A. Pengertian Metodologi Ilmu Keislaman
Istilah
motodologi berasal dari
bahasa Yunani, yakni methodos
dan logos. Methodos berarti
cara, niat dan seluk-beluk yang berkaitang dengan upaya menyelesaikan sesuatu.
Sementara logos berarti ilmu
pengetahuan, Cakrawala dan wawasan. Dengan demikian, metodologi adalah pengetahuan
tantang cara-cara yang
berlaku dalam kajian atau penelitian.[1]
Selian itu metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai
metode yang dipergunakan dalam
pengetahuan. Louay Safi mendefenisikan metodologi sebagai bidang pengetahuan
ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan
tentang metode-metode yang
digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan redaksi yang lain,
metedologi adalah bidang pengetahuan ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan dan
menjelaskan aturan-aturan, prosudur-prosudur, methode ilmiah.[2]
Sedangkan, ilmu menurut Salam merupakan suatu metode
berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia
fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common
sense.[3]
The Liang Gie (1987) dalam Surajiyo (2010) memberikan
pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan
suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia
ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang
menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.[4]
Sedangkan keislaman menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah segala sesuatu yang bertalian dengan Islam.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi ilmu keislaman
merupakan cara seseorang untuk menelaah mencari penjelasan suatu bidang ilmu
untuk memperoleh pemahaman tentang Islam.
B.
Metode Dalam Menyelidiki Ilmu
Sebelum
membahasa lebih lanjut mengenai apa saja metode penyelidikan yang biasa
digunakan untuk mencari kebenaran ilmiah, terlebih dulu perlu disajikan apa
sesungguhnya ilmu seperti yang dijelaskan dalam poin diatas. Secara sederhana
ilmu diartikan sebagai
pengetahuan. Tetapi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa serta
merta disebut sebagai ilmu. Jujun mengatakan bahwa saat kita membicarakan
tentang ilmu maka hal itu tidak bisa dipisahkan dengan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung
turut memperkaya kehidupan kita.[6]
Pengetahuan
merupakan sumber jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada dan melintas dalam pikiran
manusia. Pengetahuan bersifat acak dan tidak teratur. Ia melintas dan begitu
saja berada dalam alam pikiran manusia.
Berbeda
halnya dengan ilmu. Ilmu merupakan serangkaian keterangan yang teratur,
sistematis, rasional, logis, empiris, universal, objektif, terbuka, dapat
diukur, serta dapat diuji kebenarannya, baik secara teoritis maupun empiris.[7] Pengetahuan yang
didapatkan oleh seseorang bisa dianggap sebagai ilmu jika pengetahuan tersebut
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana yang disebutkan. Pengetahuan yang
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu
melainkan hanya sebatas pengetahuan saja.
Ilmu
melakukan pembatasan pada bidang kajiannya yakni pada wilayah pengalaman
manusia oleh karena keterbatasan metode yang digunakan dalam mengkajinya.
Metode tersebut hanya menjangkau pada hal-hal yang bersifat empiris dan bisa
dibuktikan. Jika hal tersebut tidak bisa dibuktikan, maka hal tersebut tidak
bisa dimasukkan dalam ranah ilmu.
Secara
alamiah, manusia sesungguhnya memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang
berada di sekelilingnya. Rasa ingin tahu itu mendorong manusia untuk melakukan
pengamatan dan penelitian secara lebih mendalam sehingga dari situlah terbangun
bangunan ilmu pengetahuan.
Naluri
manusia selalu ingin mendapatkan kebenaran, yang tidak lain merupakan pengetahuan yang benar.[8] Untuk itulah mereka
berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan jawaban yang benar dengan
melakukan berbagai uji coba dan berbagai pendekatan. Menurut para ilmuan ada
dua pendekatan yang bisa digunakan dalam menemukan kebenaran, yaitu pendekatan
non ilmiah dan pendekatan ilmiah.[9]
Dalam
pendekatan non ilmiah aspek yang sering berperan aktif adalah akal sehat (common
sense), prasangka, intuisi, kebetulan, dan pendapat otoritatif.[10] Kebenaranya tidak
didasarkan pada pengalaman yang telah dialami oleh manusia, akan tetapi lebih
di dasarkan pada upaya membangun argumen yang kuat yang bersumber dari daya
pikir akal, prasangka serta intuisi, pengetahuan yang secara langsung terbesit
dalam hati dan pikiran seseorang.
Adapun
pendekatan ilmiyah lebih menonjolkan pada aspek pengalaman, melalui nalar, dan
menemukan kebenaran melalui penelitian.[11] Pengalaman
lebih berdasarkan pada apa yang telah di alami. Penyimpulan terhadap peristiwa
yang telah terjadi pada dirinya dan atau yang dilihatnya dari beberapa kejadian
di sekelilingnya. Nalar lebih mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu
dengan melihat pada pertimbangan manfaat dan madharatnya, apakah sesuatu itu
berguna bagi dirinya atau kah sebaliknya berbahaya bagi dirinya.
Sehubungan
dengan metode untuk penyelidikan ilmu, Imam Wahyudi dalam Latief memaparkannya
sebagai berikut:[12]
1.
Metode
Empirisme
Empirisme
merupakan suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
ilmu pengetahuan melalui pengalaman. John Lock, empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong
(tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
indriawi. Akal merupakan tempat di mana hasil dari indrawi manusia berkumpul.
Di situlah akal akan memprosesnya menjadi bangunan-bangunan yang terangkai
antara satu ide dengan ide lainnya sehingga terbentuklah ilmu pengetahuan.
2.
Metode
Rasionalisme
Rasionalisme
yaitu cara atau metode dalam memperoleh sumber pengetahuan yang berlandaskan
pada akal. Hal ini bukan karena rasionalisme mengingkari nilai yang dihasilkan
dari pengalaman. Akan tetapi rasionalisme memandang bahwa pengalama yang
dialami oleh seseorang sangat mungkin berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Para penganut rasionalisme ini meyakini bahwa kebenaran dan kesesatan itu
sesungguhnya terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam dan barang
sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan
atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya ada di dalam pikiran kita
dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi.[13]
3.
Metode
Fenomenalisme
Fenomenolisme
yaitu satu cara atau metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan
menggali pengalaman dari dalam dirinya sendiri. Tokoh yang terkenal dalam
metode ini ialah Immanuel Kant.[14] Kant membuat uraian
tentang pengalaman sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri, dengan
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu
kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti
keadaannya sendiri, tetapi hanya tentang sesuatu yang menampak kepada kita,
artinya pengetahuan tentang gejala.
Bagi
Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, meskipun benar hanya untuk sebagain. Tetapi para
penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.
Metode
Intuisionisme
Intusionisme
merupakan satu cara atau metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan
menggunakan sarana intuisi untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Tokoh
yang terkenal dalam aliran ini adalah Bergson. Menurutnya di antara unsur-unsur
yang berharga dalam intuisionisme adalah dimungkinkannya adanya suatu bentuk
pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indra.[15]
Baginya,
pengetahuan yang dihasilkan oleh indra tidaklah cukup. Dibalik pengetahuan yang
dihasilkan oleh indra sesungguhnya terdapat pengetahuan lain yang menjadi
tambahan baginya. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Ciri
khas dari aliran ini adalah tidak mengingkari terhadap nilai pengalaman
indriawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme
dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh
melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi
sebagian saja yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa
yang diberikan oleh indra hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dan
apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang
sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan senyatanya.
C. Pendekatan Dalam Metodologi Ilmu Keislaman
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Sedangkan metode dipahami lebih sempit dari pendekatan. Metode memiliki
arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya memahami sesuatu. Dalam hal ini,
memahami ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan Hadits.[16]
Berikut akan dijelaskan beberapa pendekatan studi
Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis Normatif; (2) Pendekatan
Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)
Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan
Psikologis; (7) Pendekatan Ideologis Komprehensif, (8) Pendekatan Filologi dan
Sejarah; (9) Pendekatan Ilmu Sosial; dan (10) Pendekatan Fenomenologi.
1.
Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama
secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah
dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain,
pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks
Alquran dan Hadits.[17] Melalui
pendekatan teologis normatif ini, seseorang memiliki sikap militansi dalam
beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Namun pendekatan ini
biasa berkaitan dengan tauhid dan ushuluddin semata.
2.
Pendekatan Antropologis
Dalam konteksnya sebagai metodologi, Antropologi
merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional,
mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta
persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat.
Memahami Islam secara antropologis memiliki makna memahami Islam dengan
mengungkap tentang asal-usul manusia yang berbeda dengan pandangan Teori
Evolusi (The Origin of Species) nya
Charles Darwin. Bisa juga memahami misalnya, tentang kisah Ashabul Kahfi yang
tidur selama kurang lebih 309 tahun. Ini merupakan salah satu topik yang
menarik untuk diteliti melalui pendekatan antropologis.[18]
Antropologi
sebagaimana disiplin ilmu lainnya harus mampu membebaskan dirinya dari visi
yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi
kebenaran yang primordial dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama
Islam.[19]
Pendekatan
antropologi merupakan pendekatan dalam memahami agama yang menghendaki upaya
memahami agama dengan cara melihat dan memahami wujud praktik keagamaan yang
terjadi di tengah masyarakat penganut agama.[20] Jadi pendakatan ini
menghendaki agar di dalam memahami agama seseorang tidak sebatas bersandar pada
teks keagamaan semata. Lebih dari itu, pendekatan ini menginginkan agar para
pengkaji dan peneliti agama lebih melihat pada praktik yang dilakukan oleh para
pemeluk agama terhadap apa yang mereka yakini dalam teks-teks keagamaan.
3.
Pendekatan Sosiologis
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian
ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu
dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan
Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari kerangka ilmu
sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang
satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.[21]
4.
Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya.
Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral, karena
memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Harun Nasution
mengemukakan bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam,
seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat kepada apapun, sehingga
sampai kepada dasar segala dasar.
Metode ini sangat lemah, sebagaimana dikemukakan
Arkoun bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan dan metodologi
yang telah ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan
metode filsafat ini melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Hal ini dikemukakan
Amal dan Panggabean, gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan
para filosof Muslim mengenai kebangkitan manusia di akhirat kelak. Kemudian,
sejumlah besar gagasan asing lainnya telah disampaikan oleh para filosof ke
dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan dunia, doktrin kenabian, dan
Iain-Iain.[22]
Disamping itu, filsafat sejatinya bukan merupakan
pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal,
baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebenaran? Secara praktis, filsafat menawarkan
tentang apa itu kebaikan? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah
ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran
solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751
H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Ditambah lagi, filsafat memang
ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia. Jika demikian faktanya, maka
jelas filsafat itu baik sebagai ajaran maupun pengetahuan tidak ada dalam
Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair
(kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu,
Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran
yang dihasilkannya.[23]
5.
Pendekatan Historis
Secara umum, sejarah mempunyai dua pengertian, yaitu
sejarah dalam arti subyektif, dan sejarah dalam arti obyektif. Menurut
materinya (subject matter) nya,
sejarah dapat dibedakan atas: (a) Daerah (Asia, Eropa, Amerika, Asia Tenggara,
dan sebagainya); (b) Zaman, (misalnya zaman kuno, zaman pertengahan modern);
dan (c) Tematis (ada sejarah sosial politik, sejarah kota, agama, seni dll).
Sebuah studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu maupun yang kontemporer, sebenamya
merupakan kombinasi antara analisa dari aktor dan peneliti, sehingga merupakan
suatu realitas dari hari lampau yang konon utuh.
Metode sejarah menitikberatkan pada kronologi
pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto, pendekatan historis
mempergunakan analisa atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk
merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode ini dapat dipakai misalnya, dalam
mempelajari masyarakat Islam dalam hal pengamalan, yang disebut dengan ”masyarakat
Muslim” atau ”kebudayaan Muslim”. Metode ini biasanya dikombinasikan dengan
metode komparative (perbandingan). Contohnya ialah seperti yang digunakan oleh
Geertz yang membandingkan bagaimana Islam berkembang di Indonesia (Jawa) dan di
Maroko.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sejarah sebenarnya
hanya merupakan gambaran pelaksanaan sebuah aturan, ajaran dan ideologi
tertentu. Namun ia tetaplah bersifat subjektif, artinya dia tidak bisa menjadi
kaidah atau sumber hukum. Kecuali sejarah yang diambil dengan riwayat shahih
atau terpercaya dan sejarah tersebut bukan diambil dari pandangan orang kafir
dan orientalis. Jika hal ini dilanggar maka studi Islam akan menjadi sebuah
studi yang bersifat ‘gosip’ dan ‘fitnah’ semata.
6.
Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui
gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan
Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke
dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala
atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis
merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori-teori
psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang. Salah satu cara
yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa
seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh
keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang,
melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika
berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk
agama. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada
pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang
nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan
individualis, sehingga tidak komprehensif, bahkan pendekatan ini hanya
berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang belum tentu mencerminkan agama Islam
itu sendiri. Pendekatan seperti ini bisa menyebabkan orang yang memandang Islam
malah salah paham, misal: jika sebuah masyarakat mayoritas muslim, lalu disana
ada prostitusi, dan mungkin yang melakukan kemesuman dan maksiat tersebut bisa
jadi orang Islam, nah dengan pendekatan psikologis bisa-bisa dianggap bahwa
ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak kelemahan
pendekatan psikologis.
7.
Pendekatan Ideologis Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari realitas ajaran Islam itu
sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan subjektif keilmuan Barat.
Islam adalah agama (ad-din) yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur hubungan manusia
dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1)
hubungan manusia dengan Khaliq-nya
tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan manusia dengan dirinya
tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3) Hubungan manusia
dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah
(publik) dan uqubat (sanksi).
Islam adalah ajaran yang meliputi akidah dan sistem
(nizhâm). Akidah dalam konteks ini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat,
Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha’
dan Qadar, yang baik dan buruknya
hanya dari Allah swt semata. Sedangkan nizhâm
atau syariah adalah kumpulan hukum syara’
yang mengatur seluruh masalah manusia. Syariat Islam sendiri berisi aturan
(sistem) yang bisa diklasifikasikan: (1) Peraturan (sistem) yang menyangkut
hubungan individu dengan Penciptanya (Allah SWT), seperti ibadah, baik shalat,
puasa, zakat, haji-umrah, termasuk jihad; (2) Peraturan (sistem) yang menyangkut
hubungan individu dengan dirinya sendiri, seperti hukum terkait pakaian,
makanan, minuman, dan juga hukum seputar akhlak, yang mencerminkan sifat dan
tingkah-laku seseorang; (3) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan dengan
orang lain, seperti masalah bisnis-perdagangan, pendidikan, sosial-masyarakat,
pemerintahan, politik, sanksi hukum-peradilan dan lain-lain.
Karena itu pendekatan Ideologis komprehensif ini
adalah sebuah cara memahami Islam yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa
Islam adalah sebuah Ideologi artinya Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan,
sehingga harus diterapkan dalam kehidupan. Metodologi ini menggunakan
pendekatan yang integral dimana semua ilmu keislaman original dikerahkan, mulai
dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih, ushul fikih, bahasa arab,
dan lain sebagaiya. Pendekatan ini juga sesuai dengan khazanah keilmuan Islam
yang dikembangkan para ulama muktabar. Maka dari itu pendekatan ini cocok untuk
ajaran Islam. Pendekatan ini dikenalkan oleh pemikir muslim, Dr. Samih Athif
az-Zain dalam beberapa karyanya.
8.
Pendekatan Filologi dan Sejarah
Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif
dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun
sarjana membekali diri
dengan prinsip-prinsip bahasa
orang Islam dan memperoleh pendidikan
dalam bidang metode
filologi untuk memahami
bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya
di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa
dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena
status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.
Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua
aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi
juga memainkan peran penting dalam dunia
orang Islam sendiri
yang berbentuk penelitian
filologi dan sejarah
yang banyak dilakukan oleh
pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filologi
dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang terlupakan
di kalangan Muslim, padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini
untuk melakukan revitalisasi Islam.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus
tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam
memiliki banyak bahan berupa dokumendokumen masa lampau dalam bidang sejarah,
teologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya.
Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital
dalam hal ini. Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi
Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih
lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai
pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan
umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki
signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang
hendak ditegaskan Adams
adalah filologi merupakan
kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas
praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu
behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak
tradisi penelitian filologi.
Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi
dan sejarah ini, Adams berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam
tetap membekali diri dengan metode penelitian filologi dan sejarah dan juga
familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu behavioral. Sampai dengan
sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan behavior yang tertarik
mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan pendekatan filologi, bahkan
antara mereka saling tidak mempercayai.
Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi
agaknya bisa dilacak pada pendapat Max Muller salah seorang dari tiga pencetus
dan pendiri the study of religion[24]
yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama.
Sampai-sampai ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows none”[25]. Mudah
dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri secara langsung
suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan kedua yang kemungkinan
besar akan mengandung
kesalahan-kesalahan dalam pemahaman. Apalagi jika penerjemah bukan
pemeluk agama yang bersangkutan.
Bagi Joachim Wach, penguasaan bahasa bagi para
pengkaji atau studi agama akan memungkinkan untuk memperoleh the most
extensive information, yaitu informasi yang luas berkaitan
dengan subject matter-nya sehingga akan
memungkinkan pemahaman terhadap fenomena agama.[26] Dengan
penguasaan bahasa akan diperoleh kebenaran deskripsi agama secara akademik dan
juga kebenaran menurut perspektif atau pandangan pemeluknya.
9.
Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah
lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan
intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama
melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil
tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif.
Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis
yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial
tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur
Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman
kita.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu
sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya
pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang
mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah
pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa
studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar
terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia
yang dijadikan focus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai
dengan obyek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan
menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi
dalam diri ilmuwan
sosial, salah satunya
adalah bahwa perilaku
manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan obyektivitas. Bila
perilaku manusia itu dapat didefnisikan,
diberlakukan sebagai entitas
obyektif, maka akan
dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga
dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial
menggambarkan agama dalam kerangka obyektif, sehingga agama dapat “dijelaskan”
dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam
ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan
dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya
akan menghasilkan deskripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu
sosial, maka agama
akan dijelaskan dengan beberapa
teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah
mekanisme integrasi sosial,
agama itu berhubungan
dengan sesuatu yang
tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori
lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris
orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk
stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak
berdayaan manusia dalam menghadapi ketakutan. Tampak jelas bahwa
pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam
kerangka seperti hukum sebabakibat, supply and demand, atau stimulus and
respons.
Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu
sosial adalah kecenderungan
mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagianbagian
atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat
ilmuwan sosial yang mencurahkan
perhatian studinya pada
perilaku politik, interaksi
sosial dan organisasi sosial,
perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini,
muncul dan dikembangkan
metode masing-masing bidang
atau aspek, kemudian berdirilah
fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut
membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi
tentang manusia. Kritikan Adams
terhadap pendekatan ilmu-ilmu
sosial paralel dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan
bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat diuji secara terpisah-pisah dan inilah
kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa waktu yang lalu, khususnya pada
tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam dirinya bukanlah agama.[27]
Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan
pendekatan ilmu-ilmu sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan
interdisipliner dalam melakukan studi tentang
budaya manusia. Kontribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu
disiplin ilmu sosial seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog
yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka
menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang
dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya
adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi
agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang
seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh
ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari
Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya
penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab
itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah
agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan
kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan
agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk
pendekatan antropologi. Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah
agama sangat erat. Hal ini disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk
mengkaji seluruh kehidupan
masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi
karena antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang
dijadikan subyek studi. Pendekatan antropologi
tertarik untuk mengkaji
fenomena agama dan
seluruh aspek ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan
sosial yang melakukan kajian Islam dengan pendekatan antropologi adalah
Clifford Geertz. Pendekatan antropologi mampu menghasilkan studi yang
menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal
menurut tempat dan gaya hidup yang berlainan. Seorang ilmuwan sosial yang tetap
mempertahankan model studi dengan memilih dan menkotakkan aktivitas manusia ke
dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut pandang secara sempit tetapi masih
sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh C.A.O. van Nieuwenhuijze
dalam sebuah tulisannya “The Next Phase
of Islamic Studies: Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode
sosiologi dan ilmu sosial lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang
tradisi keberagamaan Islam.
10.
Pendekatan Fenomenologi
Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan,
seseorang dapat mencurahkan waktu
dan energi untuk
studi Islam dengan
pendekatan atau dalam
bentuk Religionswissenschaft.[28] Mereka
yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi
Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat akhir abad ke-19, dan
mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai
sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara
pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau
perbandingan agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan
konsepsi Religionswissenschaft seperti pada
awal kemunculannya kemudian
menjadi fenomenologi sebagai
salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui
Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka
sendiri yang menyebut fenomenologi agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan
fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan
bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif
netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan
rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain
semacam tindakan menanggalkan-dirisendiri (epoche),
dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan
pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini epoche sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan
kunci untuk menghilangkan
sikap tidak simpatik,
marah dan benci
atau pendekatan yang penuh
kepentingan (interested approaches) dan
fenomenologi telah membuka pintu
penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas
atau yang lebih baik. Kontribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma
yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama
itu sendiri.
Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya
semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam
terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber
di luar pengalaman seseorang
yang akan dikaji. Hal
yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang
dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta
bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi
fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial,
doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku. Pendekatan
fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data,
seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi,
antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena
agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi,
dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan
dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi obyek kajian. Idealnya,
bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus
dapat menjawab pertanyaan:
apakah umat Islam
dapat menerima sebagai kebenaraan tentang
apa yang digambarkan
oleh fenomenologis sebagaimana
mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab,
maka apa yang dihasilkan melalui
studinya bukanlah gambaran
tentang keyakinan Islam.
Dalam hal ini,
Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa
pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya”
terhadap deskripsi tersebut.[29]
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah
mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk
mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan
data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan
bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur
dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak
dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika
Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan
murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan
pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan
fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang
diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu
fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama
kuno.
[1]Nurliana
Damanik, Diktat: Metodologi Studi Islam, (2018;
Medan, UIN Sumatera Utara), hlm. 01.
[2]Ibid, hlm. 2.
[3]Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2005), hlm. 10.
[4]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 15.
[5]Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://typoonline.com/kbbi/keislaman
[6]Jujun S. Sumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Penebar Swadaya,
2010), sebagaimana dikutip oleh Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu; Orientasi ke Arah
Pemahaman, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 21
[7]Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu; Orientasi ke Arah Pemahaman,
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 7.
[8]Moh Tasim, Penelitian dan Sumbangannya terhadap Ilmu Pengetahuan (Sains),
Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 2, Desember 2017, hlm .25.
[9]M. Djunaidi Ghoni dan
Fauzan al-Manshur, Filsafat Ilmu dan
Metode Penelitian (Malang: UIN Maliki Press, 2015), 144.
[10]Ibid., hlm. 147.
[11]Ibid., hlm. 150.
[12]Mukhtar Latief, Filsafat Ilmu; Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu..., hlm. 199-200.
[13]Mukhtar Latief, Filsafat Ilmu ..., hlm. 200.
[14]Ibid., hlm, 200.
[15]Ibid., hlm. 200.
[16]Supiana, Metodologi Studi Islam, cet. II,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, 2012), hlm. 77.
[17]Supiana, Metodologi Studi Islam … hlm. 77.
[18]Supiana, Metodologi Studi Islam … hlm 80.
[19] Akbar S. Ahmad, Ke Arah Antropologi Islam, (Jakarta:
Media Dakwah,tt), hlm.
5-9.
[20] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 35.
[21]Supiana, Metodologi Studi Islam … hlm 90.
[22]Supiana, Metodologi Studi Islam … hlm. 96.
[23]Wachid, M. Maghfur. Pengaruh
Filsafat Terhadap Kemunduran Islam, diakses 07 Oktober 2019, sumber: kuliahpemikiran.wordpress.com
[24]Dua orang
lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussare yang
dianggap sebagai threefounders of the
study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions,Vol. I (Paris:
Mouton – The Haque, 1973), hlm. 13 -17.
[25]Jacques
Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, hlm. 93.
[26]Joachim
Wach, The Comparative Study of Religion, (New York and Columbia
Univerity, 1966), 9
[27]W.C.
Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu
Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 77.
[28]Istilah Religionswissenschaft
pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah
ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat
agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah
Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi
Studi Agama, hlm. 126 - 127
[29]Fazlur
Rahman, “Approaches to Islam in Religious
Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches
to Islam in Religious Studies, hlm. 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar