 H)
menjelang surutnya Daulah ‘Umayyah itu adalah waktu yang dijadikan patokan
sebagai akhir kejayaan masa lampau, yaitu masa di mana Sunnah-sunnah Nabī ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam masih berlaku secara umum. Oleh karena
Ibnu Sīrīn wafat pada 110 H, maka pendapat yang
bersumber dari padanya tadi itu adalah tidak benar dan palsu. Dan bagaimana pun
juga, kita tidak menemukan bukti-bukti yang dapat diterima bahwa penggunaan sanad
itu sudah dimulai sebelum awal abad kedua Hijriyah.[41]
c.
Mażhab Fiqih
Dalam risetnya,
Schacht membuat kategorisasi tersendiri tentang mażhab, sebagaimana disebutkan Prof.
al-A’zamī dalam On
Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence:
Schacht menyebut mażhab-mażhab fiqih klasik dengan sebutan mażhab Madīnah, mażhab Suriah, dan mażhab Irak. Perlu
diperhatikan di sini bahwa nama-nama ini menyesatkan. Ada beberapa mażhab fiqih pada masa awal Islām, yang paling
terkenal dalam dua abad pertama adalah mażhab Madīnah dan Kūfah, dan di dua
kota tersebut ada beberapa ulama yang pendapat-pendapat mereka dalam bidang
hukum berbeda. Schacht mendasarkan pandangannya pada tulisan-tulisan hanya
beberapa ulama dari daerah-daerah ini: Mālik bin Anas
dari Madīnah dan Abū Yūsuf dan Syaibānī dari Kūfah (mażhab Ḥanafī) dan terutama, tulisan-tulisan polemik dari Syāfi’ī selama fase
Mesir yang terakhir. Meskipun Schacht sendiri mengatakan bahwa “keliru untuk
menggeneralisasikan keseragaman ajaran, meskipun dalam lingkaran mażhab Kūfah,” namun
demikian dia membuat generalisasi luas dengan dasar tulisan-tulisan seorang
ulama dari satu mażhab Kūfah dan
memperluasnya untuk seluruh Irak. Dia juga menggeneralisasikan hanya Mālik dan menerapkannya untuk semua ulama Madīnah.[42]
5. Teori-Teori Schacht Mengenai Ḥadīṡ
a.
Projection
Back/Backward Projection
Berdasar
definisi berarti toeri Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan ḥadīṡ pada awalnya berasal dari generasi Tābi’īn yang diproyeksikan ke belakang kepada
generasi Ṣaḥābat dan akhirnya kepada Nabī dengan cara menambah dan memperbaiki
isnād yang sudah ada.[43]
Teori Projection
Back ini dikemukakan Joseph Schacht dalam karyanya The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana berikut:
The isnad were often put together very
carelessly. Any typical representative the group whose doctrine was to be
projected back on to an ancient authority could be chosen at random and put
into the Isnad. We find therefore a number of alternative names in otherwise
identical isnads, where other consideration exclude the possibility of the
transmission of a genuine old doctrine by several persons.
(Isnād sering
diletakkan secara sembarangan. Berbagai kelompok yang doktrinnya diproyeksikan
ke belakang kepada otoritas lama bisa saja diambil secara acak dan diletakkan
ke dalam isnād. Karena itu, Kami menemukan beberapa pilihan nama
dalam isnād lain yang identik, di mana pertimbangan lain
meniadakan kemungkinan periwayatan doktrin lama yang asli oleh beberapa orang).
Berkenaan
dengan teori ini, Prof. al-A’zamī menuturkan, Prof. Schacht
mengetengahkan teori baru tentang ‘Sejarah Pemalsuan Sanad Ḥadīṡ’, atau dengan kata lain ‘untuk
mengetahui masa pemalsuan Sanad Ḥadīṡ’. ‘Teori yang gawat’ ini mendapatkan
pujian dari Prof. Robson, di mana ia berkata,[44]
“Teori ini
merupakan sumbangan yang sangat berharga untuk meneliti perkembangan ḥadīṡ-ḥadīṡ
Nabī. Sebab teori ini tidak hanya
mengungkapkan sejarah kapan ḥadīṡ-ḥadīṡ
itu dianggap sebagai ucapan Nabī,
tetapi juga memberikan petunjuk yang tepat tentang apa sanad itu. Yaitu bahwa
bagian bawah dari suatu sanad memang benar, sedang bagian atas yang sampai
kepada Nabī adalah palsu dan merupakan khayalan
belaka.”[45]
- Common Link Theories
Secara
definitif, ialah teori Joseph Schacht yang dikembangkan oleh Juynboll, yang
menyatakan bahwa semakin banyak jalur isnād yang bertemu pada seorang periwayat. Baik yang menuju kepadanya atau yang
justru meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.[46]
Mengenai Teori
Common Link ini, disebutkan bahwa pertama-tama, metode itu dikemukakan oleh
Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence halaman
171-175. Kemudian, metode ini dikembangkan oleh Gautier (G.H.A. atau Gaultherus
Hendrik Albert) Juynboll.[47]
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut
dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.[48]
Kepentingan
Joseph Schacht mengemukakan teori Common Link dapat kita ketahui dari
tulisan Profesor al-A’zamī yaitu;
Keberadaan
common link (tokoh penghubung) dalam rantai periwayatan mengindikasikan
bahwa ḥadīṡ itu berasal dari masa tokoh tersebut.
Ini memberikan petunjuk kepada kita untuk menemukan waktu terjadinya pemalsuan.[49]
c. Argumentum e Silentio/e silentio Argument
Menurut
definisi ialah teori yang dikemukakan oleh Joseph Schacht, yang menyatakan
bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah ḥadīṡ tidak ada pada masa tertentu adalah
dengan menunjukkan bahwa ḥadīṡ tersebut tidak dipergunakan sebagai
argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan merujuk kepadanya jika ḥadīṡ itu ada.[50]
Menurut Ẓafār Isḥāq Anṣārī, asumsi dari argumenta e silentio
dapat dibenarkan jika seseorang terlebih dahulu mengakui validitas
asumsi-asumsi berikut ini:
1.
Selama dua abad pertama, ketika
berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, ḥadīṡ-ḥadīṡ yang dipakai sebagai argumen untuk
mendukung juga disebutkan secara konsisten.
2.
Ḥadīṡ yang diketahui oleh seorang ahli hukum
atau ahli ḥadīṡ diketahui pula oleh seluruh ahli hukum
dan ahli ḥadīṡ pada masanya.
3.
Semua ḥadīṡ yang beredar pada masa tertentu
dihimpun dan dipublikasikan secara luas serta dipelihara sedemikian rupa hingga
jika seseorang tidak menemukan sebuah ḥadīṡ dalam karya-karya para ulamā terkemuka maka hal itu merupakan bukti
bagi ketiadaannya pada masa itu, di daerah dan juga di dunia Islām.[51]
Sayangnya, menurut Anṣārī, asumsi-asumsi
tersebut tidak didukung oleh dan tidak sesuai dengan
bukti-bukti sejarah.[52]
6. Pandangan Orientalis dan Sarjana lain terhadap
Pemikiran dan Karya Joseph Schacht
Menurut Fazlur Rahman, Schacht telah
terarahkan pikirannya untuk menetapkan sifat umum ḥadīṡ secara lebih sistematis melalui
studi-studi kesarjanaannya dalam hukum Islām dan perkembangan teori hukum dalam
Islām. Tetapi pandangan-pandangannya atas sifat tradisi secara
umum pada dasarnya adalah sama dengan pandangan-pandangannya terhadap
tradisi-tradisi hukum.[53] Begitu juga
pendapat H.A.R.
Gibb yang menyatakan bahwa tentang The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, ia mengatakan, “buku itu akan menjadi pondasi bagi seluruh
kajian masyarakat dan hukum Islām di masa mendatang, paling tidak, di
Barat.”[54] Noel
J. Coulson mengatakan bahwa Schacht telah
merumuskan sebuah tesis mengenai hukum Syarī’ah yang secara garis besar tak
terbantahkan.[55] Menurut David
S. Powers, Schacht menguraikan garis besar sejarah
dan perkembangan hukum Islām. Seluruh kajian modern tentang
persoalan tersebut bermuara dari uraian Schacht itu. Sedangkan Daid V. Forte berpendapat bahwa, Hampir semua sarjana Barat setuju, bukti bahwa
schacht melawan ke-ṣaḥīḥ-an ḥadīṡ di dalam buku ini -A Introduction
to Islamic Law- hampir tidak dapat dibantah.
D. Kritik Terhadap Pemikiran Schacht Mengenai
Ḥadīṡ
Terminologi
teori bukanlah suatu hal yang telah mapan. Teori hanya berada di atas asumsi
dan hipotesis, namun berada di bawah hukum. Oleh karena itu, pemikiran dan
teori Joseph Schacht bukanlah aksioma yang tak bisa dibantah, atau suatu sabda
orang suci yang sakral dan harus ditaati. Pandangannya sama saja dengan
pandangan manusia biasa, yang menjadi pembeda hanyalah level Schacht berada.
Benar,
jika pemikirannya bisa dibantah tapi tidak sembarang orang bisa memberi
bantahan, minimal orang yang berhak untuk membantah dan beradu argumentasi
dengan Schacht adalah seorang Profesor Doktor pula dan setidaknya mumpuni dalam
bidang filologi, hukum Islām, dan ḥadīṡ.
Sadar
akan adanya syarat yang belum terpenuhi, maka penulis dalam mengajukan kritik
terhadap Schacht hanya menyampaikan kembali apa yang sudah dikemukakan oleh
mereka yang telah layak atau sepadan bahkan mungkin di atas level Joseph
Schacht dalam menanggapi dan mengomentari pemikirannya.
Dari
beberapa tulisan yang penulis dapatkan, Secara umum dapat dinyatakan bahwa
kesalahan yang dilakukan Schacht sudah terjadi pada hal yang mendasar, yaitu
metodologi dan epistemologi, kemudian secara lebih rinci kerancuan dan
kesalahan-kesalahan Schacht terjadi dalam teori-teori dan kasus-kasus yang
lebih spesifik, seperti generalisasi, argumentum e silentio, penggunaan
istilah yang bias dan lain-lain. Berikut adalah uraiannya:
a.
Kritik Metodologi dan Epistemologi
Joseph Schacht
Menurut
Profesor Muhammad Muṣṭafā al-A’zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht
dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence itu disebabkan
oleh lima perkara: (1) sikapnya yang tidak konsisten (inkonsistensi) dalam
berteori dan menggunakan sumber rujukan, (2) bertolak dari asumsi-asumsi yang
keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami
sejumlah fakta, (4) ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang
dikaji, dan (5) salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para
ulama Islām.[56]
Adapun
secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari
awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka mulai dari keraguan dan
berakhir dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan.
Akibatnya, meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap
saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan
kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang
dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya,
apa-apa yang tidak sesuai dengan presuposisi dan misi yang ingin dicapainya
akan dimentahkan dan dimuntahkan. Seperti diungkapkan oleh Herbert Berg: “the
results of their work is dictated by their presuppositions” dan “the
data are made to fit the theory”.[57]
Dalam
hal ini, Joseph Schacht dari beberapa aspek dalam studinya yang telah
dikrititsi, maka ia telah memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam kategori
tersebut.
b.
Kritik terhadap generalisasi yang
dilakukan Schacht
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, Schacht menggunakan generalisasi dalam beberapa beberapa kasus
untuk mendukung kesimpulan dan teorinya. Namun, apakah generaliasi Schacht
tersebut relevan atau tidak, bisa ditinjau dari kaidah serta penjabaran
generalisasi Schacht sebagai berikut:
Jika kasus spesifik dijadikan sebagai sumber data kemudian ditarik
generalisasi berupa kesimpulan, sementara kasus itu tidak dapat
mewakili populasi yang ada di dalamnya, maka kesimpulan yang diperoleh tidak
dapat diterima. Generalisasi model ini pernah dilakukan orientalis seperti
Joseph Schacht dalam bukunya The
Origins of Muhammadan Jurisprudence ketika mengemukakan teori projecting
back bahwa ḥadīṡ merupakan
penisbahan pendapat para ahli fiqih abad II dan III Hijriyah kepada tokoh-tokoh
terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai
otoritas lebih tinggi. Ketika mengemukakan data untuk mendukung teorinya itu,
Schacht sebagaimana pendahulunya Goldziher menggunakan kejadian individual dan
terbatas yang kemudian digeneralisasi dalam bentuk kesimpulan. Model yang
digunakan Schacht ini tidak dapat diterima karena tidak representatif bagi seluruh
populasi atau unit klasifikasi yang dikehendaki sehingga kesimpulan yang dibuat
tidak relevan.[58]
Selain itu,
Schacht juga melakukan generalisasi dalam pandangan tentang mażhab. Prof. al-A’zamī mengatakan penamaan mażhab menurut Schacht itu menyesatkan.[59]
Lebih lanjut menurutnya, Schacht mengasumsikan mażhab Mālik bin Anas sebagai representasi
seluruh Madīnah, dan dia
menggeneralisasikan doktrin-doktrin mażhab Ḥanafī di Kūfah untuk mencakup seluruh Irak. Di
sini dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan latar belakang pengakuannya
sendiri bahwa “menggeneralisasikan keseragaman doktrin, meskipun hanya dalam
lingkup mażhab Kūfah, merupakan kekeliruan.”[60]
c.
Kritik terhadap argumentum e
silentio Joseph Schacht
Dr. Syamsuddin Arif dalam salah satu tulisannya mengemukakan:
Ada satu kesalahan yang paling menonjol dalam metodologi
Schacht, yaitu seringnya dia menarik suatu kesimpulan berdasarkan argumentum
e silentio, yakni alasan ketiadaan bukti....Di sinilah letak kesalahan
Schacht. Bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang mendukung hipotesa anda
belum tentu dan tidak mesti berarti bukti itu tidak ada. Sebab, ada atau tidak
adanya bukti tidak harus bergantung pada anda. “The absence of evidence is
not evidence of absence,” ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa
jadi, bukti ada, tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya. Itulah sebabnya
Schacht telah ditohok oleh banyak orang. Argumen dia bukan hanya melemahkan
tetapi juga meruntuhkan validitas kesimpulan-kesimpulannya.[61]
d.
Kritik Pembiasan Istilah yang Dilakukan
Schacht
Dalam karyanya Introduction to Islamic Law, Schacht
membagi fiqih ke dalam beberapa judul-judul berikut: orang (persons),
harta (property), kewajiban umum (obligations in general),
kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular),
dan lain-lain. Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum
Islām pada hukum Romawi
yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagiannya
yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islām.[62]
e.
Kritik Teori Common Link :Sebuah
Steorotip Schacht Kepada Ulamā Ḥadīṡ
Schacht
memberikan tuduhan bahwa common link atau seorang periwayat yang menjadi
sumber penerimaan ḥadīṡ sampai darinya memunculkan banyak
jalur periwayatan ialah yang bertanggung jawab sebagai pembuat ḥadīṡ bukan dari Nabī, akan tetapi ia memproyeksikannya ke
belakang yaitu ke generasi sebelumnya termasuk kepada Nabī sebagaimana juga disebutkan dalam
teori projection back. Padahal berkenaan dengan penyendirian periwayatan
ini sudah pernah diulas oleh aż-Żahabī, sebagaimana berikut:
Lihatlah terlebih dahulu para Ṣaḥābat Nabī ṣhalallāhu ‘alaihi wa sallam yang tua dan yang muda (senior dan
junior). Masing-masing memiliki pengetahuan mengenai sunnah tertentu sendirian
saja, yang tidak diketahui lainnya. Dalam kasus ini dikatakan bahwa ḥadīṡ ini belum
diperkuat oleh periwayat lainnya. Demikian pula Tābi’īn. Masing-masing memiliki pengetahuan sendirian saja.
Aku tidak akan memerinci, karena masalah ini sudah dibahas dalam Ilmu Ḥadīṡ.
Jika
seorang ulamā terpercaya dan akurat (aṡ-ṡiqah al-mutqin) meriwayatkan ḥadīṡ sendirian saja, ḥadīṡ itu akan diperhitungkan sebagai
otentik tapi ‘aneh’ (ṣaḥīḥ garīb).
Jika
seorang ulamā yang ada pada tingkatan ṣadūq (benar) atau lebih rendah dari padanya –meriwayatkan ḥadīṡ
dan tidak seorangpun memperkuat pernyataannya–, maka ḥadīṡ itu dianggap munkar.
Jika seorang periwayat meriwayatkan ḥadīṡ,
lalu sebagian besar di antaranya tidak mendapat kesaksian atau pendukung baik
lafaẓ atau isnād dari riwayat yang lain, maka
periwayat (rāwī) itu disebut matrūk al-ḥadīṡ.[63]
Penyendirian
periwayatan telah mendapat perhatian tersendiri dari para ulamā ahli ḥadīṡ, sehingga teori common link Schacht sebenarnya
telah lama terbantahkan bahkan jauh sebelum teori ini digagas.
f.
Kritik Sumber Studi Schacht terhadap Ḥadīṡ
Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
sumber yang digunakan Schacht dalam studinya, antara lain al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik, al-Muwaṭṭa’ karya Imām Muhammad as-Syaibānī, dan al-Umm karya Imām as-Syāfi’ī. Lebih jauh Prof. al-A’zamī memaparkan, “lama sekali Prof. Schacht
meneliti ḥadīṡ-ḥadīṡ yang berkaitan dengan masalah fiqih (aḥādīṡ fiqhiyah), sudah dijelaskan bahwa meneliti ḥadīṡ dan hal-hal yang berkaitan dengan ḥadīṡ- yang terdapat dalam kitāb-kitāb fiqih atau kitāb-kitāb biografi (sīrah), tidak akan menghasilkan
kesimpulan yang benar. Berdasarkan kajiannya, Schacht memberikan gambaran
tentang kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh ahli-ahli fiqih abad pertama dan
kedua Hijriyah. Dari situ ia memberikan contoh-tontoh tentang pemalsuan ḥadīṡ. Kemudian ia menggeneralisasikan hasil
penelitiannya untuk seluruh ḥadīṡ. Oleh karena itu, ia menganggap hasil
kajiannya itu benar.[64]
E. Kesimpulan
Penulis memberikan kesimpulan dari apa
yang menjadi poin-poin utama dari gagasan yang mewujud menjadi pemikiran
khususnya dalam bidang ḥadīṡ dari Joseph Schacht, ialah sebagai
berikut:
1.
Hukum berada di luar wilayah agama, Nabī ṣhalallāhu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud membuat sistem
yurisprudensi baru. Otoritas beliau bukan pada masalah hukum. Bagi orang-orang
yang beriman, beliau memperoleh otoritas dari kebenaran pesan agama;
orang-orang munafik mendukung beliau untuk alasan politik.
2.
Mażhab-mażhab fiqih klasik, yang masih banyak
dikenal sampai saat ini, lahir pada dekade-dekade awal abad kedua Hijriyah.
Sunnah pada awalnya mereka pahami sebagai “tradisi yang hidup” (al-‘amr
al-mujtama’ ‘alaih), yaitu praktek ideal masyarakat yang diungkapkan dalam
doktrin mażhab fiqih yang telah lazim. Konsep awal mengenai Sunnah ini, yang tidak ada
kaitannya dengan kata-kata dan tindakan-tindakan Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam membentuk basis teori hukum mażhab-mażhab tersebut.
3.
Mażhab-mażhab fiqih klasik ini melahirkan
pihak oposisi, dengan semangat keagamaan, yang dengan bohong menghasilkan
informasi terperinci mengenai Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam agar dapat dijadikan sebagai sumber
otoritas pandangan-pandangannya dalam bidang hukum.
4.
Mażhab-mażhab fiqih klasik ini mencoba memberi
perlawanan terhadap kelompok-kelompok tersebut, tapi ketika mereka tahu bahwa ḥadīṡ-ḥadīṡ yang dinyatakan berasal dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam kian lama kian berlaku pada konsep
awal Sunnah, mereka menyimpulkan bahwa “hal terbaik yang dapat mereka lakukan
adalah mengurangi arti ḥadīṡ-ḥadīṡ itu melalui interpretasi, dan
membubuhkan perilaku dan doktrin-doktrin mereka sendiri pada ḥadīṡ-ḥadīṡ yang dinyatakan dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam lainnya” yakni, mereka turut serta
dalam penipuan.
5.
Alhasil, selama abad kedua dan ketiga
Hijriyah para ulama menjadi terbiasa untuk memproyeksikan pernyataan-pernyataan
mereka sendiri kepada ucapan Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam.
6.
Karenanya, hampir-hampir tidak ada ḥadīṡ dari Nabī shalallāhu ‘alaihi wa sallam yang dapat dianggap otentik.
7.
Sistem isnād
(“rantai periwayat”), yang digunakan untuk membuat otentik
dokumen-dokumen ḥadīṡ itu, tidak memiliki nilai sejarah.
Sistem itu ditemukan oleh para ulama yang secara bohong menisbatkan doktrin-doktrin
mereka sendiri ke belakang sampai pada sumber-sumber sebelumnya. Karenanya,
sistem itu hanya bermanfaat sebagai sarana untuk mengetahui waktu pemalsuannya.[65]
Semua tesis pokok Schacht di atas sudah
dibantah oleh Prof. Dr. al-A’zamī dalam bukunya, On Schacht’s Origin
of Muhammadan Jurisprudence. Oleh karenanya, bila pembaca yang budiman
ingin pemaparan yang lebih luas dan mendalam bisa merujuk langsung kepada buku
tersebut. Wallāhu ’Alam
[1]Ratibor adalah pelafalan dalam bahasa Jerman, sedang dalam
pelafalan Polandia, Ratibórz, dan Ratiboř dalam pelafalan Czech. Nama ini berasal dari
bahasa Slavic dan datang dari nama
Duke Racibor, tokoh pendiri kota ini. kota ini tadinya merupakan bagian
dari kota Silesia, yang dulu termasuk wilayah Jerman tapi sekarang adalah
bagian dari negara Polandia serta letaknya cukup dekat dengan perbatasan
Czechoslovakia (yang sekarang sudah terpisah menjadi Republik Czech dan
Slovakia).
[2]Lihat, Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal.
4. (sumber rujukan Thesis: Robert Brunschvig, "Joseph Schacht
(1902-1969)," Studia Islamica 31 (1970): v. Sec also G.E. von
Grunebaum, "In Memoriam: Joseph Schacht/' International Journal of
Middle East Studies 1 (1970): 190; Bernard Lewis, "Joseph
Schacht," Bulletin of the School of Oriental and African Studies 33
(1970): 376. Unlike the others, Hourani said that Schacht was born on June 15,
1902 (sPc George F. Hourani, "Joseph Schacht, 1902-1969," Journal
of the American Oriental Society 90, 1970: 163). Lihat juga, http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Schacht dan Bernard Lewis, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 33, part 2 (1970), pp. 378-81.
[3]Ibid. hal .4.
[4]Bernard Lewis, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 33, part 2 (1970), pp. 378-81.
[5]Bernard Lewis, Joseph Schacht,... Ibid.
[6]Jeanette
Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902-1969), Makalah, (Islamic Legal
Studies Program Harvard School, 2003), hal. 1. (Dirujuk dari Makalah Khoirul
Hadi, Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Hadits (Pendekatan Ushul Fiqh), Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qadiri Jember.
[7]Akh. Minhaji, Joseph Schacht
Contribution...hal. 5 (yang merujuk: Aharon Layish, "Notes on
Joseph Schacht's Contribution to the study of Islamic Law," British
Society for Middle Eustern Studies, Bulletin 9 (19X2): 132. Sec also Lewis,
"Schacht," 376; Brunschvig, "Schacht," v; 1 Hourani,
"Schacht," 163.)
[8]Ibid., hal. 5. (yang merujuk: Who was Who, vol. VI
(London: Adams & Charlcs Black, 1972), 1007.), & Hourani, “Schacht”, 163.)
[9] Bernard
Lewis, Joseph Schacht,...
[10] Bernard
Lewis, Joseph Schacht,...
[11] Ibid.
[12] Ibid. dan Akh.
Minhaji Joseph,
Schacht Contribution...hal. 8.
[13] Akh. Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal.
9.
[14] Lihat Akh Minhaji, Joseph Schacht Contribution...hal.
10.
[15] Ibid. hal. 9.
[16] Ibid. hal. 8-9.
[17]Akh. Minhaji, Joseph Schacht
Contribution...hal. 6-7 (yang merujuk: Jeanette Wakin, Additum: Joseph
Schacht, 1902-69. Journal of the American Oriental Society 90 (1970):
168)
[18] Akh.
Minhaji, Joseph Schacht Contribution. (dalam daftar pustak hal.
111-112.)
[19] Muhammad Idris Mas’udi, Kritik atas
‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’ (Dalam “Kajian Orentalis Terhadap
al-Qur’an dan Hadis”. Editor: M. Anwar Syarifuddin, hal. 132).
[20] Ibid. hal. 133. (yang merujuk kepada: Bernard Lewis, Obituary; Joseph
Schacht dalam BSOAS London, vol. 33, No.2 (1970), pp.378-381,
diunduh dari http://www.jstor.org/action/doBasicSearch?filter=iid%3A10.2307%2Fi225484&Query=bernard+lewis&Search.x=0&Search.y=0&wc=on. Dan pengakuan
Joseph Schacht ini bisa ditelusuri dalam salah satu tulisannya yang bertajuk “A
Re-evaluation of Islamic Tradition” JRAS, 1949, pp. 144-147, dikutip dari
artikel Abdullah Abd Rahmân al-Khathîb, al-Radd ‘Ala Mazâim al-Mustasyriqîn;
Ignaz Goldziher wa Joseph Schacht wa Man Ayyadahuma Min al-Mustaghribîn, h.41.)
[21] Lihat,
Schacht, Introduction..(edisi terjemah, hal. 46).
[22]Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata
Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.
Bandung: Benang Merah Press, 2004. hal. 110-111.
[23]M. M. Azami, On Schacht origins of Muhammadan
Jurisprudence, King Saud University. Riyadh. Saudi Arabia. (Diterjemahkan
oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub dengan judul: Menguji Keaslian Hadis-Hadis
Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht.
2004. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 35. Dan lihat juga The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Hal.58.
[24] Preseden: hal yang telah terjadi lebih dahulu
dan dapat dipakai sebagai contoh (KBBI).
[25] Ibid. hal.
35-36. Dan Introduction. hal. 17-18. (edisi terjemah, hal. 47-48).
[26]Joseph Schacht. The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. ed. Keempat. Oxford. 1967. hal. 58. Selanjutnya
ditulis Origins saja.
[27]M. M. Azami, On Schacht origins....(edisi terjemah,
hal. 46.)
[28]D.S. Margoliouth, The Early Development
of Mohammedanism. (London. 1914) hal. 70.
[29]Ibid. hal. 49.
[30]Ibid. hal. 45-46.
[31] Origins. hal.
58.59.
[32] Ibid. hal. 70.
[33] Ibid. hal. 70.
[34] M.M.
al-A’ẓamī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal.
538-539. (Catatan: untuk penjelasan yang
lebih luas mengenai perbedaan kitāb fiqih dan kitāb
ḥadīṡ bisa merujuk langsung buku tersebut).
[35] M.M.
al-A’ẓamī, On Schacht’s Origins. (edisi terjemah, hal. 23).
Lihat juga, Schacht, Introduction to Islamic Law, hal. 16. (edisi
terjemah, hal. 45).
[36] Ibid., hal. 23,
dan Introduction, hal. 24 (edisi
terjemah, hal. 56).
[37] Ibid., hal. 23,
dan Introduction, hal. 19 (edisi
terjemah, hal. 49).
[38]Origins. hal. 5 (dalam al-A’ẓamī, On Schacht’s Origins. edisi terjemah, hal. 23).
[39]Ibid., hal. 230 dan General
Index, h. 347. (dalam al-A’ẓamī,
On Schacht’s Origins. edisi terjemah, hal. 23).
[40]Ini adalah kesimpulan J.
Robson yang tepat terhadap pendapat Schacht. (J. Robson, Isnad in Muslim
Traditions, Glasgow Univ. Oriental Society Transaction, vol. Xv, 1955, p.
18; quoting Annali dell Islam. Dalam M.M. al-A’ẓamī,
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal. 534.
[41] M.M.
al-A’ẓamī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hal. 535.
Lihat juga The Origins. hal. 36-37.
[42] M.M. al-A’ẓamī, On Schacht origins of Muhammadan Jurisprudence,
King Saud University. Riyadh. Saudi Arabia. (Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ali
Mustafa Yaqub dengan judul: Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan
atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. 2004. Pustaka
Firdaus. Jakarta. Hal. 73.
[43] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar
Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: LKiS, 2007, cet.I. hal. xxii.
[44]al-A’z}amī, Ḥadīṡ Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, hal.
557.
[45] Robson, Muslim
Traditions, Manchester Memoirs, vol. xoiii (1951-1952), no. 7, hal. 98-99.
(dalam al-A’zamī,
Ḥadīṡ Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, hal.
557).
[46] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll. hal. xxii.
[47] Lihat
catatan atau endnote no. 30 dalam Michael
Cook. The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam, 1997,
dalam Jurnal Arabica XLIV. (edisi terjemah: 2012. Oposisi Penulisan Hadis di
Masa Islam Awal. Penerjemah: Ali Masrur Abdul Ghaffar. Bandung. MARJA. Cet.
I). Hal. 80.
[48] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll. hal. 57. (bagi yang berminat terhadap
pemaparan yang lebih panjang dapat menelusuri isi buku tersebut).
[49] M.M.
al-A’zamī, On Schacht Origins of Muhammadan Jurisprudence,...(edisi
terjemah). hal. 281.
[50] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll. hal.
xxiii.
[51] Ẓafār Isḥāq Anṣārī,
The Authenticity of Traditions: A Critique of Joseph Schacht’s Argument E
Silentio, dalam Hamdard Islamicus 7, 1984, hal. 53. (dalam Ali
Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll. hal. 100).
[52] Op.Cit. hal. 100.
[53] Fazlur Rahman, Islam. New York: Anchor Books, 1968. Dilengkapi edisi The Chicago
University Press. 1979. (bab Epilogue). (edisi terjemah. 1984. Islam.
Penerjemah: Ahsin Mohammad. Bandung. Penerbit PUSTAKA). hal. 56.
[54] H.A.R. Gibb, Journal
of Comparative Legislation and International Law, seri ke-3, vol. 34,
bagian 3-4, 1951, hal. 114. (dalam M.M.
al-A’z}amī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. Xvii.)
[55] N.J.
Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, 1964, hal. 4), (dalam M.M. al-A’z}amī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. Xvii.)
[56] Ibid., hal.
167-174. Lihat juga, Syamsuddin Arif, Sunnah & Hadits
Nabi: Otoritas, Relevansi dan Otentisitasnya. (dalam Bundel Islamic
Worldview. Editor: Adian Husaini, M.A. 2008). hal. 12.
[57] Syamsuddin
Arif, Sunnah & Hadits . hal. 14.
[58] Idri, Kritik
Hadith Dalam Perspektif Studi Kontemporer, (sebuah Makalah), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
[59] Lihat, M.M. al-A’zamī, On Schacht Origins (edisi terjemah), hal. 73.
[60]Ibid, hal. 106. Lihat juga, The Origins,
hal. 242.
[61]Syamsuddin Arif, Sunnah & Hadits Nabi: Otoritas,
Relevansi dan Otentisitasnya. (Makalah). hal. 12.
[62]M. M. al-A’zamī, The History of The Qur’anic Text :
from Revelation to Compilation, (edisi terjemah: 2005. Sejarah Teks
Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi. Penerjemah : Anis Malik Thaha, dkk.
Jakarta : GIP Cet: 1). hal. 340.
[63] aż-Żahabī,
Mīzān al-I’tidāl, Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1963.
juz III, hal. 140-141. Lihat juga, al-A’zamī,
On Schacht... (edisi terjemah, hal. 284-285).
[64] al-A’zamī,
Ḥadīṡ Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, hal.
585.
[65] M.
M. al-A’z}amī, On Schacht origins of Muhammadan Jurisprudence,...(edisi
terjemah). hal. xviii-xvix.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar